Ara: Ini apa ini? (Tunjuk lantai)
Opa:
Ini lantai
Ara:
Ada apanya nih? (Tunjuk noda hitam di lantai)
Opa:
Ada kotorannya
Ara:
Apa itu kotoran?
Opa:
Hmmm....apa ya..yang buat jadi ga bersih..yang ga kita inginkan
Ara:
Apa itu yawawaninan (maksudnya niruin ucapan opanya)
Opa:
Waduh..gimana neranginnya? (sambil garuk-garuk kepala)
Ara:
(liatin opanya)
Ara:
(mungkin mikir *ah opa lama jawabnya...ganti pertanyaan deh..lalu berdiri dan
ambil sumpit) Ini apa nih?
---------------------------------
Itu salah satu percakapan Ara sama opanya.
Ara si ceriwis, sampai kadang dia suka dikira udah 3 tahun, walau dia baru akan
ulang tahun kedua Februari nanti. Ara memang doyan nanya-nanya, doyan nyanyi, doyan nyuruh, mulai
belajar nego, dan yang terbaru dia lagi suka main boneka sambil buat cerita
sendiri dengan macam-macam skenario.
Lihat anak belajar bicara itu ga pernah
berhenti buat saya takjub. Dari yang bisanya cuma nangis, terus ngomong
terbata-bata karena ga bisa nemuin kata yang tepat padahal mungkin di otaknya
udah tau mau bilang apa, sampai akhirnya
sekarang dia udah bisa diajak ngobrol dan ekspresiin kemauannya dengan sangat
vokal.
”Mama..Ara
mau kue”
”Ga, Ara ga mau mandi!”
”Ara mau main sepeda lihat ayam”
”Ara mau gendong mama sambil bawa balon
minion”
”Ara
mau nonton pooh...satu? satu?”
”Kita main coret-coret yuk”
Tapi
sedihnya.. belakangan ini lagi sering nemuin kasus speech delay. Makanya terus saya jadi kepikiran ingin nulis seputar
ini.
Sebagai
orang tua, selain momen langkah pertama anak, biasanya yang ditunggu-tunggu
banget juga adalah momen pas anak mulai ngomong. Iya ga? Saya sih iya. Sayangnya,
belum semua ortu kasih stimulasi yang dibutuhkan untuk mendorong anak bicara.
Atau sebaliknya, malah lakuin hal yang justru ngehambat. “Ah, masa sih ortu sengaja mau buat anaknya lambat ngomong?” Yah
mungkin bukannya sengaja sih..tapi….kasih anak nonton tv (atau main ipad,
tablet, video di hp) berjam-jam sehari itu ga akan bantu anak cepet ngomong
kalau ga didukung sama interaksi langsung secara intensif. And yes, it includes baby first, baby Einstein, baby brain, Disney
junior, and other so called baby programs.
Ada yang
suka nanya gimana caranya ngajarin Ara supaya banyak omong. Biasanya saya cuma
bilang, “Ara ngikutin mamanya ini,
mamanya cerewet soalnya hehehe..” Eh
tapi bener deh, sebenarnya stimulasi untuk dorong keterampilan bicara anak itu
sederhana dan ga butuh banyak biaya kok (kecuali untuk buat beli buku, bisa
dibilang gratis!).
First and for most…talk talk talk talk talk talk…. Ngomong aja terus-terusan. Kemampuan
pendengaran bayi udah mulai berkembang sejak dalam kandungan, dan waktu lahir
sudah seperti orang dewasa. Beda sama indera penglihatan yang butuh beberapa
bulan untuk jadi setajam orang dewasa. Semakin sering kita ajak ngomong,
semakin banyak yang terekam di otak anak.
For me, there’s no such thing as
talking too much with your baby, you just can’t go wrong with it. Di
awal-awal memang kita kayak ngomong satu arah aja, dan mungkin ada orang tua
yang ngerasa konyol untuk ngomong dan heboh sendiri sementara bayinya
datar-datar aja. Beberapa orang mungkin butuh effort lebih, karena susah keluar kalimat-kalimat spontan secara
natural. But that effort will be worth
it. Percaya deh, walau kayaknya bayi ga ngerti apa-apa, mereka belajar kok
sebenarnya. Tapi ya memang mereka butuh waktu belajar yang lebih lama daripada
orang dewasa. Di tahun pertama hidupnya, bayi mungkin bisa butuh beberapa
minggu untuk benar-benar paham kata-kata yang mereka dengar setiap hari. Nah
itu aja kata yang didengar tiap hari, kalau jarang-jarang diajak ngomong
bisa-bisa lebih lama lagi.
Apa aja yang diomongin? Apaan aja bisa
kok. Saya selalu kasih narasi hal-hal
yang Ara lakuin “Ara lagi lihat apa? Itu
gambar bunga ra..bagus ya. Warnanya merah, terus ada daun-daunnya yang warna
hijau. Kalau bunga asli yang ada di taman, wanginya harum loh. Kita nyanyi yuk,
lagu Kebunku.” Saya juga suka narasiin apa yang saya atau orang-orang di
sekeliling lakuin, misalnya ”Wah papa
habis mandi nih ra. Seger banget tadi, mandinya pakai air dingin. Kalau mandi,
juga pakai sabun, supaya badannya jadi bersih dan wangi. Sekarang papa mau
pakai baju. Masuk dari kepala, terus tangan kanan, tangan kiri, turunin deh.
Coba liat ada gambar apa nih ya di kaos papa?” Ga cuma saya, papa, oma opa, yangti dan
yangkung Ara juga kompakan untuk bernarasi. Mba di rumah juga saya ajarin gitu. Sekarang
ini, Ara juga jadi kebiasa deh narasiin sesuatu yang dia lakuin atau yang dia
liat. Tanpa diminta, dia suka bilang sendiri ”Ara pakai baju merah”, ”Oma potong pepaya buat opa” , ”Yangti boboan di kasur”, dll.
Selain frekuensi ajak ngomongnya, intonasi
nada bicara kita itu juga penting. Be animated! Pakai nada, melodi, bahasa tubuh, dan ekspresi wajah yang rada
heboh. Bahkan awal-awalnya, ini lebih penting daripada konten omongan kita. Cuek
aja lah kalau dibilang hiperbolis ^^ Kalau keabisan ide mau cerita atau mau
ngomongin apa, ambil aja majalah atau buku terdekat. Bacain deh tuh, dijamin
bayi masih tertarik juga. Ngeliat kitanya, bukan tulisannya hehehehehe... Mau majalah Time ”Eh ra ra.. tau ga? Lagi ada pelantikan presiden baru loh... Ara
tau ga presiden itu apa? Preeee...siiii...deen..... Itu orang nomor satu di
negara Indonesia, yang ngurus semua-semuanya. Nah presiden yang baru namanya
Jokowi. Jokowi! Jokowi!” atau
brosur restoran ”Ra ada restoran baru
buka nih di deket rumah kita. Katanya jual dimsum all you can eat. Hmmmmm...
yummyyyyy... dimsum itu biasanya dikukus. Kalau masak itu ada juga yang
digoreng, seng oseng oseng... waaahhh, dan ternyata harganya ga terlalu mahal. Hore!!”
semuanya sah-sah aja.
Kalau lagi mau ajarin kata baru, misalnya
bola, bakal lebih cepet nyantol kalau dikenalin dengan benda konkritnya dan dalam konteks.
Jadi daripada pakai flashcard (kartu
bergambar), ya mending kasih obyek aslinya. Dan daripada sekedar nunjukin ke
dia ”Ini bola ra. Boooo...laaa...” mendingan anaknya diajak main ”Ara lagi main apa itu ya? Oh lagi main
bola ya. Boooo….laaa…. Iya Ara lagi tendang-tendang bola. Bola bentuknya bundar
yah, dan bisa buat pantul pantul juga. Boing! Boing! Boing!” Saya dulu beli flashcard, tapi pada akhirnya yang saya pakai cuma yang
gambar-gambar binatang aja (karena
agak susah ya kasih lihat aslinya, kecuali kucing yang sering keliaran depan
rumah, sama burung dan ayam piaraan tetangga :D). Sisanya (macam kartu obyek
rumah tangga, warna, bentuk, buah-buahan dan sayur mayur) akhirnya ga terpakai,
karena saya lebih prefer langsung
kasih liat benda aslinya.
Pas mau kenalin kata baru, penting buat kasih
penekanan dengan intonasi nada, kasih petunjuk visual, kalau perlu tambah dengan gerakan dan dipadu dengan nyanyian. Intinya, semakin banyak
indera yang dilibatkan, semakin cepat anak belajar dan semakin kuat ingatannya.
Sama seperti kalau kita dengar kata ‘mobil’ , kita bisa kan ya ngebayangin
bentuknya, berasa dengar bunyi mesinnya, bayangin bau wangi mobilnya, ngerasain
empuknya jok mobil, dan seolah ada sensasi goyang ketika mobil berjalan. Betul?
Itu karena otak kita sudah punya memori semuanya itu. Jadi misal kita mau ajari
anak kata ’piring’, biarin dia pegang piring asli untuk eksplorasi bentuk dan
bahannya, serta dengar bunyi yang timbul kalau terdenting alat makan. Lalu
waktu makan sambil bilang ”Ara makanannya
ditaruh di piring ya. Ini namanya apa? (sambil tunjuk piring) Yup betul. Ini piiiii....ringgggg.... ” Dengan
cara ini, bayi pasti lebih cepet paham konsepnya, dibanding yang cuma dikasih
liat gambar piring, atau pas waktu makannya cuma nyuapin tapi ga diajak ngomong
apa-apa bayinya. Ga semua kata atau benda akan kita ajarin secara sadar ke
anak, tapi ternyata mereka nangkep loh. Amazing
memang ya. Kadang tau-tau Ara ngomong suatu kata, dan memang bener maksudnya
ngacu sama hal yang dia sebut itu, dan saya bertanya-tanya ”wah kapan dia belajar kata itu? Kapan saya ngajarin ya? Atau siapa ya
yang ngajarin? Denger dari mana ya dia?”
Waktu Ara baru belajar bicara, kayak semua
bayi lain, pastinya dia bicara sepatah-patah (’mi’ untuk ’minum’, ’wa’ untuk ’bola’)....
terus juga pakai satu kata untuk banyak hal (’au’ bisa artinya ’jatuh’, ’lampu’,
’kasur’)..... dan lakuin generalisasi (semua yang bulat dibilang bola, walau
sebenarnya itu kelereng, roda, bulan). Kalau seperti ini, yang saya lakuin
adalah koreksi tanpa terlalu
besar-besarin atau sampai ngebuat percaya diri Ara hilang. Jadi misal Ara bilang
’wa..wa..’ sambil nunjuk bola, saya koreksi
dengan kata yang benar, ”Ara mau minta
apa? Oh mau bola. Yuk kita main lempar-lempar bola.” Misal dia bilang bola padahal nunjuknya roda,
koreksi juga. ” Kalau yang ini roda.
Rrrrroooo...da.. Mirip ya ra sama bola? Iya sama-sama bulat sih ya soalnya. Gpp
salah kan namanya belajar ya. Nanti lama-lama pasti bisa bedain. Kalau bola itu
untuk dimainin, kalau roda, itu untuk bantu pindahin sesuatu. Nih liat ya..”
Ngomong sama bayi, bukan berarti harus
ikut-ikutan bahasa bayi. No motherese. Sering ga denger orang
ngomong kayak gini kalau lagi ngadepin bayi ”cayang..
kenyapa nangis? Cini yuk mimik cucu dulu yuk.. bial kenyang, teyus enyak deh bobonya”
terus biasanya nadanya pitch tinggi
gitu hehehe... Nah itu yang namanya motherese.
Kesannya memang lucu ya, tapi sebenernya kurang bagus untuk perkembangan
bahasa. Saya biasanya pakai bahasa biasa kayak waktu lagi ngomong sama orang
dewasa. Bilang aja ”sayangnya mama kenapa
nangis? Yuk kita minum susu kedelai yuk. Nanti kalau
perutnya kenyang habis minum susu, Ara bobonya lebih nyenyak.” Biar Ara lebih ’ngeh’ sama apa yang
diomongin, tinggal tempo bicaranya
aja diperlambat dan artikulasi diperjelas.
Tiap hari, salah satu kegiatan wajib itu
adalah baca buku cerita. Buat saya
buku itu investasi yang penting banget. Sejak Ara lahir udah saya bacain buku,
dan alhamdulillah Ara jadi suka baca. Setiap hari sekarang malah dia yang suka
minta untuk dibacain cerita. Awalnya mungkin bayi ga bisa tenang untuk
dengerin cerita sampai habis. No problem.Ga
usah ikutin story line yang ada di
buku juga gpp banget. Gantinya bisa ajak anak main tebak-tebakan gambar. “Si monyet makan apa ini ya? Oh
iya! Makan pisang! Pisangnya mana ya? Tunjuk ayo coba tunjuk..” Kalau
anak belum tau, bisikin jawabannya dan biarin mereka yang sebutin keras-keras.
Practice
makes perfect. Dorong
supaya anak pelan-pelan mau gunain kata-kata untuk utarain apa yang dia mau. Misal
Ara rentangin tangan minta gendong, jangan langsung gendong. Tahan dulu sambil
bilang “Ara mau minta gendong mama?
Bilang deh, mama…..ara minta geeeeennnn….dong! gen…donggg”. Lihat kemampuan
anak, mungkin di awal-awal dia cuma baru bisa ikutin kata ‘ong’ nya aja, it’s perfectly fine. Pelan-pelan nanti
dia bisa bilang ‘dong’, ‘endong’, ‘gendong’,
‘mau gendong’, sampai akhirnya kalimat lengkap ‘Ara mau gendong sama mama’. Di situasi lain juga gitu, pas dia minta makan, minta diambilin sesuatu,
atau waktu dilatih untuk bilang ’tolong’ dan ’terima kasih’. Sebelum dia ucapin
katanya, barangnya agak saya tahan dulu. Oh ya, sekali-sekali kasih pertanyaan ke anak yang jawabannya bukan ya atau tidak, tapi pilihan, supaya dia perlu ngomong untuk kasih tau pilihannya. "Ara mau makan ayam atau ikan?", "Kamu mau pakai baju yang warna kuning atau biru?", "Ara mau main tempel-tempel atau masak-masakan?"
Di samping ajak
ngomong, kitanya juga harus gantian untuk dengar
bayi ngomong. Cooing (uu..ooo..ah…) is talking. Babbling (ma..ba..da..) is talking. Jabbering (menya menya menya,
cabeca beca beca..hajipaw hajipaw) is
talking. Jangan dianggap non sense semata
karena itu usaha anak buat ngomong, harus direspon. “Kamu lagi ajak ngomong papa ya? Mau cerita apa sih? Senang
ya tadi diajak jalan-jalan ke taman?“ Dengan kita kasih giliran untuk bicara,
bayi belajar seni percakapan. Mereka pun akan ngerasa kalau omongan
mereka berharga untuk didengerin, kalau apa yang mereka ucapin itu dianggep penting
sama orang lain. Ini bakal buat
mereka lebih terdorong untuk terus berkomunikasi. Kasih mereka 'reward' (ditepukin, tunjukin ekspresi girang, bahkan 'sekedar' direspon itu juga reward loh). Bayanginnya gini aja, kalau
kita ngajak orang ngomong tapi selalu dicuekin, lama-lama pasti kita bakal jadi
malas dan milih untuk diem. Betul ga? Nah, jangan sampai kita buat bayi
jadi males untuk bersuara.
Gimana dengan
televisi (dan tablet, dan video, dan ipad)? Apa bener ga boleh sama sekali? Well..
kalau dari rekomendasi para ahli memang anak di bawah 2 tahun itu sebaiknya ga
dikasih nonton sama sekali. Tapi buat saya ini susah sekali, karena saya dan
suami pun belum bisa lepas dari gadget.
Kami sih sejak Ara lahir udah jarang banget nonton televisi (film), dan
biasanya untuk itu nunggu Ara bobo. Tapi kita masih lihat televisi untuk nonton
berita, dan masih sering buka tablet, hp, dan laptop buat kerja. Jadilah
Ara juga penasaran pengen tahu apa sih yang sering dilihat mama papanya. Jalan
tengahnya, ya dengan batasi waktu nonton.
Saya juga pilih acaranya dan sebisa mungkin temani dia nonton. Program-program
edukasional buat bayi itu bisa ajarin anak konsep (huruf, warna, berhitung,
kosa kata baru), tapi perkembangan bahasa dan komunikasi itu baru akan terjadi
melalui interaksi. Screens are not
interactive. People are. Ada penelitian yang nunjukin kalau dvd edukasional bayi itu ternyata ga terlalu bantu anak belajar kata, kalau digunakan sebagai media utama. Untuk detail penelitiannya bisa dibaca disini. Dari penelitian lain juga keliatan (melalui brain scan), kalau anak yang dengar paparan kata lebih banyak dan sering itu akan gunain lebih banyak kapasitas otak mereka untuk belajar bahasa. Kesenjangan antara dua kelompok anak (yang sering diajak ngomong dan ga) makin terlihat waktu usia prasekolah, dari jumlah kosa kata dan keekspresifan bahasanya.
“Ri..gw juga dah lakuin tuh sama kayak lo,
tapi kok anak gw masih senyap aja ya?” Hmmm…misal seperti itu, sabar aja ya
pak..bu.. Ada kalanya anak maunya nyerap dulu. Perkembangan bahasa itu juga ada
dua macam, reseptif (pemahaman) dan ekspresif (pengungkapan). Misal anak belum
ngomong tapi dia paham apa yang orang lain bilang (bisa dikasih instruksi ‘ambil
boneka’, ‘tepuk tangan’, bisa tunjuk bendanya kalau ditanya ‘mana mobil?’ dll)
berarti kemampuan bahasa reseptifnya sebenarnya berkembang. Selama area perkembangan lainnya
oke, dan memang stimulasinya cukup, tinggal tunggu waktu aja. Anak kan beda-beda juga. Ada yang lebih cepet ngomongnya tapi motorik ga terlalu oke, atau sebaliknya, motorik oke tapi masih malu-malu ngomongnya. Nanti kalau ‘kran’ nya udah dibuka, bisa tiba-tiba langsung deras deh aliran kata-katanya.
Tapi... misal ada gap
bulan yang cukup jauh antara perkembangan anak dengan tahapan perkembangan
yang seharusnya, ada baiknya untuk cek ke klinik tumbuh kembang ya, jadi
misalkan perlu penanganan khusus (ikut terapi wicara) bisa lebih cepat. Silahkan
lihat tabel indikator tumbuh kembang anak 0-3 tahun disini.
Ini dulu ya yang bisa saya share.
Now go talking to your child ^^