Wednesday, January 20, 2016

Montessori at Home



Sekarang ini, kalau search #montessoriathome akan banyaaakkk sekali ide-ide aktivitas untuk anak usia dini. Mulai dari yang sederhana seperti menyendok, yang mungkin buat kita mikir “apaan sih kayak gini doang?” sampai yang rumit seperti mengenalkan hewan vertebrata/ invertebrata atau bangunan-bangunan bersejarah ke anak usia 3 tahunan, yang buat mikir juga “hah? Ga keberatan tuh buat usia 3 tahun?”

Kalau dengar kata Montessori, kebanyakan juga orang tahu quote-nya yang terkenal “follow the child”. Tapi mungkin tidak semuanya benar-benar memahami esensi dari prinsip ini, yang sejatinya akan mempengaruhi bentuk interaksi orangtua-anak untuk membantu proses tumbuh kembang dan belajarnya.

Selama lima hari mengikuti pelatihan Montessori, pemahaman saya tentang Montessori menjadi lebih dalam. Saya mendapat informasi-informasi baru yang memberi insight dan membuat saya refleksi, bahwa selama ini ternyata……sebagai orangtua maupun guru, masih ada perilaku-perilaku saya yang bila dilihat dari kacamata Montessori itu belum sepenuhnya tepat.

Melalui tulisan ini, saya mau share prinsip-prinsip umum dari metode pembelajaran Montessori. Menurut saya Montessori memang sebuah metode, sebuah pendekatan…..yang bisa kita lakukan di rumah dan sekolah, pun yang kurikulumnya bukan Montessori.

“ANAK MAMPU MENGAJARI DIRINYA SENDIRI" 
Menurut Montessori, anak itu punya kemampuan untuk mendidik diri mereka sendiri. Bahkan dari lahir, kemampuan penting yang fungsinya bertahan hidup seperti menyusu atau menangis saat dirinya lapar, ga ada yang kasih tau, “kalau menyusu begini ya caranya, waktu puting masuk mulutmu, dikenyot” atau “kalau nanti kamu merasa lapar, nangis ya”. Ia membentuk konsep dan pemahaman dari pengalaman dan bagaimana respon lingkungan terhadapnya. Ia jadi bisa belajar “oooh…kalau aku lapar tapi nangisnya ke papa, eyang, mba..aku ga bisa menyusu. Yang bisa itu ke mama.”

Anak perlu diberi kesempatan buat trial-error dan mendapatkan penemuan alias ‘aha moment­’-nya sendiri. Contoh saat bermain knobless cylinders. Pasak-pasaknya ada beragam ukuran. Kita tunjukkan caranya di awal, lalu biarkan anak mencoba. Waktu dia memasukkan pasak ke lubang yang salah (kalau pasak kecil ke lubang besar kan akan tetap bisa masuk ya..anak mungkin awalnya ga ngeh kalau itu longgar), ya biarkan saja. Nanti anak akan berpikir “loh..kok ga bisa semuanya masuk lubang? Tadi waktu contohnya bisa masuk kok..” Justru saat ada kesalahan ini adalah waktu dimana anak belajar. Tapi seringkali, kita nih sebagai orang dewasa tidak membiarkan anak-anak ini belajar. Begitu salah langsung dibilang “salah tuh…ga bisa disitu. Di sini nih yang bener…”


                                          Foto: colourboxmontessori.co.uk

Hehe…jadi malu, karena kadang masih suka begini…misalnya pas Ara mewarnai di luar garis, saya masih suka sulit nahan diri untuk ga komentar “warnainya dalam garis ya ra..” Menurut Montessori, komentar seperti ini tidak diperlukan. Nanti kalau semakin sering mewarnai dan melihat buku-buku bergambar atau buku cerita (yang warnanya pada di dalam garis), anak bisa kok menemukan pemahamannya sendiri. Lagipula, komentar kita bisa ganggu konsentrasinya. Seharusnya, saat proses anak melakukan sesuatu kita hanya mengamati, bukannya malah intervensi dalam bentuk perilaku ataupun kata-kata.

Contoh lain, anak mewarnai matahari dengan warna biru. Reflek kita biasanya apa hayo? “Loh..kok biru? Emang matahari biru? Matahari warnanya kuning…” Mestinya gimana? Biarin aja dulu. Nanti kita ajak anak lihat matahari beneran atau baca buku yang ada mataharinya. Tidak perlu juga bilang “nih liat..mataharinya kuning..” Penemuan itu biar anak yang buat sendiri.

Begitu pula kalau anak main tuang-tuang masih suka tumpah.
Begitu pula kalau anak pegang alat tulisnya belum benar.
Begitu pula kalau anak masih belum bisa sorting shapes.
And so on… you get the point.

Tapi terus gimana dong kalau anak ga bisa-bisa atau ga gerti-ngerti? Nah..di sini inti perbedaannya antara true montessorian dengan yang bukan. True montessorian sangat yakin bahwa anak mampu mengajari dirinya sendiri. Kalau sekarang masih ga ngerti, ya besok kita kasih contoh lagi. Belum juga, ya besoknya lagi… lama-lama pasti bisa. Ini berlaku untuk semua anak, termasuk anak-anak kebutuhan khusus (fyi, murid-murid pertama Montessori itu anak-anak keterbelakangan mental).

Pertanyaannya: punyakah kita keyakinan dan kesabaran itu?

“PREPARED ENVIRONMENT”
Kalau anak bisa mendidik dirinya sendiri…lalu apa peran orang tua dan guru? Ya sebagai fasilitator (di Montessori disebutnya directress) untuk bantu menyiapkan lingkungan (prepared environment) agar anak bisa melakukan proses belajarnya dan berkembang. Ibarat bunga dan anak itu bibitnya, orang dewasa perlu menyiapkan air dan pupuk, sinar matahari sudah terberi dari Pencipta, dan anak akan tumbuh dengan sendirinya. Kita ga perlu tuh menarik-narik si bibit sampai keluar dari tanah, ga akan bisa pula kita memaksa dia untuk mekar. Sama seperti anak belajar jalan. Saat dia belum siap, mau diajari sampai jungkir balik juga ga akan bisa.

Montessori menekankan bahwa asal usul perkembangan itu tetap terletak dari dalam. Anak tidak tumbuh karena ia ditempatkan di lingkungan yang nourishing, ia tumbuh karena kehidupan potensi dalam dirinya berkembang sehingga potensi itu terlihat. Tapi untuk memastikan fenomena pertumbuhan dan perkembangan itu terjadi, kita harus menyiapkan lingkungan dengan cara tertentu, menawarkan anak sarana yang diperlukan olehnya.

Contohnya gimana? Simpelnya aja. Anak itu kan dari bayi punya rasa ingin yang tinggi. Makanya mereka senang memasukkan segala macam benda ke mulut, termasuk benda dan tangan-kakinya sendiri. Nah, sebenarnya ini adalah proses belajar. Mereka lagi eksplorasi bentuk, rasa, dan tekstur, itu cara belajar bayi secara konkrit. Jadi kalau lihat anak begini bagaimana? Biarin aja. Tugas kita sebagai orang dewasa adalah memastikan apa yang diemut itu bersih. Kalau memang bendanya berbahaya karena tajam atau terlalu kecil sehingga bisa tersedak, ya jangan sampai ada di dalam jangkauan bayi.

Untuk bayi yang sudah mobile, dia akan senang menjelajah ruang. Kalau sampai dia mengarah ke colokan listrik lalu ingin memasukkan tangannya ke lubang, itu sebenarnya dia lagi mau belajar. Kalau sampai dia tersetrum (semoga sih ga ada kejadian gini yaa…), yang salah bukan bayinya. Yang salah orang dewasa di sekitarnya. Harusnya di baby proofed.  Either colokannya dikasih pengaman, diletakkan lebih tinggi, atau bayi diberi tempat khusus untuk menjelajah secara bebas sehingga tidak ke area colokan. Untuk anak yang lebih besar dan sudah penasaran pasang-lepas kabel, daripada dilarang terus, ya ajari aja. “Cara pegangnya di bagian atas (kepalanya), kalau mau pegang kabel tangannya kering, dan coba-cobanya pas ada mama papa aja. Nanti kalau mama papa udah bilang boleh coba sendiri, gpp.” Bottom line, gimana anak mau bisa kalau ga dikasih kesempatan belajar?


                                             Foto: dslreports.com

Konsep prepared environment Montessori itu berarti bahwa lingkungan dirancang untuk memfasilitasi kemandirian belajar dan eksplorasi, jadi anak bisa berkembang tanpa bantuan konstan orang dewasa. Makanya kalau di sekolah-sekolah Montessori, barang-barang itu ukurannya disesuaikan sama anak. Rak buku/ rak alat-alatnya pendek serta terbuka, jadi anak bisa ambil sendiri. Dudukan toilet dan tempat cuci tangannya pendek, jadi anak bisa sendiri.  Kalau di rumah, kita bisa sediakan undakan untuk tempat cuci tangan.  Sesuaikan perabot rumah dengan anak, ukuran lebih kecil atau bahan yang ga mudah pecah. Siapkan meja kecil yang ada piring dan gelas, sehingga mereka tahu dan bisa bantu diri mereka sendiri kalau mau makan minum. Baju, buku-buku dan mainan simpan di rak yang bisa mereka raih, sehingga kapan pun mereka mau pakai bisa ambil. Kasih satu laci bawah di lemari dapur atau kulkas untuk barang-barang anak. Hal-hal ini melatih mereka untuk mandiri. Dan satu catatan penting: “Never help a child with a task at which he feels he can succeed.” Jadi kalau anak mau pilih dan pakai baju sendiri, walau ga matching dan jadinya lama, ya udah gpp….

Pertanyaannya: sudahkah rumah kita jadi lingkungan yang menyiapkan anak belajar?

“ABSORBENT MIND”
Absorbent mind adalah kapasitas pikir untuk menyerap informasi dan sensasi dari lingkungannya. Bayi terlahir tanpa bahasa dan cuma punya sedikit keterampilan, lainnya adalah insting dan refleks. Ia kemudian berkembang. Selama tiga tahun pertama, anak menggunakan indera-inderanya untuk memahami diri dan dunianya. Ini terjadi secara natural, tanpa pikiran ataupun kekuatan pilihan. Montessori menyebut periode ini sebagai unconscious mind. Di periode ini mereka mengembangkan keterampilan berbahasa dan keterampilan fisik (berjalan, kontrol tubuh) yang diperlukan untuk kemandiriannya.

Nah, meskipun batita menyerap kesan tanpa ia sadari dan pemikirannya belum terlalu terbentuk secara sadar, pengajaran disiplin dan hal-hal yang sifatnya value sudah harus dimulai sejak di tahap ini. Kenapa? Karena akan lebih mudah menanamkannya, belum ada banyak penolakan. Makanya kalau di sekolah Montessori, pelajaran paling awal adalah ground rules seperti bagaimana berjalan, bagaimana menutup pintu, bagaimana mengambil alat, bagaimana membuka dan menggulung alas kerja. Saya belum lulus 100% juga nih poin ini. Ara sekarang susah kalau diajak sholat, lebih hapal pula lagu-lagu da cerita Inggris daripada doa sehari-hari. Mungkin karena kurang ditanamkan kebiasaan ini waktu di tahap unconscious mind *nunduk*...

                                                                   Foto: kenmontschool.com

Selama periode unconscious mind, kita mulai bisa mengenalkan macam-macam hal pada anak. Misalnya, nama-nama hewan/ bangunan bersejarah melalui kegiatan mencocokkan miniatur dengan gambar, sambil menyebut nama dan asal negaranya. Nanti, saat anak belajar geografi (salah satu subtema di area budaya Montessori), mereka seperti menggali memori. Kesan itu sudah ada…nama itu sudah familiar….
Sekitar usia tiga tahun, anak beralih ke periode conscious mind. Anak secara sengaja mengarahkan dan memfokuskan perhatiannya pada pengalaman-pengalaman yang bisa membuatnya berkembang secara intelektual. Pikirannnya akan menyeleksi, menyusun, dan memaknai informasi-informasi yang sudah ia serap secara tidak sadar di periode sebelumnya.  It is through this order of his intelligence that the child gains the freedom to move purposely, to concentrate, and to choose his own direction.

Pertanyaannya: apa yang sudah kita tanamkan ke anak sejak masa unconsicus mind anak? Hal positif atau negatif?

“SENSITIVE PERIOD”
Buat pasangan suami istri, familiar dong ya dengan masa-masa subur? Bukan berarti di hari-hari lain tidak bisa terjadi pembuahan, tapi selama masa ini akan jauh lebih besar peluangnya. Perkembangan anak juga ada masa-masa pekanya, semacam keharusan khusus yang memotivasi anak untuk fokus pada beberapa aspek tertentu dari lingkungan dan mengabaikan yang lain. Selama masa peka, anak bisa belajar hal baru, menguasai keterampilan baru, atau mengembangkan kemampuan otak hampir tanpa sadar dan cepat sekali biasanya. Masa peka itu sifatnya sementara.  Jadi begitu periodenya terlewat dan tidak dapat stimulasi yang tepat, akan butuh usaha lebih keras dan latihan bertahun-tahun untuk belajarnya. Contohnya, relatif mudah buat anak usia 2-3 tahun untuk belajar bahasa asing, daripada orang dewasa.

                                           Foto: willowchild.com

Montessori mengidentifikasi adanya beberapa masa peka sejak anak lahir sampai usia 6 tahun:
Gerakan (lahir – 1 tahun)
Gerakan acak bayi jadi terkoordinasi. Beri kesempatan eksplor, jangan terlalu banyak digendong.
Bahasa (lahir – 6 tahun)
Dari celotehan hingga bicara lancar, mengikuti logat yang sering ia dengar.
Benda kecil (1 – 4 tahun)
Mengamati manik, suka perhatikan gerak semut di lantai, tertarik pada detail di foto / gambar.
Aturan ( 2- 4 tahun)
Segala sesuatu harus di tempatnya, suka rutinitas dan pengulangan aktivitas, cepat moody jika ada hal yang tidak familiar.
Musik (2 – 6 tahun)
Anak secara spontan tertarik pada nada, ritme, melodi. Sediakan alat musik di rumah.
Masalah toilet (1.5 – 3 tahun)
Saat sistem saraf berkembang lebih baik, anak belajar mengontrol aktivitas buang airnya.
Sopan santun ( 2 – 6 tahun)
Anak suka niru perilaku, yang bisa ikut membentuk karakter kepribadiannya.
Impresi sensori / inderawi
(2 – 6 tahun)
Lihat, dengar, sentuh, rasa, bau. Pertama pendidikan indera, lalu pendidikan intelek. Menyentuh jadi menulis, melihat jadi membaca. Meski pendidikan indera sudah terjadi sejak lahir, sejak usia 2 tahun anak-anak lebih peka dan takjub akan pengalaman inderawi mereka.
Menulis (3 – 4 tahun)
Diawali dengan usaha meniru huruf dan angka.
Membaca (3 – 5 tahun)
Ketertarikan spontan pada simbol dan suara.
Hubungan ruang (4 – 6 tahun)
Semakin pintar menyusun puzzle yang rumit sekalipun.
Matematika (4 – 6 tahun)
Beri anak pengalaman matematika yang nyata saat anak di masa peka terhadap angka dan jumlah.
Hubungan sosial (2.5 – 6 tahun)
Dari awalnya egosentris mulai belajar jadi bagian dari sebuah kelompok.

Pertanyaannya: sudahkah kita memanfaatkan windows of opportunity ini dengan sebaik-baiknya?

“FOLLOW THE CHILD”
Bebaskan anak memilih apa yang ingin ia lakukan, tidak perlu dipaksa. Orang dewasa kadang terlalu kaku, ingin anak menjalankan exactly what we want them to do. “Ya masa udah susah-susah disiapin alat permainannya, eh coba aja ga mau. Hiihhhh….” Hayo ngaku siapa suka gitu? *ngacung *kadang-kadang aja kok.. hehe.. Walau ga sampai maksa, tapi kadang saya suka gerutu sendiri dalam hati atau berusaha nego sama Ara.

True Montessorian akan menghargai apa pilihan anak. Saat anak menolak, berarti mungkin memang ia belum siap atau memang sedang tidak mood. Kita harus mutar otak apa yang bisa buat dia termotivasi, tetapi bukan dengan reward eksternal. Ms. Sarah, trainer waktu saya pelatihan ini, bercerita bahwa ada muridnya dulu yang sama sekali tidak mau masuk ke dalam kelas selama 1 minggu lebih. Ia lebih suka di luar dekat kolam, karena senang ikan. Akhirnya Ms. Sarah dan partner gurunya membawa aquarium kecil ke dalam kelas, dan menyediakan alat pembelajaran tambahan yang berkaitan dengan ikan. Perlahan-lahan murid tersebut mau masuk, dari hanya sebentar-sebentar sampai akhirnya mau di dalam kelas selama jam sekolah.


                                          Foto: pinterest.com

Di sekolah Montessori, bila anak sama sekali tidak mau bekerja dengan alat-alat peraga yang ada, atau hanya mau memainkan alat-alat tertentu saja, ya sudah. Artinya ya anak belum merasa siap. Ia tetap bisa belajar juga kok dengan mengobservasi anak-anak lain. Anak tidak akan dipaksa, apalagi diberi ancaman/ hukuman. Reward seperti stiker atau pujian berlebihan pun tidak disarankan.

Lebih lanjut, setiap alat peraga Montessori punya tujuan dan cara bermain spesifiknya. Guru mengajarkan bagaimana cara menggunakannya. Namun bila anak punya pemikiran sendiri, yang kadang sangat berbeda, dan mau berkreasi melakukan variasi atau ekstensi, so be it. Let them.

Jujur, pas lagi bahas ini saya juga merasa disentil. Sepertinya saya masih kurang sabar menghadapi Ara, kayak misalnya sekarang ini dia lagi malassss banget genjot sepeda. Jadi selalu maunya didorong. Begitu berhenti didorong ya mandek juga dia. Minggu lalu malah baru aja kejadian, tantrum di tengah jalan sampai guling-guling, karena saya ga mau dorong sepedanya.  Saya bilang kalau ga mau genjot, ya udah jalan aja sampai rumah. Ara nolak, malah minta gendong. Saya kekeuh ga mau gendong. Alhasil deh jadi tontonan tetangga hehe…

Kalau pakai prinsip Montessori “follow the child” ini, harusnya saya ga boleh kesal saat Ara menolak genjot. Berarti ya saat ini dia belum siap belajar naik sepeda sendiri. Saat tiba saatnya, pasti mau kok. Biarkan keinginan itu datang dari dirinya sendiri.

Pertanyaannya: cukup sabar dan yakinkah kita untuk mengikuti anak dan tidak melakukan intervensi? Cukup bisakah kita menahan diri untuk mengamati daripada memberi instruksi?

“BEBAS BERBATAS”
Montessori meyakini bahwa hanya melalui kebebasan dan pengalaman praktis maka pembangunan manusia terjadi. Bebas disini bukan berarti bebas-sebebasnya lho... Tetap ada aturan dan batasan yang perlu diikuti. Misalnya nih, anak-anak lagi memakai alat peraga. Kalau cara pakainya beda dari contoh kita (kita contohin tumpuk ke atas sama anak dijejer ke samping), biarkan. Tetapi kalau mereka sudah mulai lempar-lempar atau pukul-pukul, sudah harus di stop karena itu penyalahgunaan. Atau mereka merebut alat yang dipakai anak lain, ya harus dihentikan. Setiap alat peraga di kelas Montessori itu memang hanya satu untuk setiap jenis, agar secara tidak langsung mengajarkan bergantian.

                                           Foto: ami-global.org

Bebas berbatas itu artinya bebas yang tetap menunjukkan respect ke diri sendiri, orang lain, alat, dan lingkungan. Kebebasan yang bisa kita kasih ke anak seperti kebebasan bergerak, memilih, bebas dari bahaya, bebas dari kompetisi (atau perbandingan dengan anak lain), serta bebas dari tekanan.

Kenapa sih kita harus kasih anak-anak kebebasan? Menurut Montessori, justru anak-anak butuh kebebasan untuk mengembangkan disiplin diri. Dengan kebebasan, ia bisa memahami tindakannya dan konsekuensinya. Dengan kebebasan, anak bisa capai pemenuhan diri dan menemukan kemampuannya sendiri. 

Pertanyaannya: kebebasan seperti apa yang sudah kita berikan ke anak?

“URUTAN ADALAH JANTUNG PEMBELAJARAN MONTESSORI”
Selama workshop, terasa sekali hawa keteraturan dan urutan di kelas Montessori. Meski anak boleh memilih alat peraga mana saja selama di kelas, namun saat guru melakukan presentasi (pengenalan alat/ konsep secara individual) itu harus berurutan sesuai dengan usia. Anak udah bisa menguasai satu alat dulu baru lanjut ke alat berikutnya.

 Montessori punya 5 area (practical life, sensorial, language, math, culture), di setiap area itu sudah ada tingkatannya. Misal di practical life, anak mulai dari menyendok, baru lanjut ke menuang, memindahkan dengan pipet/sumpit, menjepit, melipat, menyapu, membuka dan menutup, meronce, kemudian lanjut ke menggunting. Menyendok pun ada urutan-urutannya lagi: dari mangkuk ke mangkuk, dari 1 mangkuk ke 2 mangkuk lain berukuran sama, dari 1 mangkuk ke 2 mangkuk berbeda ukuran, sampai menyendok dari mangkuk ke mangkuk dengan garis indikator. Alat-alat ini pun diletakkan secara berurutan, yang lebih dulu diajarkan di rak teratas.
                                           Foto: hedleyparkmontessorischool.com
Area yang dipresentasikan mulai dari pratical life dulu. Kenapa? Karena barang-barang disini yang paling familiar buat anak, bisa mereka lihat sehari-hari di rumah. Dan dari sini itu dibangun konsentrasi, yang sangat sangat sangat penting dalam proses belajar.

Dari segi bahasa, menulis lebih dulu diajarkan daripada membaca. Kenapa? Karena menulis bukan hanya membentuk simbol dengan tangan, tetapi juga ekspresi kreatif anak dari dalam. Anak harus pikir dulu mau ngomong apa, menganalisis suara, dan menuliskannya di kertas.  Belajar menulis di Montessori fokus pada pembelajaran bunyi (phonic), bukan nama-nama huruf.

Kebanyakan alat pada area sensorial itu merupakan basis pembelajaran di area matematika dan bahasa. Contoh, anak harus bisa alat long rod di area sensorial dulu baru bisa masuk ke alat number rod di area Matematika. Tapi disini saya ga akan bahas apa aja alat-alat Montessori dan apa fungsinya yaa…buanyaakkkk hehe.. workshop ini aja baru part 1. Nanti setengahnya lagi di part 2 bulan Juni.   

Untuk ajarkan ke anak nama benda/ suatu konsep baru, metodenya adalah 3PL (Three Period Lesson). Misal belajar panjang pendek, pakai penggaris.
Periode 1: Penamaan (Ini adalah….) – Kita tunjuk penggaris panjang sambil bilang ‘panjang’, lalu tunjuk penggaris pendek sambil bilang ‘pendek’           
Periode 2: Pengakuan (Tunjukkan) – Beri instruksi pada anak “Tunjukkan mana yang panjang / pendek”
Periode 3: Pengingat (Apa ini?) – Beri pertanyaan ke anak sambil tunjuk salah satu penggaris “Apa ini?”

Pertanyaannya: sudahkan kita perhatikan urutan dalam proses belajar anak? 

"CIRI-CIRI ALAT PERAGA MONTESSORI"
Kalau alat peraga Montessori yang dipakai di sekolah berbasis Montessori, biasanya memang sudah standar dan harganya cukup mahal. Tapi kita bisa kok buat sendiri, selama tau prinsip-prinsipnya.

Setiap alat terbatas pada satu kualitas

Maksudnya itu ga multidimensi. Tau mainan ring donat? Yang bulet-bulet warna-warni disusun ke atas itu? Nah itu sebenernya kurang tepat. Mau ajari apa? Warna apa ukuran? Kalau mau ajari warna, ya ukurannya sama semua harusnya. Kalau mau belajar ukuran, warnanya sama semua. Jadi menurut Ms. Sarah, bukan berarti ga boleh dipakai..tapi itu dibilangnya hanya alat bantu, bukan alat utama, untuk mengajari suatu konsep.


                          Foto: goodneighbormontessori

Sederhana ke rumit

Berjenjang..misal di area Matematika, dari awal harus belajar dulu konsep hitungnya (one-on-one correspondent), baru terus belajar simbol angka (1 itu untuk jumlah satu, dst). Kalau sudah paham sekali baru masuk ke ganjil genap, operasi matematis (+, -, x, :) dan pecahan.  

Umum ke khusus

Dari kategori besarnya baru masuk ke kategori yang lebih spesifik. Misalnya awalnya belajar tentang makhluk hidup vs benda mati, lalu hewan vs tumbuhan, baru ke vertebrata vs invertebrata, kemudian ke penggolongan vertebrata (mamalia, fish, amphibian, reptil, birds), lanjut ke yang lebih spesifik lagi seperti fly vs flightless birds. 

Menyiapkan pembelajaran selanjutnya

Alat-alat itu sebaiknya sudah terpikirkan dengan baik untuk menyiapkan pembelajaran selanjutnya. Misalnya di area culture, saat belajar nama-nama binatang, kartu gambarnya itu diberi kode warna sesuai warna di globe Montessori. Ini akan memudahkan ketika nanti mereka belajar geografi nama-nama benua. Ada pula yang tampaknya tidak nyambung padahal merupakan batu pijakan.  Kegiatan menyendok dan menjepit itu adalah persiapan membaca dan menulis. Kok bisa? Menyendok diajarkan dari kiri ke kanan, karena ketika kita baca tulis arahnya seperti itu (kecuali ngaji ya hehe). Lalu ketika menjepit, otomatis posisi jari kita itu seperti tripod grip, pegangan yang benar saat memegang alat tulis.

Dari nyata/konkrit ke abstrak

Idealnya, belajar apapun memang selalu dimulai dari konkrit ke abstrak. Jadi misal mau ajari anak tentang buah-buahan. Awalnya pakai benda-benda nyata dulu (buah asli/ miniatur buah-buahan), baru kemudian mencocokkan antara benda konkrit dengan gambar (buah jeruk dengan gambar jeruk), lanjut ke mencari gambar-gambar buah jeruk (tanpa benda asli). Begitu pula dengan belajar baca da hitung. Kemarin saya terbengong-bengong waktu belajar area math karena benar-benar konkrit sekali. Jadi anak benar-benar bisa membandingkan bahwa 1 ribuan = 10 ratusan = 100 puluhan = 1000 satuan. Ga pernah kebayang untuk buat sekonkrit ini karena seribu kan banyak banget, dan emang banyak! Cuma Montessori menemukan caranya gimana supaya anak bisa dapat pemahaman secara konkrit.




Self-corrected

Alat-alat peraga Montessori didesain sehingga anak bisa menemukan kesalahannya sendiri. Saat ia menggunakan tidak secara tepat sesuai contoh, maka saat melakukan ricek pasti akan terlacak. Misalnya saat anak diminta untuk mencocokan kartu gambar kotak dan kartu gambar rubah dengan kartu tulisan box dan kartu tulisan fox. Akan ada kartu ricek yang isinya kartu gambar kotak bertuliskan box, dan kartu gambar rubah bertuliskan fox. Anak diminta untuk membandingkan hasil kerjanya dengan kartu ricek itu. Kalau anak ga ngeh salahnya dimana, maka berarti ia belum paham konsepnya dan perlu dilakukan presentasi ulang. Thoughtful sekali ya..

Waahhh…udah panjang sekali yaaa. Walau belum bisa share semuanya, tapi mudah-mudahan tulisan ini membuat lebih terbayang Montessori itu seperti apa. Yuk sama-sama belajar menerapkan prinsip-prinsip ini saat mengajak anak bermain dan belajar, terutama bagian kesabaran dan keyakinan! Hehehe.. semangat!! ^^