Thursday, December 11, 2014

Anak Malas Baca Buku??

Senin lalu sempat diwawancara singkat sama reporter Kompas TV, ditanya soal faktor apa yang bisa jadi sebab anak sekarang jadi suka malas baca buku.

Hm... imo, alasan utama anak bisa jadi kurang suka baca ya karena lingkungan terdekatnya ga contohin itu. Kalau orang tua, kakak, sepupu, pengasuh, atau siapapun yang sering anak lihat lebih banyak habisin waktu buat nonton tv, denger radio, main games, atau ngobrol.. daripada baca buku..ya wajar juga kan kalau anak ga biasa baca? Sekolah-sekolah di Indonesia juga belum banyak yang terapin gerakan baca, misalnya dengan dorong anak nuntasin sekian buku bacaan dalam 1 tahun dan isi reading log. Kurangnya minat baca buku bisa juga karena anak anggap aktivitas baca itu bosenin dan buat capek pikiran. Baca kurang diliat sebagai pengisi waktu luang yang nyenengin, karena diasosiasikan dengan tuntutan belajar atau akademis. Sebagian orang tua yang nuntut anak untuk bisa baca terlalu dini dan lebih fokus pada ngembangin kemampuan bacanya, bukan bentuk minat bacanya. Lanjut lagi, anak bisa jadi kurang suka baca buku ya karena perkembangan teknologi dan banyaknya alternatif kegiatan lain yang dianggap lebih menarik. Banyak anak yang anggap buku kurang asyik, karena ga kasih efek seperti saat main games di gadget/ alat elektronik atau main di arena permainan.

Lalu…apa ya yang bisa orang tua lakukan buat ningkatin minat baca anak?  


Baca cerita sama-sama
Mulai dari keluarga, mulai dari rumah. Jadiin kegiatan baca sebagai bagian dari rutinitas keseharian. Ga perlu lama-lama kok, 10 menit pun cukup. Tentu disesuaiin juga sama usia anaknya ya. Makin besar anaknya, rentang atensi makin lama, waktu baca bisa dibuat lebih panjang. Kalau anaknya masih belum bisa lama-lama, lebih baik sesi bacanya dibuat singkat (3-4 menit) tapi lebih sering.  Bagi orang tua yang kerja, bacain anak cerita di waktu sebelum tidur bisa jadi quality time yang buat makin lengket lho. Aktivitas baca akan jadi menyenangkan karena sama-sama mama papa tersayang. Bacain ceritanya yang menarik, pakai intonasi nada, mimik wajah, dan bahasa tubuh yang hidup. Sama anak sendiri ini, ga perlu jaim hehe... Untuk anak usia dini, kegiatan baca bersama dan dongeng itu jadi stimulasi yang bagus banget buat perkembangan bahasanya. Anak bisa belajar banyak kosa kata, struktur kalimat, dan pengetahuan tentang macam-macam hal. Ga cuma baca, bisa juga kita kembangin dengan pertanyaan-pertanyaan seputar cerita, atau minta anak ceritain kisah dengan bahasanya sendiri. Hal ini bisa ningkatin konsentrasi, kemampuan ekspresi diri, dan mendorong kesukaan anak sama buku. 


Permudah akses anak ke buku
Sediain deh pojok baca di rumah. Buku-buku Ara itu saya taroh di satu kotak di sudut ruangan, jadi dia dengan gampang bisa milih-milih dan ambil sendiri apa yang ingin ia baca. Kadang dia minta bacain buku yang sama berulang-ulang. Bosen juga sih, tapi sebenarnya pengulangan itu bisa buat anak prediksi plot dan lebih paham alur cerita. Terus, kemana-mana saya pasti bawa buku. Di mobil ada buku, di tas Ara juga ada buku. Jadi kalau pas pergi dan harus nunggu (misal ke restoran tapi makanan belum datang, atau Ara nemenin saya ke bank), dia bisa isi waktu dengan baca. Untuk anak yang mulai banyak tanya-tanya, bisa juga kita fasilitasi dengan buat buku kumpulan pertanyaan dan jawaban. Jadi tiap kali anak nanya, misal”apa sih hewan yang larinya paling cepat?”, ”kenapa bisa ada pelangi?”, ”berapa lama sih pergi dari Indonesia ke Amerika?” kita ajak sama-sama untuk cari informasi dari buku atau browsing di internet, lalu print / catat jawabannya di buku. Tambahin deh gambar-gambar biar lebih menarik.  


Buat agar anak nikmati waktu baca
Biar anak senang baca, konten bacaan perlu sesuai sama apa yang disukai anak. Anak suka pesawat, cari buku soal pesawat. Anak suka binatang, cari buku-buku tema binatang. Anak suka sejarah, cari buku yang bahas tentang budaya negara-negara. Untuk anak usia dini, cari buku yang banyak gambar dan sedikit tulisan, stimulasi indera-inderanya (warna-warna cerah, ada suara, ada ragam tekstur yang bisa disentuh), plus ada rima atau kalimat repetitif yang mudah diprediksi dan diingat. Buku board book atau buku kain sangat cocok karena lebih tidak mudah robek. Selain konten, perlu diperhatiin juga level kesulitan bacaan. Agar anak nikmati waktu baca, jangan pilih buku yang terlalu sulit dicerna dan anak butuh usaha keras buat pahami isinya. Kalau terlalu sulit, jadinya anak sudah malas baca duluan. Ga apa-apa lho baca komik, atau novel, atau majalah. Ga selamanya anak harus baca buku pengetahuan atau ensiklopedia. Apalagi sekarang sudah banyak juga buku yang kombinasiin pengetahuan dengan penyajian yang menarik, tinggal ortu pinter-pinter dan rajin-rajin cari buku yang bisa bangkitin rasa tertarik anak. Perlahan-lahan, kalau anak sudah terbiasa baca, baru deh tingkatin kompleksitasnya. Panduan umumnya, kalau dalam satu halaman ada 5 kata atau lebih yang anak ga tahu artinya, berarti buku itu di atas kemampuan anak. Akan sulit bagi anak untuk baca mandiri dan nikamti waktu baca, jadi lebih baik ditemani ^^



Ortu wajib jadi model
Orang tua harus jadi model buat anak. Pastiin tiap hari anak lihat kita terlibat dalam aktivitas baca, mau itu baca koran, majalah, novel, atau buku pelajaran. Gimanapun, anak itu kan peniru ulung ^^ Nah tapi, ini terkait juga nih sama value yang dianut masing-masing keluarga. Akan sulit terbangun budaya baca, kalau memang orang tua ga anggap baca itu sebagai hal yang penting. Mungkin ada yang berpikir “ah, buat apa sih baca buku? Ribet..mending nonton tv atau diskusi ma temen, atau nanya om google.” Kalau sudah begitu, ya beda persoalan lah ya.

Di sisi lain, mungkin ada juga yang bingung, ”sebenarnya sih mau jadiin baca aktivitas sehari-hari, tapi ortu dua-duanya kerja..pengasuh/eyang ga bisa baca/ga ngerti karena bukunya dalam bahasa Inggris...gimana dong?” hm.. kalau situasinya begini, mungkin perlu effort sedikit dari ortu. Ortu bisa buat rekaman kaset dari buku tertentu, dan pengasuh/ eyang hanya tinggal muterin aja sambil nemenin anak baca. Kasih sinyal di rekaman itu untuk cue kalau harus balik halaman. Bisa jadi, malah si pengasuh atau eyang sekalian belajar hehehe...



Latih otak untuk jadi bi-literate
Maksudnya bi-literate disini itu, latih otak untuk baca bacaan cetak (print reading) dan bacaan online (screen reading). Sebenarnya kan baca itu memang ga harus dari buku ya. Buku hanya salah satu sumber informasi. Tapi, buat saya tetap penting untuk ngembangin kebiasaan baca buku cetak. Penelitian-penelitian tentang pengaruh teknologi pada perkembangan otak dan kebiasaan baca nunjukin kalau generasi saat ini (anak-anak yang sudah terpapar dengan dunia digital), otak mereka lebih terbiasa untuk baca cepat (skimming) dan cari kata-kata kunci saja, daripada fokus pada detail uraian dan tenggelam dalam cerita layaknya saat kita baca buku cetak. Saat kita baca artikel-artikel online, umumnya artikel cenderung lebih pendek, plus ada banyak link dan iklan. Ternyata… hal ini bisa nurunin daya konsentrasi dan buat orang mudah lompat-lompat dalam berpikir. Nah, saat harus baca buku yang butuh atensi lebih lama dan plot cerita terbangun lebih lambat, banyak yang jadinya cepat lelah dan tidak sabaran.  Pas saya baca penelitian ini, itu ngena banget. Saya ngerasa sekarang ini, karena waktu yang saya pakai untuk browsing dan screen reading lebih banyak, pas saya lagi baca buku novel atau buku cetak lainnya, bawaannya mau baca cepat saja. Ga lagi tiap kata dan kalimat saya baca secara rinci.. ya itu tadi, jadinya skimming. Alhasil banyak detail-detail yang kelewat, atau saya jadinya cuma baca saja tapi ga gitu paham artinya apa dan harus baca ulang kalimatnya. Tapi....kan  ga bisa dipungkiri juga kalau sekarang jaman digital. Maka dari itu, kita yang perlu latih otak kita dan anak-anak kita, untuk jadi bi-literate. Seimbangkan waktu untuk print reading dan screen reading. 


Membaca itu penting, tapi lebih penting lagi untuk bangun minat baca anak. Yuk, mulai dari keluarga kita ^^





Tuesday, October 21, 2014

It's about time! Look who's talking!

Ara: Ini apa ini? (Tunjuk lantai)
Opa: Ini lantai
Ara: Ada apanya nih? (Tunjuk noda hitam di lantai)
Opa: Ada kotorannya
Ara: Apa itu kotoran?
Opa: Hmmm....apa ya..yang buat jadi ga bersih..yang ga kita inginkan
Ara: Apa itu yawawaninan (maksudnya niruin ucapan opanya)
Opa: Waduh..gimana neranginnya? (sambil garuk-garuk kepala)
Ara: (liatin opanya)
Ara: (mungkin mikir *ah opa lama jawabnya...ganti pertanyaan deh..lalu berdiri dan ambil sumpit) Ini apa nih?

---------------------------------

Itu salah satu percakapan Ara sama opanya. Ara si ceriwis, sampai kadang dia suka dikira udah 3 tahun, walau dia baru akan ulang tahun kedua Februari nanti. Ara memang doyan nanya-nanya, doyan nyanyi, doyan nyuruh, mulai belajar nego, dan yang terbaru dia lagi suka main boneka sambil buat cerita sendiri dengan macam-macam skenario.  

Lihat anak belajar bicara itu ga pernah berhenti buat saya takjub. Dari yang bisanya cuma nangis, terus ngomong terbata-bata karena ga bisa nemuin kata yang tepat padahal mungkin di otaknya udah tau mau bilang apa,  sampai akhirnya sekarang dia udah bisa diajak ngobrol dan ekspresiin kemauannya dengan sangat vokal.

”Mama..Ara mau kue”
 ”Ga, Ara ga mau mandi!”
 ”Ara mau main sepeda lihat ayam”
”Ara mau gendong mama sambil bawa balon minion”
”Ara mau nonton pooh...satu? satu?”
”Kita main coret-coret yuk”

Tapi sedihnya.. belakangan ini lagi sering nemuin kasus speech delay. Makanya terus saya jadi kepikiran ingin nulis seputar ini.

Sebagai orang tua, selain momen langkah pertama anak, biasanya yang ditunggu-tunggu banget juga adalah momen pas anak mulai ngomong. Iya ga? Saya sih iya. Sayangnya, belum semua ortu kasih stimulasi yang dibutuhkan untuk mendorong anak bicara. Atau sebaliknya, malah lakuin hal yang justru ngehambat. “Ah, masa sih ortu sengaja mau buat anaknya lambat ngomong?” Yah mungkin bukannya sengaja sih..tapi….kasih anak nonton tv (atau main ipad, tablet, video di hp) berjam-jam sehari itu ga akan bantu anak cepet ngomong kalau ga didukung sama interaksi langsung secara intensif. And yes, it includes baby first, baby Einstein, baby brain, Disney junior, and other so called baby programs.

Ada yang suka nanya gimana caranya ngajarin Ara supaya banyak omong. Biasanya saya cuma bilang, “Ara ngikutin mamanya ini, mamanya cerewet soalnya hehehe..”  Eh tapi bener deh, sebenarnya stimulasi untuk dorong keterampilan bicara anak itu sederhana dan ga butuh banyak biaya kok (kecuali untuk buat beli buku, bisa dibilang gratis!).

First and for mosttalk talk talk talk talk talk…. Ngomong aja terus-terusan. Kemampuan pendengaran bayi udah mulai berkembang sejak dalam kandungan, dan waktu lahir sudah seperti orang dewasa. Beda sama indera penglihatan yang butuh beberapa bulan untuk jadi setajam orang dewasa. Semakin sering kita ajak ngomong, semakin banyak yang terekam di otak anak. For me, there’s no such thing as talking too much with your baby, you just can’t go wrong with it. Di awal-awal memang kita kayak ngomong satu arah aja, dan mungkin ada orang tua yang ngerasa konyol untuk ngomong dan heboh sendiri sementara bayinya datar-datar aja. Beberapa orang mungkin butuh effort lebih, karena susah keluar kalimat-kalimat spontan secara natural. But that effort will be worth it. Percaya deh, walau kayaknya bayi ga ngerti apa-apa, mereka belajar kok sebenarnya. Tapi ya memang mereka butuh waktu belajar yang lebih lama daripada orang dewasa. Di tahun pertama hidupnya, bayi mungkin bisa butuh beberapa minggu untuk benar-benar paham kata-kata yang mereka dengar setiap hari. Nah itu aja kata yang didengar tiap hari, kalau jarang-jarang diajak ngomong bisa-bisa lebih lama lagi.

Apa aja yang diomongin? Apaan aja bisa kok. Saya selalu kasih narasi hal-hal yang Ara lakuin “Ara lagi lihat apa? Itu gambar bunga ra..bagus ya. Warnanya merah, terus ada daun-daunnya yang warna hijau. Kalau bunga asli yang ada di taman, wanginya harum loh. Kita nyanyi yuk, lagu Kebunku.” Saya juga suka narasiin apa yang saya atau orang-orang di sekeliling lakuin, misalnya ”Wah papa habis mandi nih ra. Seger banget tadi, mandinya pakai air dingin. Kalau mandi, juga pakai sabun, supaya badannya jadi bersih dan wangi. Sekarang papa mau pakai baju. Masuk dari kepala, terus tangan kanan, tangan kiri, turunin deh. Coba liat ada gambar apa nih ya di kaos papa?”  Ga cuma saya, papa, oma opa, yangti dan yangkung Ara juga kompakan untuk bernarasi.  Mba di rumah juga saya ajarin gitu. Sekarang ini, Ara juga jadi kebiasa deh narasiin sesuatu yang dia lakuin atau yang dia liat. Tanpa diminta, dia suka bilang sendiri ”Ara pakai baju merah”, ”Oma potong pepaya buat opa” , ”Yangti boboan di kasur”, dll.

Selain frekuensi ajak ngomongnya, intonasi nada bicara kita itu juga penting. Be animated! Pakai nada, melodi, bahasa tubuh, dan ekspresi wajah yang rada heboh. Bahkan awal-awalnya, ini lebih penting daripada konten omongan kita. Cuek aja lah kalau dibilang hiperbolis ^^ Kalau keabisan ide mau cerita atau mau ngomongin apa, ambil aja majalah atau buku terdekat. Bacain deh tuh, dijamin bayi masih tertarik juga. Ngeliat kitanya, bukan tulisannya hehehehehe... Mau majalah Time ”Eh ra ra.. tau ga? Lagi ada pelantikan presiden baru loh... Ara tau ga presiden itu apa? Preeee...siiii...deen..... Itu orang nomor satu di negara Indonesia, yang ngurus semua-semuanya. Nah presiden yang baru namanya Jokowi. Jokowi! Jokowi!” atau brosur restoran ”Ra ada restoran baru buka nih di deket rumah kita. Katanya jual dimsum all you can eat. Hmmmmm... yummyyyyy... dimsum itu biasanya dikukus. Kalau masak itu ada juga yang digoreng, seng oseng oseng... waaahhh, dan ternyata harganya ga terlalu mahal. Hore!!” semuanya sah-sah aja.

Kalau lagi mau ajarin kata baru, misalnya bola, bakal lebih cepet nyantol kalau dikenalin dengan benda konkritnya dan dalam konteks. Jadi daripada pakai flashcard (kartu bergambar), ya mending kasih obyek aslinya. Dan daripada sekedar nunjukin ke dia ”Ini bola ra. Boooo...laaa...”  mendingan anaknya diajak main ”Ara lagi main apa itu ya? Oh lagi main bola ya. Boooo….laaa…. Iya Ara lagi tendang-tendang bola. Bola bentuknya bundar yah, dan bisa buat pantul pantul juga. Boing! Boing! Boing!”  Saya dulu beli flashcard, tapi pada akhirnya yang saya pakai cuma yang gambar-gambar binatang aja (karena agak susah ya kasih lihat aslinya, kecuali kucing yang sering keliaran depan rumah, sama burung dan ayam piaraan tetangga :D). Sisanya (macam kartu obyek rumah tangga, warna, bentuk, buah-buahan dan sayur mayur) akhirnya ga terpakai, karena saya lebih prefer langsung kasih liat benda aslinya.

Pas mau kenalin kata baru, penting buat kasih penekanan dengan intonasi nada, kasih petunjuk visual, kalau perlu tambah dengan gerakan dan dipadu dengan nyanyian. Intinya, semakin banyak indera yang dilibatkan, semakin cepat anak belajar dan semakin kuat ingatannya. Sama seperti kalau kita dengar kata ‘mobil’ , kita bisa kan ya ngebayangin bentuknya, berasa dengar bunyi mesinnya, bayangin bau wangi mobilnya, ngerasain empuknya jok mobil, dan seolah ada sensasi goyang ketika mobil berjalan. Betul? Itu karena otak kita sudah punya memori semuanya itu. Jadi misal kita mau ajari anak kata ’piring’, biarin dia pegang piring asli untuk eksplorasi bentuk dan bahannya, serta dengar bunyi yang timbul kalau terdenting alat makan. Lalu waktu makan sambil bilang ”Ara makanannya ditaruh di piring ya. Ini namanya apa? (sambil tunjuk piring) Yup betul. Ini piiiii....ringgggg.... ” Dengan cara ini, bayi pasti lebih cepet paham konsepnya, dibanding yang cuma dikasih liat gambar piring, atau pas waktu makannya cuma nyuapin tapi ga diajak ngomong apa-apa bayinya. Ga semua kata atau benda akan kita ajarin secara sadar ke anak, tapi ternyata mereka nangkep loh. Amazing memang ya. Kadang tau-tau Ara ngomong suatu kata, dan memang bener maksudnya ngacu sama hal yang dia sebut itu, dan saya bertanya-tanya ”wah kapan dia belajar kata itu? Kapan saya ngajarin ya? Atau siapa ya yang ngajarin? Denger dari mana ya dia?”

Waktu Ara baru belajar bicara, kayak semua bayi lain, pastinya dia bicara sepatah-patah (’mi’ untuk ’minum’, ’wa’ untuk ’bola’).... terus juga pakai satu kata untuk banyak hal (’au’ bisa artinya ’jatuh’, ’lampu’, ’kasur’)..... dan lakuin generalisasi (semua yang bulat dibilang bola, walau sebenarnya itu kelereng, roda, bulan). Kalau seperti ini, yang saya lakuin adalah koreksi tanpa terlalu besar-besarin atau sampai ngebuat percaya diri Ara hilang. Jadi misal Ara bilang ’wa..wa..’ sambil nunjuk bola, saya koreksi dengan kata yang benar, ”Ara mau minta apa? Oh mau bola. Yuk kita main lempar-lempar bola.”  Misal dia bilang bola padahal nunjuknya roda, koreksi juga. ” Kalau yang ini roda. Rrrrroooo...da.. Mirip ya ra sama bola? Iya sama-sama bulat sih ya soalnya. Gpp salah kan namanya belajar ya. Nanti lama-lama pasti bisa bedain. Kalau bola itu untuk dimainin, kalau roda, itu untuk bantu pindahin sesuatu. Nih liat ya..”   

Ngomong sama bayi, bukan berarti harus ikut-ikutan bahasa bayi. No motherese. Sering ga denger orang ngomong kayak gini kalau lagi ngadepin bayi ”cayang.. kenyapa nangis? Cini yuk mimik cucu dulu yuk.. bial kenyang, teyus enyak deh bobonya” terus biasanya nadanya pitch tinggi gitu hehehe... Nah itu yang namanya motherese. Kesannya memang lucu ya, tapi sebenernya kurang bagus untuk perkembangan bahasa. Saya biasanya pakai bahasa biasa kayak waktu lagi ngomong sama orang dewasa. Bilang aja ”sayangnya mama kenapa nangis? Yuk kita minum susu kedelai yuk. Nanti kalau perutnya kenyang habis minum susu, Ara bobonya lebih nyenyak.” Biar Ara lebih ’ngeh’ sama apa yang diomongin, tinggal tempo bicaranya aja diperlambat dan artikulasi diperjelas.

Tiap hari, salah satu kegiatan wajib itu adalah baca buku cerita. Buat saya buku itu investasi yang penting banget. Sejak Ara lahir udah saya bacain buku, dan alhamdulillah Ara jadi suka baca. Setiap hari sekarang malah dia yang suka minta untuk dibacain cerita. Awalnya mungkin bayi ga bisa tenang untuk dengerin cerita sampai habis. No problem.Ga usah ikutin story line yang ada di buku juga gpp banget. Gantinya bisa ajak anak main tebak-tebakan gambar. “Si monyet makan apa ini ya? Oh iya! Makan pisang! Pisangnya mana ya? Tunjuk ayo coba tunjuk..”  Kalau anak belum tau, bisikin jawabannya dan biarin mereka yang sebutin keras-keras.

Practice makes perfect. Dorong supaya anak pelan-pelan mau gunain kata-kata untuk utarain apa yang dia mau. Misal Ara rentangin tangan minta gendong, jangan langsung gendong. Tahan dulu sambil bilang “Ara mau minta gendong mama? Bilang deh, mama…..ara minta geeeeennnn….dong! gen…donggg”. Lihat kemampuan anak, mungkin di awal-awal dia cuma baru bisa ikutin kata ‘ong’ nya aja, it’s perfectly fine. Pelan-pelan nanti dia bisa bilang ‘dong’, ‘endong’, ‘gendong’, ‘mau gendong’, sampai akhirnya kalimat lengkap ‘Ara mau gendong sama mama’. Di situasi lain juga gitu, pas dia minta makan, minta diambilin sesuatu, atau waktu dilatih untuk bilang ’tolong’ dan ’terima kasih’. Sebelum dia ucapin katanya, barangnya agak saya tahan dulu. Oh ya, sekali-sekali kasih pertanyaan ke anak yang jawabannya bukan ya atau tidak, tapi pilihan, supaya dia perlu ngomong untuk kasih tau pilihannya. "Ara mau makan ayam atau ikan?", "Kamu mau pakai baju yang warna kuning atau biru?", "Ara mau main tempel-tempel atau masak-masakan?" 

Di samping ajak ngomong, kitanya juga harus gantian untuk dengar bayi ngomong. Cooing (uu..ooo..ah…) is talking. Babbling (ma..ba..da..) is talking. Jabbering (menya menya menya, cabeca beca beca..hajipaw hajipaw) is talking. Jangan dianggap non sense semata karena itu usaha anak buat ngomong, harus direspon. “Kamu lagi ajak ngomong papa ya? Mau cerita apa sih? Senang ya tadi diajak jalan-jalan ke taman?“  Dengan kita kasih giliran untuk bicara, bayi belajar seni percakapan. Mereka pun akan ngerasa kalau omongan mereka berharga untuk didengerin, kalau apa yang mereka ucapin itu dianggep penting sama orang lain. Ini bakal buat mereka lebih terdorong untuk terus berkomunikasi. Kasih mereka 'reward' (ditepukin, tunjukin ekspresi girang, bahkan 'sekedar' direspon itu juga reward loh). Bayanginnya gini aja, kalau kita ngajak orang ngomong tapi selalu dicuekin, lama-lama pasti kita bakal jadi malas dan milih untuk diem. Betul ga? Nah, jangan sampai kita buat bayi jadi males untuk bersuara. 

Gimana dengan televisi (dan tablet, dan video, dan ipad)? Apa bener ga boleh sama sekali? Well.. kalau dari rekomendasi para ahli memang anak di bawah 2 tahun itu sebaiknya ga dikasih nonton sama sekali. Tapi buat saya ini susah sekali, karena saya dan suami pun belum bisa lepas dari gadget. Kami sih sejak Ara lahir udah jarang banget nonton televisi (film), dan biasanya untuk itu nunggu Ara bobo. Tapi kita masih lihat televisi untuk nonton berita, dan masih sering buka tablet, hp, dan laptop buat kerja.  Jadilah Ara juga penasaran pengen tahu apa sih yang sering dilihat mama papanya. Jalan tengahnya, ya dengan batasi waktu nonton. Saya juga pilih acaranya dan sebisa mungkin temani dia nonton. Program-program edukasional buat bayi itu bisa ajarin anak konsep (huruf, warna, berhitung, kosa kata baru), tapi perkembangan bahasa dan komunikasi itu baru akan terjadi melalui interaksi. Screens are not interactive. People are. Ada penelitian yang nunjukin kalau dvd edukasional bayi itu ternyata ga terlalu bantu anak belajar kata, kalau digunakan sebagai media utama. Untuk detail penelitiannya bisa dibaca disini. Dari penelitian lain juga keliatan (melalui brain scan), kalau anak yang dengar paparan kata lebih banyak dan sering itu akan gunain lebih banyak kapasitas otak mereka untuk belajar bahasa. Kesenjangan antara dua kelompok anak (yang sering diajak ngomong dan ga) makin terlihat waktu usia prasekolah, dari jumlah kosa kata dan keekspresifan bahasanya. 

“Ri..gw juga dah lakuin tuh sama kayak lo, tapi kok anak gw masih senyap aja ya?” Hmmm…misal seperti itu, sabar aja ya pak..bu.. Ada kalanya anak maunya nyerap dulu. Perkembangan bahasa itu juga ada dua macam, reseptif (pemahaman) dan ekspresif (pengungkapan). Misal anak belum ngomong tapi dia paham apa yang orang lain bilang (bisa dikasih instruksi ‘ambil boneka’, ‘tepuk tangan’, bisa tunjuk bendanya kalau ditanya ‘mana mobil?’ dll) berarti kemampuan bahasa reseptifnya sebenarnya  berkembang. Selama area perkembangan lainnya oke, dan memang stimulasinya cukup, tinggal tunggu waktu aja. Anak kan beda-beda juga. Ada yang lebih cepet ngomongnya tapi motorik ga terlalu oke, atau sebaliknya, motorik oke tapi masih malu-malu ngomongnya. Nanti kalau ‘kran’ nya udah dibuka, bisa tiba-tiba langsung deras deh aliran kata-katanya. 

Tapi... misal ada gap bulan yang cukup jauh antara perkembangan anak dengan tahapan perkembangan yang seharusnya, ada baiknya untuk cek ke klinik tumbuh kembang ya, jadi misalkan perlu penanganan khusus (ikut terapi wicara) bisa lebih cepat. Silahkan lihat tabel indikator tumbuh kembang anak 0-3 tahun disini.

Ini dulu ya yang bisa saya share. 
Now go talking to your child ^^

Monday, October 6, 2014

Goodbye without (so much) tears ^^

Selagi anak belajar buat kenal lingkungannya, ga jarang lho muncul rasa takut dan kecemasan, misalnya terhadap monster, gelap, badut, dokter, binatang, pesawat, lift, atau lainnya. Hal ini sangat wajar karena mereka masih belum terlalu bisa bedain mana yang nyata dan mana yang ga, dan belum terlalu paham cara kerja benda-benda di sekelilingnya. Jangan-jangan mereka mikir lift itu makan orang! Hehe... Nah di antara berbagai kecemasan itu, yang rasanya hampir pasti akan dialami semua anak itu adalah kecemasan akan perpisahan (separation anxiety). Akan ada masa-masa anak kok kayaknya ngekorrrr mulu kemana kita pegi, kita ga keliatan dikit aja nangis, kita ke kamar mandi sebentar aja sampai digedor-gedor. Puncaknya, pas orang tua harus kerja dan ninggalin mereka di rumah, atau pas nganter mereka ke sekolah. Bisa-bisa nangis kejer :D

Hari ini saya baru aja dari preschool tempat saya kerja sebagai psikolog konsultan. Preschool ini belum terlalu lama buka, dan hari ini adalah hari pertama dimana anak-anak ga boleh lagi ditemenin sama orang tua ataupun pengasuhnya. Bisa dibayangin ya kondisinya gimana? Tangisan dimana-manaaaaa hwaaaaaa.....Ada yang nangis kejer di awal sampai guling-guling, tapi cuma sebentar dan setelah itu bisa main dengan tenang. Ada yang nangisnya di awal waktu sekolah, tengah-tengah sudah diem, tapi eh mendekati waktu pulang sekolah malah balik nangis lagi (mungkin buat dia rasanya lama banget kok ga pulang-pulang ya). Ada juga yang baru nangis di pertengahan, mungkin gara-gara liat temennya kenapa nih pada nangis semua. Ada yang nangisnya on and off. Nangis, terus bisa dialihin perhatiannya jadi diem, tapi pas keinget nangis lagi, terus tenang lagi waktu didistrak, muter-muter gitu aja siklusnya. Bahkan sampai ada yang ketiduran saking capek nangis. Fiuhhh....


Apa ya yang kira-kira bisa dilakuin orang tua supaya anak lebih gampang atasi kecemasannya? Beberapa tipsnya nih ^^

ü  Talk, talk, talk
Sebelum hari H (pertama kali ninggalin anak kerja, atau pertama kali anak harus belajar di sekolah tanpa ditemani), jangan bosen-bosen buat sounding. Buat semacam kalender di rumah, dan kasih tanda kapan harinya pas anak mulai harus berpisah sama ortu/pengasuh. Tiap hari, ajak anak liat kalendernya dan ingetin lagi. Yakinin, kalau dia bakal seneng-seneng di sekolah/ di rumah. Tanggapi perasaannya, kasih kata-kata yang nenangin, bisa juga dengan relate ke waktu lain dia bisa atasi rasa takut akan sesuatu. Misalnya, “Mama papa tahu adek mungkin takut yah kalau ga ada mama atau mba. Tapi coba deh inget-inget pas waktu lain adek takut, kayak takut berenang pertama kali. Eh ternyata pas adek sudah mau coba, malah adek suka ya sekarang berenang.”

ü  Baca cerita yang temanya perpisahan (dan pertemuan kembali)
Banyak kok buku-buku yang punya tema ini, kayak Llama Llama Misses Mama (Ann Dewdney), The Kissing Hand (Audrey Penn), Good-Bye Book (Judith Viorst), Benjamin Comes Back (Amy Brandt), atau Mama Always Comes Home (Karma Wilson). Misal ga nemu di toko buku, bisa beli online atau baca gratisan di www.wegivebooks.org. Bisa juga cari di youtube, ada yang versi audio visualnya. Yang jadi poin penekanan di cerita-cerita ini, bahwa memang ada kalanya anak harus pisah dengan orang tua atau pengasuh, but they do come back.

ü  Visualisasi rutinitas sekolah/rumah
Kita dapat buat semacam buku cerita sendiri (atau semacam visualisasi aja sih), yang isinya gambar-gambar tentang sekuens kegiatan anak. Kalau di sekolah, sekuensnya bisa circle time, waktu belajar, waktu makan snack, dan waktu penjemputan. Kalau di rumah, sekuensnya bisa waktu mandi pagi, waktu main, waktu makan siang, waktu tidur siang, waktu mandi sore, waktu makan malam, waktu ketemu mama papa. Buat anak yang belum punya sense of time, visualisasi dan patokan waktu berdasarkan kegiatan ini akan bantu banget. Anak jadi bisa punya antisipasi dan struktur, jadi lebih gampang deh untuk atasi kecemasannya karena bisa ngebayangin  kalau waktu ketemu makin dekat.

ü  Buat ritual perpisahan
Ciptain ritual perpisahan (kalimat atau gerakan atau nyanyian spesial), buat jadi transisi yang fun. Tau film Parent Trap ga? (jadul banget sih nih referensi filmnya, yang main Lindsay Lohan jaman masih kecil). Nah disana ada tuh ritual gerakan buat tiap kali ketemu sama pengasuhnya. Jadi sebelum pisah sama anak, dan pas waktu ketemuan lagi, lakuin deh ritual ini. Ajak anak role play situasi pas pisah dan ketemu, supaya makin siap.

ü  Jangan sembunyi-sembunyi
Saat beneran udah waktunya, tenangin anak, lakuin ritual perpisahan, terus segera pergi (dont prolong goodbye time). Jangan pergi diam-diam, karena malah bisa buat anak cemas karena ga tau kapan kita pergi. Nex time, yang ada dia malah makin clingy. Kalau anak nangis, sabar-sabar dan kuatin diri biar ga tergoda buat balik lagi.

ü  Perpisahan gradual
Pas hari H, sediaian waktu transisi sekitar 30 menit. Pakai teknik jam dinding untuk gentle reminder, “Nanti kalau sudah jam 8, jarum pendeknya di sini (tunjuk ke angka 8), sudah waktunya mama pergi kerja ya.“ Bisa juga pakai teknik jam weker “Nanti kalau alarmnya bunyi, artinya sudah waktunya adek masuk kelas, mama papa dan mba pulang. Nanti balik lagi jemput adek.”  Ingetin tiap 10 menit, dan makin deket waktunya makin sering ingetinnya, 5 menit atau 3 menit sekali.

Poin-poin di atas bisa buat bantu atasi kecemasan anak di setting rumah pas ortu perlu ninggalin anak kerja, atau di setting sekolah pas anak udah harus masuk kelas dang a boleh ditemenin lagi. Buat setting sekolah, ada beberapa tips tambahan yang bisa dilakuin ortu.
ü  Libatin anak untuk siapin barang-bawang bawaan ke sekolah
Ini bisa kasih antisipasi positif buat anak, dan kasih kesan kalau anak sudah cukup besar untuk dikasih tanggung jawab siap-siap, dan berarti cukup besar juga untuk belajar sendiri di kelas. Sesekali kasih kebebasan buat anak nentuin mau pakai baju yang mana ke sekolah (untuk sekolah yang ga pakai seragam), atau nentuin mau bawa makanan apa.

ü  Foto guru dan teman-teman
Untuk anak yang bener-bener mau masuk sekolah baru, kita bisa bantu dia buat adjust  ke lingkungan baru dengan ajak lihat-lihat sekolah dari beberapa hari sebelumnya. Cara lain,  siapin foto guru dan teman-teman sekelasnya, trus sering-sering kasih liat ke anak deh supaya lebih familiar.

ü  Bawain benda kesayangan
Benda kesayangan bisa jadi penenang buat anak, kayak boneka, mainan, atau selimut favoritnya. Bisa juga anak dibawain foto keluarga yang dapat ia lihat-lihat kalau kangen. Pas udah waktunya masuk kelas, bilang ke anak “Coba kasih lihat foto-foto kita ke bu guru dan teman-teman.“ Bisa jadi anak malah excited dan perhatiannya kealih dari perpisahan.

Last but not least....kitanya sebagai orang tua mesti coba untuk tetap tenang, karena gimana kitanya pastiiii akan ngaruh ke anak. Kalau kita tenang dan ga terlalu besar-besarin saat perpisahan, anak juga biasanya jadi lebih santai. Kerasa deh bedanya anak yang ortunya santai  sama yang ortunnya cemas (jangan-jangan yang ga siap itu ortunya? Hehehe...). Percaya juga anak punya resiliensi kok buat ngatasin ’masalah hidup’nya dia ini, jadi jangan khawatir kalau anak bakal jadi trauma ya. Pertama kali pisah, ortu harus antisipasi adanya rengekan dan jejeritan. Itu normaalll banget. Jangan terus gara-gara anak nangis, jadi balik lagi, atau nurutin anak kalau dia ga mau sekolah besoknya. Kalau kayak gitu terus, malah jadi lama-lamain proses adaptasinya. Dari pertama kali pisah sampai anak bisa bener-bener tenang ngadepin perpisahan, bisa makan waktu harian, mingguan, atau bulanan, tergantung sama temperamen anak dan proses yang dilakuin ortu dan pihak sekolah untuk nyiapin anak. Satu hal yang pasti, fase ini bakal terlewati kok. Percaya sama anak dan percaya sama diri sendiri. Kalau semua cara di atas udah dicoba dan ternyata masih ga berhasil juga, ikutin kata temen saya: 10S! Alias sabar sabar sabar sabar sabar sabar sabar sabar sabar sabar! ^^


Tuesday, September 30, 2014

What kind of parents are you?

What kind of parents are you?

SITUASI 1: Anak 3 tahun lagi main-mainin bola. Dia lempar-lempar dan coba masukin ke keranjang basket mini yang memang ditaroh di ruang keluarga. Suatu saat salah sasaran dan kena gelas kesayangan anak di atas meja, pecah gelasnya.

Ortu A: “ADDEEEKKK!!!!!! Kan mama udah bilang berkali-kali kalau main ati-ati! Denger ga sih?! Ampun deh ini anak nakal bener sih, susah banget sih dinasehatin. Coba itu gelas jadi pecah kan. Kamu nyusahin mama aja, bahaya tau. Kamu mau kakinya luka? Udah sana masuk kamar (sambil dorong anak dengan kasar).  Ga jadi mama beliin es krim!”

Ortu B: ”Aduh sayang, awas-awas jangan disana nanti kena pecahan. Maafin mama lupa tadi naroh gelas di situ, ga langsung dibawa ke dapur abis adek minum tadi. Jadi kena bolanya adek deh. Cup cup sayang jangan nangis. Adek mau apa? Oh mau gelas kayak gitu lagi? Oke oke..nanti mama beliin lagi ya, kita cari yang  sama persis ya.”

Ortu C: ”Aduh adek.. mainnya lebih hati-hati dong, apalagi kalau di dalam rumah. Sekarang gelas adek pecah kan jadinya, berarti adek tidak punya lagi gelas Pooh ya.  Sini bolanya mama simpan, kita beresin dulu ini. Tapi karena banyak pecahan, nanti adek bisa luka. Jadi mama beresin dulu pecahan-pecahan gelasnya, nanti adek bantu buang ke tempat sampah aja. Deal?”

Ortu D: ”Mba..adek pecahin gelas tuh. Tolong beresin. Si adek suruh main kamar lain dulu aja waktu kamu beres-beres.”


----------------------------------------------------------------------------------------------------

SITUASI 2: A usia 8 tahun, sedang antri dokter dan di ruang tunggunya ada mainan-mainan. Ia main pesawat-pesawatan, lalu ganti ke puzzle. Ga berapa lama B datang dan ambil pesawat-pesawatan yang tadi dimainin A. A langsung rebut dan bilang ”Ga boleh. Aku belum selesai mainnya. Aku cuma mau main puzzle sebentar kok terus main pesawat lagi.” B ga terima, dan tarik-tarikan sampai akhirya sayap pesawatnya patah.

Ortu A: “A! Main yang bener kenapa sih? Heran..ga bisa ya kalau ga pake berantem kalau main? Udah sini diem, duduk! Awas kamu ya, kalau ga bisa dikasih tau besok-besok ga mama beliin mainan lagi!”

Ortu B: “A mau main pesawatnya ya? B, kasih pinjem ya ke A, kan kamu udah besar…ngalah ya sama adek? Ga mau? Hmmm, ya udah A..nanti mama beliin lagi ya pesawat-pesawatan yang lebih bagus dari ini. A main ini aja dulu nih yang lain banyak.”

Ortu C: ”A, itu kan bukan mainan punya A. Ini punyanya pak Dokter, dipinjemin buat main sama-sama. Jadi mainnya harus gantian ya. Itu sekarang sayapnya patah, harus bagaimana dong? Nah iya bener, A nanti harus minta maaf sama pak Dokter. Dan..nanti kamu pilih 1 mainan kamu buat gantiin pesawatnya, itu namanya tanggung jawab.”

Ortu D: (terokupasi baca majalah, anggap A dan B toh nantinya akan diem sendiri)
----------------------------------------------------------------------------------------------------

SITUASI 3: C (14 tahun) bawa pulang tugas dari sekolah, diminta untuk buat project  tentang berbagi kebaikan.

Ortu A: ”Ini ada waktu 5 hari buat kerjain kan. Tiap malam laporan ke mama pas mama pulang kerja. Kalau ga ada kemajuan, Sabtu ga usah pergi ke rumah temen! Inget ga project lalu kamu dapat nilai jelek, gara-gara malas belajar kan? Ikutin kata mama biar pinter, belajar yang bener.”

Ortu B: ”Wah kita punya waktu 5 hari nih buat bikin projectnya. Tugas terakhir kan nilai kamu kurang bagus ya, sekarang mama bantuin buat ya biar bisa dapat nilai yang lebih tinggi.”

Ortu C: ”Kita buat plan yuk. Kamu mau buat project yang seperti apa? Coba kamu pikir beberapa ide, coba googling, nanti kita diskusi mana yang kira-kira paling kamu suka dan bisa dilakuin. Nanti tiap malam kita bahas sama-sama ya, mama liat kemajuan kamu sampai mana.”

Ortu D: ”Kamu kan sudah besar, bisalah pikir ide sendiri. Di internet juga banyak bahan buat bantu.”


----------------------------------------------------------------------------------------------------

Kalau kita sebagai orang tua di ketiga situasi tadi, kira-kira reaksi kita seperti ortu yang mana ya?
Apakah seperti ortu A, yang gampang teriak-teriak main ancam? 
Apakah seperti ortu B, yang cenderung menuruti keinginan anak?  
Apakah seperti ortu C, yang bersikap tegas namun tanpa pakai kekerasan?  
Apakah seperti ortu D, yang ga terlalu peduli sama anak? 

Pada dasarnya, ada 4 gaya pengasuhan, berdasarkan kombinasi dua dimensi yaitu kontrol dan kehangatan.
  


Ortu A gayanya cenderung otoriter (authoritarian), kontrol tinggi tapi tidak terlalu hangat. Selalu ingin ngontrol anak, menuntut, tapi ga mau libatin anak dalam buat keputusan, dan ga buka ruang bagi anak untuk nanya, kasih masukan, atau nego aturan. Komunikasi cenderung satu arah. Because I said so! Do what I say! Titik. Dampak jangka panjangnya, anak cenderung kurang punya inisiatif, bisanya ikut-ikutan dan tergantung sama orang lain, diliputi rasa takut atau kemarahan terpendam. Ia bisa jadi anak yang rendah diri dan pencemas, atau sebaliknya jadi agresif, berontak, dan sneaky ’asal ga ketauan aja’. Hubungan dengan orang tua cenderung kurang dekat dan kaku, anak jarang diberi kesempatan ekspresiin dirinya.
 



Ortu B tipe permisif, hangat namun kurang kontrol. Tipe ini kurang memberi aturan dan batasan perilaku bagi karena sangat ingin menjaga hubungan baik dengan anak. Ortu juga punya kepercayaan bahwa kebebasan sepenuhnya akan menghasilkan anak kreatif dan percaya diri. "Whatever you say honey ..." Dampak jangka panjangnya, anak cenderung kurang mampu mengontrol dirinya, egois, dan manja. Ia biasa hidup di lingkungan yang semua keinginannya dipenuhi, padahal dunia nyata tidak seperti itu. Akibatnya sulit untuk coping saat terjadi hal-hal di luar keinginannya. Hubungan dengan ortu dekat, jarang ada pertengkaran, dan berpusat pada kebutuhan dan kemauan anak.


Ortu tipe C bergaya autoritatif, kontrol dan kehangatan sama tinggi. Tipe ini paham kalau perlu kasih aturan dan batasan buat anak, tapi ga main asal kontrol. Anak dikasih penjelasan kenapa ada yang boleh dan ga boleh. Anak juga boleh urun rembuk dan ortu suportif biar anak jadi mandiri. Prinsipnya "lets figure it out together...."  Ortu tipe ini nerapin disiplin positif (lengkapnya bisa dibaca di post disiplin positif ini). Dampak jangka panjangnya, anak punya self-esteem yang baik, bisa kontrol perilakunya, bisa lihat sudut pandang orang lain, dan kompeten secara sosial. Hubungan anak dengan ortu hangat dan terbuka, anak bisa kasih tau pendapat dan keinginannya tanpa takut, tapi juga sadar kalau ortunya ga akan main bilang oke aja. 



Ortu tipe D adalah ortu yang neglect (kontrol dan kehangatan sama rendahnya). Tipe ini lebih berpusat sama dirinya sendiri, kurang tertarik dengan apa yang terjadi pada anak, dan menganggap anak bisa berkembang tanpa bimbingan. Anak bebas mau ngapain aja, ga ada aturan. "Whatever, I dont care." Hubungannya cenderung dingin, jarang ada komunikasi antara orang tua dan anak, masing-masing urus kehidupannya sendiri-sendiri. Dampak jangka panjangnya, anak dapat merasa terabaikan dan ga diinginkan, hingga self-esteemnya pun rendah.


Ga ada orang tua yang sempurna, tapi saya yakin kita semua pasti mau yang terbaik buat anak-anak kita. Gambar berikut ini merangkum hasil penelitian tentang efek pola asuh terhadap perkembangan anak di berbagai aspek.



Jadi..ingin anak kita jadi seperti yang mana?

We, as parents, can control our parenting styles. 
We, as parents, have a very huge part in how our children will turn out. 

Seperti yang ditulis Dorothy Law...


It's all up to us, dear parents!

Discipline is never about punishment

Sekitar 2 minggu lalu ketemu teman yang jadi psikolog konsultan di satu sekolah. Baru kejadian ada kasus, anak yang lebam-lebam di beberapa bagian tubuhnya. Ternyata ibu si anak 7 tahun ini ’hobi’ memukul. Huff... kasus kekerasan anak tampaknya masih banyak ya :’(

”Disiplin itu perlu, biar anaknya ga manja dan ga seenaknya.”
”Itu emang anaknya harus digituin, biar disiplin. Kalau ga, nakalnya minta ampun, jadi kurang ajar sama orang tua.”
”Itu tanda saya sayang sama dia, karena saya mau dia belajar melakukan sesuatu dengan benar.”
”Dulu orang tua saya juga didiknya seperti itu, dan saya baik-baik saja. Malah jadi disiplin dan  tangguh.”

Itu segelintir alasan yang biasanya diutarain orang tua untuk jadi pembenaran kenapa mereka sampai membentak,cubit, jewer, tampar, atau memukul anak. Berbaik sangka, mungkin hanya pada belum tau cara lain didik anak ya...

Kuncinya ada di kata disiplin itu tuh yang sering disebut-sebut. Sepertinya banyak yang menyamakan antara disiplin dengan hukuman dan kekerasan…padahal disiplin ≠ hukuman dan pastinya disiplin ≠ kekerasan.

Kalau kata Jane Nelson (praktisi pendidikan yang fokus pada praktek disiplin positif):
 Where did parents ever get the crazy idea that in order to make children do better, first we have to make them feel worse????”

Disiplin itu sebenarnya kan cara untuk mengajarkan dan mengembangkan anak melalui pemberian instruksi, umpan balik, dan batasan. Kalau disiplinnya tepat, anak akan paham apa yang kita harapkan dari mereka dan bagaimana perilaku yang sesuai aturan/ norma, paham konsekuensi kalau mereka lakuin hal yang ga semestinya (misbehave), dan jangka panjangnya,  mereka akan bisa kontrol perilakunya sendiri (self discipline). Sebaliknya, hukuman dan kekerasan ampuh sih buat menekan/menyetop perilaku yang ga baik, tapi cenderung cuma buat jangka pendek aja dan malah buat anak jadi takut sama ortu. Karena ga sedikit orang dewasa yang terlanjur salah kaprah antara pengertian disiplin dengan hukuman, sekarang ini jadi dipakai istilah disiplin positif untuk mengacu ke praktek disiplin yang diharapkan dari orang tua.

Orang tua yang nerapin disiplin positif, mereka mengajarkan dan mendidik dalam suasana yang penuh rasa respect (yup, respect itu ga cuma ke orang dewasa), empati, dan kasih sayang, disertai batasan yang adil, tegas, dan konsekuensi yang masuk akal. Disiplin positif akan mendorong berkembangnya keterampilan hidup, disiplin diri, tanggung jawab, kerjasama, keterampilan berpikir sebab akibat, dan keterampilan pemecahan masalah, tanpa mengabaikan kesejahteraan psikologis anak. Mau tau kita tipe ortu yang seperti apa? Baca post what kind of parents are you? ini ya :)

Elemen disiplin positif: 5C
Buat saya, disiplin positif itu bisa dirangkum dalam 5 elemen ini.
1.    Connection before correction
Anak coret-coret dinding, anak  ngebaret laptop, anak pecahin barang, anak rusakin mainan, anak berantakin kamar...Banyak banget ya kelakuan anak yang bisa ortu esmosi. Saya nerapin disiplin positif, bukan berarti ga boleh atau ga bisa marah. Hanya aja, saya berusahaaaa banget untuk kontrol diri supaya ga marah-marah (paling susah kalau lagi cape banget atau lagi bad days yang buat ga mood @_@). Saya selalu coba ingetin diri sendiri kalau self esteem dan hubungan dengan anak lebih penting daripada dinding yang bersih, laptop yang mulus, barang dan mainan yang terawat, atau kamar yang rapi…inget-inget kalau yang mau kita ubah itu, yang kita ga suka itu, adalah perilaku (bukan pribadi) si anak… inget-inget kalau pas Ara salah, yang saya mau adalah supaya kejadian itu jadi ajang belajar buat dia dan bukan ajang pelampiasan emosi saya…makanya itu, saya usaha mikir-mikir cara lain supaya Ara tetap tau batasan dan ga seenaknya. Kalau lagi kesel banget, saya milih ninggalin dia sebentar, titipin ke papa atau mbanya, daripada saya lakuin hal-hal yang ga semestinya.

2.    Compliments
Kita aja sebagai orang dewasa seneng yah kalau dipuji atau hasil usaha kita diapresiasi. Anak-anak apalagi. Tapi kasih pujian juga ada triknya biar lebih efektif. Bayangin deh, kalau dikit-dikit orang muji  kita (“kamu jago banget masaknya deh” padahal cuma buat mie rebus atau “keren bener ini power pointnya” padahal cuma poin-poin biasa ditambah satu gambar aja) saya malah bakal mikirnya ‘ah ini orang lip service aja nih. Atau jangan-jangan malah ngeledek’.  So don’t overuse compliment and praise, biar anak ga jadi praise junkie.. hehehe... Kasih pujian dengan tulus dan spesifik ke perilaku (“wah rajin ya sudah mau beresin mainan “ atau “anak mama hebat mau coba makan sendiri, ga disuapin lagi”) karena bisa lebih efektif untuk mempertahankan/ mengembangkan perilaku, daripada pujian umum kayak “good girl/ good boy”. Sekali-sekali puji anak di depan orang lain supaya harga diri dan percaya dirinya meningkat. Banyakin pujian terhadap usaha daripada hasil. “Kakak tadi usaha keras ya buat bikin gambar kupu-kupunya, kakak coba pakai banyak warna…Indah..”  alih-alih “gambar kakak indah sekali, kamu memang berbakat!” Tidak apa-apa hasil karya tidak sempurna, tapi anak mau nuntasin dan ga cepat nyerah waktu nemu kendala. Ada hasil penelitian kalau anak-anak yang cenderung dipuji berdasarkan bagus tidaknya hasil akhir, akhirnya justru menghindar dari tugas-tugas yang menantang karena takut ga bisa selesaikan itu dengan sempurna. Mereka merasa bahwa orang tuanya bangga dan sayang hanya jika hasil kerja mereka baik.


Hukum perilaku: perilaku akan diulang kalau dapat penguatan. Penguatan ini bisa macam-macam bentuknya. Paling baik dan natural itu penguatan sosial (senyuman, pelukan, pujian verbal, tepuk tangan, tepukan di pundak, jempol). Kadang kita ingin dan nuntut anak bisa ini bisa itu tapi kitanya sebagai orang tua lupa kasih penguatan, atau lebih parah lagi, yang dikasih penguatan malah perilaku kurang baik. Misalnya nih, kalau anak-anak main anteng, ortu cuek. Nah giliran anak berantem, ortu langsung marah-marah. Marah-marah ini bisa lho dianggap anak sebagai bentuk perhatian. Jadi kita sebagai orang tua memang mesti hati-hati untuk kasih perhatian dan penguatan ke perilaku yang positif, bukan perilaku negatif.

Untuk beberapa perilaku, boleh kok dibantu penguatannya dengan pakai rewards token. Setiap anak nunjukin perilaku yang sedang jadi fokus (misal, minta sesuatu dengan kata-kata bukan tangisan, atau sikat gigi sebelum tidur, atau baca buku setiap hari 30 menit) kasih satu token. Token ini bisa berupa gambar bintang, stiker, koin, cap, tanda centang, dsb. Terusnya buat kesepakatan deh, misal, kalau sudah dapat sekian bintang, stiker, atau koin, boleh ditukar sama sesuatu (tambahan 30 menit nonton di akhir pekan, buku baru, boleh tidur lebih malam di hari sekolah, boleh nonton bioskop di akhir pekan, dll). Perilaku yang ingin dikuatkan harus disesuaikan sama usia anak, begitu juga dengan bentuk token dan rewards. Kalau penerapannya tepat, token masih efektif kok hingga remaja, bahkan sampai dewasa. Sistemnya sama seperti kalau kita main di timezone (dapat sekian tiket bisa ditukar hadiah) atau kalau belanja (sekian ratus ribu dapat hadiah langsung) atau ke restoran (beli 10 gratis 1).




Mungkin ada yang mikir ”ah tapi gimana kalau nanti jadi ketergantungan sama rewards?” Dari penelitian dan pengalaman tangani kasus, kebanyakan sih kecemasan orang tua ini ga terbukti kok. Biasanya token ini berguna banget untuk awal-awal pembentukan/pengubahan perilaku. Nantinya, ketika perilaku sudah jadi kebiasaan atau terinternalisasi dan anak dapat rewards internal (oh memang bener ya kata mama kalau banyak baca jadi lebih banyak tau, jadi bisa lebih nyambung ngobrol sama banyak orang), banyak yang bahkan lupa untuk minta rewards. Lagipula token bisa kok dikurangi secara bertahap. Jadi misal awalnya dapat 1 token setiap kali anak mau sikat gigi, berikutnya baru dapat 1 token kalau mau sikat gigi 2x sehari, berikutnya baru dapat 1 token kalau sikat gigi sendiri 2x sehari berturut-turut selama 2 hari, dan seterusnya. Dan jangan sampai lupa, pemberian token itu wajib kudu mesti harus dibarengi sama penguatan sosial.

Untuk saat ini, saya belum terapin sistem token ke Ara karena menurut saya belum perlu. Perilakunya masih bisa dibentuk dengan penguatan sosial dan elemen-elemen C lainnya.

3.    Consequences
Gimana ya caranya supaya anak disiplin tanpa ortu kasih hukuman? Ini dia fungsinya konsekuensi natural dan konsekuensi logis. Contoh konsekuensi natural: anak ga mau makan, lama-lama dia pasti lapar sendiri. Anak banting-banting barang, barang rusak dan akhirnya dia ga bisa mainin lagi. Anak colok-colok stop kontak, kesetrum. Anak jajan sembarangan, sakit. Anak manjat-manjat, jatuh. Masalahnya, ga selamanya kita bisa nerapin konsekuensi natural. Kalau sudah diingatkan berkali-kali tapi tetap manjat juga dan akhirnya jatuh, mungkin gpp kalau hanya kursi pendek. Nah kalau di tangga? Kan gawat. Terus ya masa kita mau biarin anak rusak mainan-mainannya? Cekak di dompet itu mah *.* So, hindari konsekuensi natural kalau memang membahayakan keselamatan, atau membuat sakit, atau secara etika kurang baik. Apa dong gantinya? Kita bisa pakai konsekuensi logis.


Konsekuensi logis itu konsekuensi yang relevan dengan kesalahan anak, masuk akal (sesuai usia dan perkembangan anak), tetap menghargai anak, dan mendidik. Saat kasih konsekuensi logis, ortu perlu jelasin alasan kenapa anak dikasih konsekuensi tertentu dan apa yang bisa dilakuin untuk ’nebus’ kesalahan. Ortu juga ga marah-marah pas kasih konsekuensi, lebih ke pernyataan. Contoh dari pengalaman sehari-hari:
þ  Ara lempar-lempar mainannya dengan sengaja à kehilangan hak mainnya. Ambil mainan yang dilempar, simpan sementara waktu. Ara boleh pilih mainan lainnya, tapi kalau masih dilempar-lempar juga, ambil lagi.
þ  Ara tumpahin air à bantu bersihkan sebisanya, ambil tisue dan lap-lap.
þ  Ara jambak rambut à minta Ara minta maaf dan elus-elus rambut.
þ  Ara coret-coret tembok à minta Ara bantu bersihkan sebisanya. Kalau masih coret-coret lagi setelah beberapa kali dikasih tau, stop kegiatan.
þ  Ara lepeh-lepeh makanan à dilepeh satu sendok, tambahin lagi satu sendok. Khusus makanan ini harus liat-liat sih, apa dilepeh karena iseng atau memang sudah kenyang atau ga suka makanannya.

Apa bedanya dengan hukuman? Hukuman biasanya ga relevan sama perilaku (contohnya ga boleh main ke taman gara-gara coret-coret dinding), ga mendidik (misalnya suruh berdiri satu kaki sambil jewer telinga karena rebutan mainan), disampaikan secara negatif (sambil teriak, menggertak, membentak, menyindir, merendahkan, mengejek), dan seringkali tanpa disertai penjelasan (because I said so!).

4.    Consistency
Konsistensi ini penting banget. Kalau ortunya ga konsisten nerapin konsekuensi, yang ada anak malah bingung. Misal anak coret-coret dinding, kadang dikasih konsekuensi tapi kadang dibiarin. Atau sama mama ga boleh, tapi sama papa boleh. Beda penerapan aturan juga buat aturan dan konsekuensi itu jadi ga efektif. Lebih kacau lagi kalau misal sudah ancam kasih hukuman, tapi ga dijalanin. Kayak ngomong“kalau makannya ga abis, ga mama ajak pergi-pergi lagi!” It’s such an empty threat. Ga mungkin juga kan ya anak ditinggal di rumah terus? Jadi jangan buat janji atau konsekuensi yang kita tau ga bakal bisa ditepati. Kalau ada situasi khusus, katakanlah anak lagi sakit jadi minta disuapin makannya atau minta makan di kamar, ya gpp asal dikasih penjelasan kalau ini perlakuan spesial.  

5.    Creativity             
Jadi orang tua mesti belajar kreatif juga ternyata ya. Di samping empat elemen C yang udah dijabarin, beberapa trik ini juga bisa dicoba.
þ      Jam dinding
”Ra.. nontonnya 5 menit lagi selesai ya. Kalau jarum panjangnya ini udah di angka tiga, artinya waktu nonton selesai. Mama matiin videonya.”  Ara sudah kenal konsep panjang pendek dan tau angka 1-5, jadi instruksi gitu cukup untuk dia. Kalau yang belum kenal konsep panjang pendek, jarum panjang dan jarum pendeknya bisa dikasih warna beda, dan di angka yang mau jadi patokan waktu bisa dikasih tanda (misal ditempel post-it notes). Kalau pakai teknik ini, anak dikasih waktu antisipasi, ga ujug-ujug kita stop kegiatannya. Cara lain yang serupa, bisa pakai jam weker. ”Misal alarmnya udah bunyi, artinya mainnya udahan ya, dan Ara mesti mandi.”  Kalau mau buat Ara beresin mainannya, bisa juga pakai games. ”Ayo ra, mama hitung sampai sepuluh ya. Bisa ga ya semua masuk ke keranjang pas sampai hitungan sepuluh?”


þ    Caught being good
Bosen denger anak berantem sama kakak atau adiknya dan ngadu ini itu? Balikin supaya mereka laporan yang baik-baik aja. Jadi daripada ngadu ”mamaaa....kakak nih injek-injek sofa pakai sepatu” atau ”papaaa...adek robekin buku nih” , kita mau biasain mereka fokus ke perilaku baik. Laporannya jadi macam”mama....kakak tadi bantuin aku ambil buku di rak” atau ”papa, tadi adek kasih pinjem mainannya ke aku”. Setiap laporan positif, kasih mereka koin (100-500 rupiahan aja) untuk ditabung. Nanti kalau penuh, dipakai sama-sama deh buat jajan atau beli mainan. Trik ini bisa buat anak terdorong untuk lakuin yang baik-baik dan ubah suasana di rumah jadi lebih positif.  

þ      Ubah lingkungan supaya anak bisa minimalisasi perilaku yang kurang oke
Misalkan anak lagi mau tuang sendiri susu dari karton susu ke mangkok serealnya, tapi malah jadi tumpah kemana-mana, bisa diakalin dengan kita pindahin dulu ke botol/ gelas yang lebih kecil. Kemandirian ini bisa didorong, tapi kemungkinan tumpah mengecil. Contoh lain, anak suka banget mandiin boneka-bonekanya, ngabisin sabun deh. Bisa diakalin, tiap hari dikasih botol kecil aja. Kalau sudah habis ya sudah, tunggu besok lagi.

þ     Kode Warna
Emak-emak biasanya sering ngomel karena rasanya rumah kok ga pernah rapih. Baru aja diberesin eh udah berantakan lagi, mainan berserakan dimana-mana. Coba terapin aturan, kalau satu mainan belum diberesin, ga boleh ambil mainan baru. Terus trik ini bisa dicoba untuk minta bantuan anak beresin barang-barangnya. Kasih kode warna, di mainan dan di tempat penyimpanannya.


þ       Whataver that works!
Apapun deh, selama itu ga tabrakan sama aturan yang ada. Kayak akhir-akhir ini nih, Ara kan lagi susah disuruh mandi, beberapa kali bahkan mandi sambil nangis. Trik yang berhasil: 'mandiin binatang-binatang dan 'berendam di ember sama bola-bola'. Situasi khusus, trik khusus :D 


Ini dulu ya yang bisa saya share. Semogaaaa aja makin banyak orang tua yang sadar pentingnya dan mau nerapin disiplin positif ^^