Wednesday, April 29, 2015

Si Kecil yang Mandiri


“Oriiiii….itu anaknya dipegangin dong kalau naik tangga..”

“Ehhhh…. Gpp tuh ri si Ara makan sate langsung dari tusuknya? Ga dipotong-potongin dulu?”

“Ara jangan naik-naik kursi! Sini-sini turun. Mau ambil apa? Sini diambilin. Duh ini mama papanya kok ya cuma liatin aja? Orang tua jaman sekarang apa gitu ya..”

“Itu kok Ara dikasih sih pegang gunting?”

Itu beberapa diantara banyak komen yang cukup sering dilontarkan ke saya dan suami, kebanyakan dari kakek neneknya Ara. Katanya, kami tuh kesantaian sebagai orang tua. Lihat Ara panjat-panjat kursi, kalau eyang atau oma opanya yang lihat, pasti sudah langsung kegopoh-gopoh nyamperin dan gendong atau nurunin dia. Sedangkan saya dan suami biasanya cuma ingetin “ra, itu kalau jatuh sakit lho ya..awas, hati-hati naiknya. Kalau mau ambil sesuatu belum sampai, Ara minta tolong aja.” Kalau beneran jatuh (beberapa hari lalu baru aja kejadian, sampai bibirnya agak jontor), kami biasanya ajak dia ngobrol “kenapa tadi Ra, kok bisa jatuh? Jadi lain kali harus gimana dong?” Kami berusaha banget hindari menyalahkan orang atau lebih parah lagi menyalahkan benda mati “Sakit ya nak? Lantainya nakal ya?” Ga make sense rasanya. Buat kami, selama ga life threatening, itu kesempatan buat Ara untuk belajar sebab akibat dari tindakannya. Panjat-panjat, resikonya ya jatuh dan merasa sakit. Anak itu pintar kok, dia juga pasti ga akan sengaja lakukan hal yang buat dirinya sakit. Bukan berarti semua semua dibiarkan, ya kalau lihat Ara lari ke jalan raya pasti kami stop juga...

Kami percaya anak punya kemampuan belajar yang besar. Pertanyaannya lebih ke: apa kita sebagai orang tua sudah kasih anak kesempatan untuk belajar? Kalau ada yang nanya apa ga takut Ara ketusuk pas makan sate, kami jawab “Dikasih tau aja cara makannya yang bener gimana supaya ga ketusuk. Kasih tau aja ‘dari samping ya Ra. Kalau dari depan, ini ujungnya tajam, sakit nanti kalau kena mulut…’” Awalnya mungkin perlu beberapa kali kami contohkan dan bantu ubah posisi tangan Ara, sambil awasi proses makannya. Pas yakin dia sudah bisa, dia makan sendiri sambil kami tinggal-tinggal juga ga khawatir.

Hari Jumat lalu, saya baru ketemu dengan salah satu orang tua murid. Saya dan kepala sekolah merasa bahwa perlu ada perubahan pola pengasuhan dari orang tua, nenek, dan mba dari murid ini. Kenapa? Karena dari aspek personal kemandiriannya, anak ini (usia 2 tahun 2 bulan) tertinggal cukup jauh dari anak sebayanya. Contohnya dalam hal makan, ia belum bisa makan dan minum sendiri. Karena selalu disuapi, ia ga belajar gimana pegang sendok dan gimana kontrol tangan supaya bisa masukkan makanan ke mulut atau pindahkan makanan dari satu wadah ke wadah lainnya tanpa tumpah. Makan pakai tangan pun hampir ga pernah, karena biasanya dilarang kalau mau pegang-pegang makanan. Biskuit bisa sih, walau kecenderungannya minta orang lain yang pegangi dan ia tinggal mangap. Makanannya pun seringkali masih diblender, sehingga tidak belajar mengunyah dan menelan dengan benar. Begitu juga dengan minum. Karena selalu disendokin, belum bisa minum sendiri dari gelas. Minum pakai sedotan bisa, tapi botolnya biasanya dipegangi orang lain.

Untuk berkembang, anak harus dikasih kesempatan untuk belajar dan melakukan kesalahan. Dalam prosesnya ini, pasti bakal buat berantakan, buat kotor, buat kacau, buat elus dada, buat geleng-geleng kepala, dan buat ga sabar. Tapi percaya aja, itu bukan asal berantakan dan kotor, itu berantakan dan kotor yang perlu ^.^ Rumah selalu rapih tapi anak ga belajar-belajar mandiri, sayang juga kan. Buat beberapa orang yang perfeksionis dan organized seperti saya, sebenernya susaaahh banget buat let it go. Strong urge to jump in, but I really try hard to hold myself and just trust the process. Let them learn. Bahkan sekarang saya kayaknya lebih santai dari suami (tapi inshaallah bukannya neglect kok). Suami masih melarang Ara untuk colok listrik, kalau saya sih merasa Ara sudah bisa dikasih tau gimana cara nyolok yang bener, mana yang boleh dipegang dan mana yang ga boleh. Yang saya tekankan “kalau lagi sendiri, ga boleh mainan kabel listrik ya ra..” Alhamdulillah sampai saat ini ga ada kejadian aneh-aneh. Sudah pernah juga dibacakan buku soal bahaya listrik, biasanya Ara memang lebih nempel belajar sesuatu kalau lewat cerita dan lagu. 

Setelah ulang tahun pertamanya, anak sudah mulai lebih aware sama lingkungan dan tertarik dengan hal-hal yang dikerjakan orang dewasa, seperti menyapu, mengepel, mencuci. Anak juga mulai tumbuh rasa ke’aku’annya, ingin coba-coba lakukan ini itu sendiri walau belum bisa. Begitu dia nunjukin rasa ingin tahunya dan ikut-ikutan, saat yang tepat nih untuk mulai fokus ajari keterampilan bina diri (self help skills): keterampilan yang harus anak lakukan supaya bisa penuhi kebutuhannya dan menjalani kegiatan sehari-hari dengan baik. Pada anak-anak, yang masuk ke keterampilan bina diri itu seperti
-          Gunakan alat makan, makan secara mandiri, siapkan makanan
-          Mandi, sikat gigi, dan sisir rambut sendiri
-          Berpakaian: pasang/ lepas baju, celanan, pakaian dalam, sabuk, kaos kaki, sepatu, plus pilih pakaian (mana yang cocok buat di rumah, pergi santai atau pesta; pas hari cerah atau hujan)
-          Letakkan pakaian kotor di keranjang pakaian dan baju bersih di lemari/gantungan pakaian
-          Cuci tangan sebelum makan, setelah buang air, dan setelah main
-          Buang air di toilet dan bersih-bersih setelah buang air
-          Tutup mulut kalau batuk atau bersin
-          Beres-beres setelah numpahin sesuatu
-          Kembalikan mainan ke tempatnya
-          Rapihkan tempat tidur

Anak yang dilatih untuk mandiri, akan tumbuh jadi pribadi yang lebih percaya diri, dapat diandalkan, dan bertanggung jawab saat dewasanya. Buat orang tua juga lebih enak, bisa lebih banyak waktu ‘me time’ atau lakukan hal lain yang lebih produktif, ga terlalu dipusingin sama hal-hal yang tampaknya remeh tapi kalau diitung-itung bisa makan banyak waktu. Contohnya anak mau makan sereal campur susu. Untuk anak yang belum dibiasakan mandiri dan belum punya keterampilan bina diri, dia akan butuh bantuan untuk: ambil mangkok dan sendok, ambil botol susu di kulkas, buka botol susu, tuang susu ke mangkok, tutup botol susu, ambil sereal di tempat penyimpanan makanan, buka sereal, tuang sereal, tutup sereal, makan sereal dan susu sampai habis, bersihkan kalau ada yang tumpah di meja, letakkan mangkok kosong di rak cuci piring, dan cuci tangan.  Sementara anak yang mandiri, orang tua mungkin cukup bilang “kamu mau makan sereal? Oke serealnya ada di lemari dan susu di kulkas ya.” Sisanya bisa anak lakukan sendiri, ortu pun bisa kerjakan hal lain.

Tapi sebelum anak bisa mandiri, PR buat orang tua buat ajarkan itu. Rumah tempat yang paling cocok buat kembangkan keterampilan bina diri. Kenapa? Karena rutinitas sehari-hari yang ada merupakan seting natural yang bisa buat anak nyaman  untuk belajar. Ini beberapa hal yang dapat dilakukan orang tua agar anak dapat lebih mandiri.

Bangun kebiasaan
Semakin anak besar dan motoriknya berkembang, keterampilan bina dirinya juga akan meningkat. Mandirinya anak 1 tahun pasti beda sama mandirinya anak 2, 3, 4, 5 tahun dan seterusnya. Adjust your expectation. Ini ada list yang bantu buat kita untuk tahu gimana cara libatkan anak dalam tugas-tugas rumah tangga (chores) sedari kecil, sesuai usianya.


List di atas bisa jadi patokan apa yang bisa dituntut dari anak umur tertentu. Tapi ajarkan anak mandiri sudah bisa dimulai sebelum dua tahun kok. Awalnya mulai dari aspek personal kemandiriannya, misalnya belajar pakai sendok/ garpu, bantu lepas atau pakai baju dan celana, atau latih anak kasih tahu kalau celananya basah. Teman saya yang terapkan metode baby led weaning ke anaknya sejak mulai mpasi, anaknya sudah pintaarr sekali makan sendiri walau belum umur setahun, karena selalu dikasih finger food.  Teman saya itu jarang nyuapin anaknya. Hebat ya... Di sekolah tempat saya kerja, anak-anak dibawah dua tahun pun sudah bisa ambil alas makan dan piring makannya sendiri, serta kembalikan ke tempatnya waktu sudah selesai. Ya karena memang dibiasakannya begitu.

Belajar keterampilan bina diri lebih efektif kalau dilakukan di waktu dan tempat keterampilan itu dibutuhin. Misalnya, latihan beres-beres tempat tidur pas pagi hari di kamar, latihan pakai kaos kaki dan sepatu pas mau pergi keluar rumah, latihan cuci tangan pas setelah main dan mau makan. Jadi ga perlu ajarkan di waktu khusus,  bagian dari rutinitas harian saja. Tapiii….orang tua tetap mesti spare waktu untuk ajarkan. Mungkin ada yang berpikir “ah ntar juga bisa kok dengan sendirinya..” Hmm.. nyatanya tidak selalu begitu…

Pernah ada yang bilang “duh anak saya apa-apa masih butuh bantuan.. Capek deh saya..”  Tapi terus pas saya ditanya-tanya lebih dalam, memang ternyata no opportunity untuk anak mandiri. Kalau mainan berantakan, ibunya ya langsung bereskan. Kalau mau naik ke atas, anak selalu digendong karena takut jatuh. Kapan anak belajarnya?

Step by step
Namanya belajar sesuatu, pasti ga langsung bisa dan butuh bantuan dulu. Bantunya bisa dengan breakdown ke dalam langkah-langkah yang lebih kecil, terus minta anak lakukan sendiri dari langkah yang paling belakang. Misalnya pas ajarkan Ara pakai sepatu sendiri yang ada perekatnya. Awalnya kami cuma minta Ara untuk ambil dan taroh sepatu di rak. Itu sudah ngerti, baru mulai latih dia untuk bantu pakai sepatu. Taruh sepatu di depan Ara (sudah dalam posisi benar kanan dan kirinya), dan kami masih bantu juga untuk selobokkan kakinya. Tugas Ara cuma pasang perekatnya aja. Itu sudah jago, baru minta dia selobokkan sendiri. Sampai sekarang sudah bisa pakai sepatu sendiri dan bedakan kiri kanan tanpa dibantu. Selesai? Nope. Kami masih butuh untuk biasakan Ara pakai dan lepas sepatu sendiri SETIAP KALI dia butuh pakai dan lepas sepatu. Karena kami tahu sebenarnya dia sudah bisa, cuma ya ada aja masanya dia ga mau aja gitu, mintanya dipakaikan. Belum bisa konsisten juga sih kami (ini paling susah memang ya buat ortu), kadang diturutin kalau dia minta dipakaikan, kadang kekeuh dia harus pakai sendiri. Pernah waktu itu pas lagi mau belanja, sampai nunggu di parkiran mobil setengah jam karena Ara ga mau pakai sepatu, tapi saya ga bolehin dia turun sebelum pakai sepatu. 


Beri petunjuk
Supaya anak lebih paham harus apa, ortu perlu kasih petunjuk. Petunjuk ini bisa macam-macam bentuknya. Misal mau ajari anak cuci tangan. Ada yang petunjuk fisik (anak digiring ke wastafel tiap kali harus cuci tangan), petunjuk model (anak dikasih contoh apa yang harus dilakukan), petunjuk verbal (diberi tahu apa yang harus dilakukan), petunjuk bahasa tubuh (missal menunjuk ke arah kran untuk mengingatkan anak agar menutupnya), dan petunjuk gambar (gambar langkah-langkah cuci tangan). Seiring proses belajar, petunjuk yang diberikan akan lebih minimum. Awalnya mungkin ortu perlu gandeng anak ke tempat cuci tangan tiap kali selesai makan. Lama-lama cukup diingatkan saja “Habis makan harus apa ya dek?”, atau cukup tunjuk wastafel, sampai akhirnya ga perlu beri petunjuk sama sekali.

Jangan buru-buru
Jangan memburu-buru anak, biasanya mereka cenderung nolak. Sama lah kita juga kan ya, pasti lebih malas kalau sudah disuruh-suruh, eh diburu-buru. Jadi triknya, kasih anak waktu coba-coba. Pas anak masih proses belajar, contoh tadi belajar pakai sepatu, pasti butuh waktu lebih lama. Kalau kita yang pakaikan mungkin satu menit selesai dan bisa langsung berangkat. Cuma kalau mau anak belajar, harus kasih spare waktu lebih 3-5 menit. Berangkatnya jangan mepet-mepet. Kalau kemepetan, kitanya sendiri juga biasanya jadi geregetan dan maunya langsung bantu. Tapi ini memang susaaahh banget. Saya pun masih terus belajar supaya lebih sabar dan ga selalu buru-buru bantu. Kadang berhasil, kadang ga huhuhu….

Ciptakan lingkungan yang mendukung
Anak akan bisa lebih mandiri kalau ia bisa menjangkau sendiri barang-barang yang dia butuhkan. Orang tua bisa bantu dengan ciptakan lingkungan yang mendukung. Letakkan peralatan makan, mainan, buku, sepatu, atau baju di lemari/ rak yang bisa dia buka sendiri. Letakkan air minum di botol-botol kecil yang akan lebih mudah dia tuang sendiri ke gelas, daripada harus dari jug yang besar (yang hampir pasti tumpah karena kontrol belum terlalu oke dan mungkin berat juga sih). Di rumah, saya belikan Ara undakan agar lebih mudah buat dia untuk cuci tangan. Idealnya sih ada wastafel versi anak ya, cuma ya belum ada dana buat renovasi rumah, dibantunya dengan ini dulu. Pas awal-awal belajar, pastinya mesti sambil diawasi. Benar ga dia tarik undankannya? Sudah stabil belum? Posisinya pas ga di tengah? Sampai ga tangan dia untuk buka kran dan ambil sabun cuci tangan? Setelah berkali-kali latihan, baru bisa ditinggal.


Fokus ke proses
Kalau fokus ke hasil, bisa jadi tambah stress saya karena pastinya banyak yg belum bisa dilakuin secara benar-benar benar. Bawa air di gelas atau piring makanan berkuah masih suka tumpah, mau bantu lap kadang malah buat tambah kotor, mau bantu masukin baju yang udah disetrika rapih ke lemari malah buat berantakan dan harus saya lipat ulang, ya begitulah… mantra yang saya ucapin berulang-ulang “just trust the process..just trust the process..just trust the process” . Karena fokusnya ke proses, kemajuan sekecil apapun bisa dirayain, ga perlu tunggu hasil sempurna.


Kasih pilihan

Anak akan jadi lebih mandiri dan tanggung jawab kalau dilatih untuk membuat keputusan buat dirinya sendiri, dan jalani konsekuensinya. Inisiatifnya akan jadi lebih berkembang, jadi ga perlu selalu nunggu bantuan orang lain untuk lakukan sesuatu untuknya. Biasanya anak juga lebih mau lakukan sesuatu kalau dia merasa punya kontrol/ pilihan. Kasih pilihan yang memang kita setujui dua-duanya "mau pakai baju yang gambar singa atau gajah? Bisa pakai sendiri?" "mau makan macaroni atau nasi? Ga disuapi ya tapi..." Pada prakteknya, ini ga akan mudah. Saat ini lagi struggling juga karena Ara sudah mulai jago protes dan ngeles "ga mau itu pilihannya.."  

Kesimpulannya..ajari anak untuk jadi mandiri ga mudah...but it's so worth the effort.
Just trust the process, and someday (hopefully soon) they will become independent little person.