Tuesday, October 21, 2014

It's about time! Look who's talking!

Ara: Ini apa ini? (Tunjuk lantai)
Opa: Ini lantai
Ara: Ada apanya nih? (Tunjuk noda hitam di lantai)
Opa: Ada kotorannya
Ara: Apa itu kotoran?
Opa: Hmmm....apa ya..yang buat jadi ga bersih..yang ga kita inginkan
Ara: Apa itu yawawaninan (maksudnya niruin ucapan opanya)
Opa: Waduh..gimana neranginnya? (sambil garuk-garuk kepala)
Ara: (liatin opanya)
Ara: (mungkin mikir *ah opa lama jawabnya...ganti pertanyaan deh..lalu berdiri dan ambil sumpit) Ini apa nih?

---------------------------------

Itu salah satu percakapan Ara sama opanya. Ara si ceriwis, sampai kadang dia suka dikira udah 3 tahun, walau dia baru akan ulang tahun kedua Februari nanti. Ara memang doyan nanya-nanya, doyan nyanyi, doyan nyuruh, mulai belajar nego, dan yang terbaru dia lagi suka main boneka sambil buat cerita sendiri dengan macam-macam skenario.  

Lihat anak belajar bicara itu ga pernah berhenti buat saya takjub. Dari yang bisanya cuma nangis, terus ngomong terbata-bata karena ga bisa nemuin kata yang tepat padahal mungkin di otaknya udah tau mau bilang apa,  sampai akhirnya sekarang dia udah bisa diajak ngobrol dan ekspresiin kemauannya dengan sangat vokal.

”Mama..Ara mau kue”
 ”Ga, Ara ga mau mandi!”
 ”Ara mau main sepeda lihat ayam”
”Ara mau gendong mama sambil bawa balon minion”
”Ara mau nonton pooh...satu? satu?”
”Kita main coret-coret yuk”

Tapi sedihnya.. belakangan ini lagi sering nemuin kasus speech delay. Makanya terus saya jadi kepikiran ingin nulis seputar ini.

Sebagai orang tua, selain momen langkah pertama anak, biasanya yang ditunggu-tunggu banget juga adalah momen pas anak mulai ngomong. Iya ga? Saya sih iya. Sayangnya, belum semua ortu kasih stimulasi yang dibutuhkan untuk mendorong anak bicara. Atau sebaliknya, malah lakuin hal yang justru ngehambat. “Ah, masa sih ortu sengaja mau buat anaknya lambat ngomong?” Yah mungkin bukannya sengaja sih..tapi….kasih anak nonton tv (atau main ipad, tablet, video di hp) berjam-jam sehari itu ga akan bantu anak cepet ngomong kalau ga didukung sama interaksi langsung secara intensif. And yes, it includes baby first, baby Einstein, baby brain, Disney junior, and other so called baby programs.

Ada yang suka nanya gimana caranya ngajarin Ara supaya banyak omong. Biasanya saya cuma bilang, “Ara ngikutin mamanya ini, mamanya cerewet soalnya hehehe..”  Eh tapi bener deh, sebenarnya stimulasi untuk dorong keterampilan bicara anak itu sederhana dan ga butuh banyak biaya kok (kecuali untuk buat beli buku, bisa dibilang gratis!).

First and for mosttalk talk talk talk talk talk…. Ngomong aja terus-terusan. Kemampuan pendengaran bayi udah mulai berkembang sejak dalam kandungan, dan waktu lahir sudah seperti orang dewasa. Beda sama indera penglihatan yang butuh beberapa bulan untuk jadi setajam orang dewasa. Semakin sering kita ajak ngomong, semakin banyak yang terekam di otak anak. For me, there’s no such thing as talking too much with your baby, you just can’t go wrong with it. Di awal-awal memang kita kayak ngomong satu arah aja, dan mungkin ada orang tua yang ngerasa konyol untuk ngomong dan heboh sendiri sementara bayinya datar-datar aja. Beberapa orang mungkin butuh effort lebih, karena susah keluar kalimat-kalimat spontan secara natural. But that effort will be worth it. Percaya deh, walau kayaknya bayi ga ngerti apa-apa, mereka belajar kok sebenarnya. Tapi ya memang mereka butuh waktu belajar yang lebih lama daripada orang dewasa. Di tahun pertama hidupnya, bayi mungkin bisa butuh beberapa minggu untuk benar-benar paham kata-kata yang mereka dengar setiap hari. Nah itu aja kata yang didengar tiap hari, kalau jarang-jarang diajak ngomong bisa-bisa lebih lama lagi.

Apa aja yang diomongin? Apaan aja bisa kok. Saya selalu kasih narasi hal-hal yang Ara lakuin “Ara lagi lihat apa? Itu gambar bunga ra..bagus ya. Warnanya merah, terus ada daun-daunnya yang warna hijau. Kalau bunga asli yang ada di taman, wanginya harum loh. Kita nyanyi yuk, lagu Kebunku.” Saya juga suka narasiin apa yang saya atau orang-orang di sekeliling lakuin, misalnya ”Wah papa habis mandi nih ra. Seger banget tadi, mandinya pakai air dingin. Kalau mandi, juga pakai sabun, supaya badannya jadi bersih dan wangi. Sekarang papa mau pakai baju. Masuk dari kepala, terus tangan kanan, tangan kiri, turunin deh. Coba liat ada gambar apa nih ya di kaos papa?”  Ga cuma saya, papa, oma opa, yangti dan yangkung Ara juga kompakan untuk bernarasi.  Mba di rumah juga saya ajarin gitu. Sekarang ini, Ara juga jadi kebiasa deh narasiin sesuatu yang dia lakuin atau yang dia liat. Tanpa diminta, dia suka bilang sendiri ”Ara pakai baju merah”, ”Oma potong pepaya buat opa” , ”Yangti boboan di kasur”, dll.

Selain frekuensi ajak ngomongnya, intonasi nada bicara kita itu juga penting. Be animated! Pakai nada, melodi, bahasa tubuh, dan ekspresi wajah yang rada heboh. Bahkan awal-awalnya, ini lebih penting daripada konten omongan kita. Cuek aja lah kalau dibilang hiperbolis ^^ Kalau keabisan ide mau cerita atau mau ngomongin apa, ambil aja majalah atau buku terdekat. Bacain deh tuh, dijamin bayi masih tertarik juga. Ngeliat kitanya, bukan tulisannya hehehehehe... Mau majalah Time ”Eh ra ra.. tau ga? Lagi ada pelantikan presiden baru loh... Ara tau ga presiden itu apa? Preeee...siiii...deen..... Itu orang nomor satu di negara Indonesia, yang ngurus semua-semuanya. Nah presiden yang baru namanya Jokowi. Jokowi! Jokowi!” atau brosur restoran ”Ra ada restoran baru buka nih di deket rumah kita. Katanya jual dimsum all you can eat. Hmmmmm... yummyyyyy... dimsum itu biasanya dikukus. Kalau masak itu ada juga yang digoreng, seng oseng oseng... waaahhh, dan ternyata harganya ga terlalu mahal. Hore!!” semuanya sah-sah aja.

Kalau lagi mau ajarin kata baru, misalnya bola, bakal lebih cepet nyantol kalau dikenalin dengan benda konkritnya dan dalam konteks. Jadi daripada pakai flashcard (kartu bergambar), ya mending kasih obyek aslinya. Dan daripada sekedar nunjukin ke dia ”Ini bola ra. Boooo...laaa...”  mendingan anaknya diajak main ”Ara lagi main apa itu ya? Oh lagi main bola ya. Boooo….laaa…. Iya Ara lagi tendang-tendang bola. Bola bentuknya bundar yah, dan bisa buat pantul pantul juga. Boing! Boing! Boing!”  Saya dulu beli flashcard, tapi pada akhirnya yang saya pakai cuma yang gambar-gambar binatang aja (karena agak susah ya kasih lihat aslinya, kecuali kucing yang sering keliaran depan rumah, sama burung dan ayam piaraan tetangga :D). Sisanya (macam kartu obyek rumah tangga, warna, bentuk, buah-buahan dan sayur mayur) akhirnya ga terpakai, karena saya lebih prefer langsung kasih liat benda aslinya.

Pas mau kenalin kata baru, penting buat kasih penekanan dengan intonasi nada, kasih petunjuk visual, kalau perlu tambah dengan gerakan dan dipadu dengan nyanyian. Intinya, semakin banyak indera yang dilibatkan, semakin cepat anak belajar dan semakin kuat ingatannya. Sama seperti kalau kita dengar kata ‘mobil’ , kita bisa kan ya ngebayangin bentuknya, berasa dengar bunyi mesinnya, bayangin bau wangi mobilnya, ngerasain empuknya jok mobil, dan seolah ada sensasi goyang ketika mobil berjalan. Betul? Itu karena otak kita sudah punya memori semuanya itu. Jadi misal kita mau ajari anak kata ’piring’, biarin dia pegang piring asli untuk eksplorasi bentuk dan bahannya, serta dengar bunyi yang timbul kalau terdenting alat makan. Lalu waktu makan sambil bilang ”Ara makanannya ditaruh di piring ya. Ini namanya apa? (sambil tunjuk piring) Yup betul. Ini piiiii....ringgggg.... ” Dengan cara ini, bayi pasti lebih cepet paham konsepnya, dibanding yang cuma dikasih liat gambar piring, atau pas waktu makannya cuma nyuapin tapi ga diajak ngomong apa-apa bayinya. Ga semua kata atau benda akan kita ajarin secara sadar ke anak, tapi ternyata mereka nangkep loh. Amazing memang ya. Kadang tau-tau Ara ngomong suatu kata, dan memang bener maksudnya ngacu sama hal yang dia sebut itu, dan saya bertanya-tanya ”wah kapan dia belajar kata itu? Kapan saya ngajarin ya? Atau siapa ya yang ngajarin? Denger dari mana ya dia?”

Waktu Ara baru belajar bicara, kayak semua bayi lain, pastinya dia bicara sepatah-patah (’mi’ untuk ’minum’, ’wa’ untuk ’bola’).... terus juga pakai satu kata untuk banyak hal (’au’ bisa artinya ’jatuh’, ’lampu’, ’kasur’)..... dan lakuin generalisasi (semua yang bulat dibilang bola, walau sebenarnya itu kelereng, roda, bulan). Kalau seperti ini, yang saya lakuin adalah koreksi tanpa terlalu besar-besarin atau sampai ngebuat percaya diri Ara hilang. Jadi misal Ara bilang ’wa..wa..’ sambil nunjuk bola, saya koreksi dengan kata yang benar, ”Ara mau minta apa? Oh mau bola. Yuk kita main lempar-lempar bola.”  Misal dia bilang bola padahal nunjuknya roda, koreksi juga. ” Kalau yang ini roda. Rrrrroooo...da.. Mirip ya ra sama bola? Iya sama-sama bulat sih ya soalnya. Gpp salah kan namanya belajar ya. Nanti lama-lama pasti bisa bedain. Kalau bola itu untuk dimainin, kalau roda, itu untuk bantu pindahin sesuatu. Nih liat ya..”   

Ngomong sama bayi, bukan berarti harus ikut-ikutan bahasa bayi. No motherese. Sering ga denger orang ngomong kayak gini kalau lagi ngadepin bayi ”cayang.. kenyapa nangis? Cini yuk mimik cucu dulu yuk.. bial kenyang, teyus enyak deh bobonya” terus biasanya nadanya pitch tinggi gitu hehehe... Nah itu yang namanya motherese. Kesannya memang lucu ya, tapi sebenernya kurang bagus untuk perkembangan bahasa. Saya biasanya pakai bahasa biasa kayak waktu lagi ngomong sama orang dewasa. Bilang aja ”sayangnya mama kenapa nangis? Yuk kita minum susu kedelai yuk. Nanti kalau perutnya kenyang habis minum susu, Ara bobonya lebih nyenyak.” Biar Ara lebih ’ngeh’ sama apa yang diomongin, tinggal tempo bicaranya aja diperlambat dan artikulasi diperjelas.

Tiap hari, salah satu kegiatan wajib itu adalah baca buku cerita. Buat saya buku itu investasi yang penting banget. Sejak Ara lahir udah saya bacain buku, dan alhamdulillah Ara jadi suka baca. Setiap hari sekarang malah dia yang suka minta untuk dibacain cerita. Awalnya mungkin bayi ga bisa tenang untuk dengerin cerita sampai habis. No problem.Ga usah ikutin story line yang ada di buku juga gpp banget. Gantinya bisa ajak anak main tebak-tebakan gambar. “Si monyet makan apa ini ya? Oh iya! Makan pisang! Pisangnya mana ya? Tunjuk ayo coba tunjuk..”  Kalau anak belum tau, bisikin jawabannya dan biarin mereka yang sebutin keras-keras.

Practice makes perfect. Dorong supaya anak pelan-pelan mau gunain kata-kata untuk utarain apa yang dia mau. Misal Ara rentangin tangan minta gendong, jangan langsung gendong. Tahan dulu sambil bilang “Ara mau minta gendong mama? Bilang deh, mama…..ara minta geeeeennnn….dong! gen…donggg”. Lihat kemampuan anak, mungkin di awal-awal dia cuma baru bisa ikutin kata ‘ong’ nya aja, it’s perfectly fine. Pelan-pelan nanti dia bisa bilang ‘dong’, ‘endong’, ‘gendong’, ‘mau gendong’, sampai akhirnya kalimat lengkap ‘Ara mau gendong sama mama’. Di situasi lain juga gitu, pas dia minta makan, minta diambilin sesuatu, atau waktu dilatih untuk bilang ’tolong’ dan ’terima kasih’. Sebelum dia ucapin katanya, barangnya agak saya tahan dulu. Oh ya, sekali-sekali kasih pertanyaan ke anak yang jawabannya bukan ya atau tidak, tapi pilihan, supaya dia perlu ngomong untuk kasih tau pilihannya. "Ara mau makan ayam atau ikan?", "Kamu mau pakai baju yang warna kuning atau biru?", "Ara mau main tempel-tempel atau masak-masakan?" 

Di samping ajak ngomong, kitanya juga harus gantian untuk dengar bayi ngomong. Cooing (uu..ooo..ah…) is talking. Babbling (ma..ba..da..) is talking. Jabbering (menya menya menya, cabeca beca beca..hajipaw hajipaw) is talking. Jangan dianggap non sense semata karena itu usaha anak buat ngomong, harus direspon. “Kamu lagi ajak ngomong papa ya? Mau cerita apa sih? Senang ya tadi diajak jalan-jalan ke taman?“  Dengan kita kasih giliran untuk bicara, bayi belajar seni percakapan. Mereka pun akan ngerasa kalau omongan mereka berharga untuk didengerin, kalau apa yang mereka ucapin itu dianggep penting sama orang lain. Ini bakal buat mereka lebih terdorong untuk terus berkomunikasi. Kasih mereka 'reward' (ditepukin, tunjukin ekspresi girang, bahkan 'sekedar' direspon itu juga reward loh). Bayanginnya gini aja, kalau kita ngajak orang ngomong tapi selalu dicuekin, lama-lama pasti kita bakal jadi malas dan milih untuk diem. Betul ga? Nah, jangan sampai kita buat bayi jadi males untuk bersuara. 

Gimana dengan televisi (dan tablet, dan video, dan ipad)? Apa bener ga boleh sama sekali? Well.. kalau dari rekomendasi para ahli memang anak di bawah 2 tahun itu sebaiknya ga dikasih nonton sama sekali. Tapi buat saya ini susah sekali, karena saya dan suami pun belum bisa lepas dari gadget. Kami sih sejak Ara lahir udah jarang banget nonton televisi (film), dan biasanya untuk itu nunggu Ara bobo. Tapi kita masih lihat televisi untuk nonton berita, dan masih sering buka tablet, hp, dan laptop buat kerja.  Jadilah Ara juga penasaran pengen tahu apa sih yang sering dilihat mama papanya. Jalan tengahnya, ya dengan batasi waktu nonton. Saya juga pilih acaranya dan sebisa mungkin temani dia nonton. Program-program edukasional buat bayi itu bisa ajarin anak konsep (huruf, warna, berhitung, kosa kata baru), tapi perkembangan bahasa dan komunikasi itu baru akan terjadi melalui interaksi. Screens are not interactive. People are. Ada penelitian yang nunjukin kalau dvd edukasional bayi itu ternyata ga terlalu bantu anak belajar kata, kalau digunakan sebagai media utama. Untuk detail penelitiannya bisa dibaca disini. Dari penelitian lain juga keliatan (melalui brain scan), kalau anak yang dengar paparan kata lebih banyak dan sering itu akan gunain lebih banyak kapasitas otak mereka untuk belajar bahasa. Kesenjangan antara dua kelompok anak (yang sering diajak ngomong dan ga) makin terlihat waktu usia prasekolah, dari jumlah kosa kata dan keekspresifan bahasanya. 

“Ri..gw juga dah lakuin tuh sama kayak lo, tapi kok anak gw masih senyap aja ya?” Hmmm…misal seperti itu, sabar aja ya pak..bu.. Ada kalanya anak maunya nyerap dulu. Perkembangan bahasa itu juga ada dua macam, reseptif (pemahaman) dan ekspresif (pengungkapan). Misal anak belum ngomong tapi dia paham apa yang orang lain bilang (bisa dikasih instruksi ‘ambil boneka’, ‘tepuk tangan’, bisa tunjuk bendanya kalau ditanya ‘mana mobil?’ dll) berarti kemampuan bahasa reseptifnya sebenarnya  berkembang. Selama area perkembangan lainnya oke, dan memang stimulasinya cukup, tinggal tunggu waktu aja. Anak kan beda-beda juga. Ada yang lebih cepet ngomongnya tapi motorik ga terlalu oke, atau sebaliknya, motorik oke tapi masih malu-malu ngomongnya. Nanti kalau ‘kran’ nya udah dibuka, bisa tiba-tiba langsung deras deh aliran kata-katanya. 

Tapi... misal ada gap bulan yang cukup jauh antara perkembangan anak dengan tahapan perkembangan yang seharusnya, ada baiknya untuk cek ke klinik tumbuh kembang ya, jadi misalkan perlu penanganan khusus (ikut terapi wicara) bisa lebih cepat. Silahkan lihat tabel indikator tumbuh kembang anak 0-3 tahun disini.

Ini dulu ya yang bisa saya share. 
Now go talking to your child ^^

Monday, October 6, 2014

Goodbye without (so much) tears ^^

Selagi anak belajar buat kenal lingkungannya, ga jarang lho muncul rasa takut dan kecemasan, misalnya terhadap monster, gelap, badut, dokter, binatang, pesawat, lift, atau lainnya. Hal ini sangat wajar karena mereka masih belum terlalu bisa bedain mana yang nyata dan mana yang ga, dan belum terlalu paham cara kerja benda-benda di sekelilingnya. Jangan-jangan mereka mikir lift itu makan orang! Hehe... Nah di antara berbagai kecemasan itu, yang rasanya hampir pasti akan dialami semua anak itu adalah kecemasan akan perpisahan (separation anxiety). Akan ada masa-masa anak kok kayaknya ngekorrrr mulu kemana kita pegi, kita ga keliatan dikit aja nangis, kita ke kamar mandi sebentar aja sampai digedor-gedor. Puncaknya, pas orang tua harus kerja dan ninggalin mereka di rumah, atau pas nganter mereka ke sekolah. Bisa-bisa nangis kejer :D

Hari ini saya baru aja dari preschool tempat saya kerja sebagai psikolog konsultan. Preschool ini belum terlalu lama buka, dan hari ini adalah hari pertama dimana anak-anak ga boleh lagi ditemenin sama orang tua ataupun pengasuhnya. Bisa dibayangin ya kondisinya gimana? Tangisan dimana-manaaaaa hwaaaaaa.....Ada yang nangis kejer di awal sampai guling-guling, tapi cuma sebentar dan setelah itu bisa main dengan tenang. Ada yang nangisnya di awal waktu sekolah, tengah-tengah sudah diem, tapi eh mendekati waktu pulang sekolah malah balik nangis lagi (mungkin buat dia rasanya lama banget kok ga pulang-pulang ya). Ada juga yang baru nangis di pertengahan, mungkin gara-gara liat temennya kenapa nih pada nangis semua. Ada yang nangisnya on and off. Nangis, terus bisa dialihin perhatiannya jadi diem, tapi pas keinget nangis lagi, terus tenang lagi waktu didistrak, muter-muter gitu aja siklusnya. Bahkan sampai ada yang ketiduran saking capek nangis. Fiuhhh....


Apa ya yang kira-kira bisa dilakuin orang tua supaya anak lebih gampang atasi kecemasannya? Beberapa tipsnya nih ^^

ü  Talk, talk, talk
Sebelum hari H (pertama kali ninggalin anak kerja, atau pertama kali anak harus belajar di sekolah tanpa ditemani), jangan bosen-bosen buat sounding. Buat semacam kalender di rumah, dan kasih tanda kapan harinya pas anak mulai harus berpisah sama ortu/pengasuh. Tiap hari, ajak anak liat kalendernya dan ingetin lagi. Yakinin, kalau dia bakal seneng-seneng di sekolah/ di rumah. Tanggapi perasaannya, kasih kata-kata yang nenangin, bisa juga dengan relate ke waktu lain dia bisa atasi rasa takut akan sesuatu. Misalnya, “Mama papa tahu adek mungkin takut yah kalau ga ada mama atau mba. Tapi coba deh inget-inget pas waktu lain adek takut, kayak takut berenang pertama kali. Eh ternyata pas adek sudah mau coba, malah adek suka ya sekarang berenang.”

ü  Baca cerita yang temanya perpisahan (dan pertemuan kembali)
Banyak kok buku-buku yang punya tema ini, kayak Llama Llama Misses Mama (Ann Dewdney), The Kissing Hand (Audrey Penn), Good-Bye Book (Judith Viorst), Benjamin Comes Back (Amy Brandt), atau Mama Always Comes Home (Karma Wilson). Misal ga nemu di toko buku, bisa beli online atau baca gratisan di www.wegivebooks.org. Bisa juga cari di youtube, ada yang versi audio visualnya. Yang jadi poin penekanan di cerita-cerita ini, bahwa memang ada kalanya anak harus pisah dengan orang tua atau pengasuh, but they do come back.

ü  Visualisasi rutinitas sekolah/rumah
Kita dapat buat semacam buku cerita sendiri (atau semacam visualisasi aja sih), yang isinya gambar-gambar tentang sekuens kegiatan anak. Kalau di sekolah, sekuensnya bisa circle time, waktu belajar, waktu makan snack, dan waktu penjemputan. Kalau di rumah, sekuensnya bisa waktu mandi pagi, waktu main, waktu makan siang, waktu tidur siang, waktu mandi sore, waktu makan malam, waktu ketemu mama papa. Buat anak yang belum punya sense of time, visualisasi dan patokan waktu berdasarkan kegiatan ini akan bantu banget. Anak jadi bisa punya antisipasi dan struktur, jadi lebih gampang deh untuk atasi kecemasannya karena bisa ngebayangin  kalau waktu ketemu makin dekat.

ü  Buat ritual perpisahan
Ciptain ritual perpisahan (kalimat atau gerakan atau nyanyian spesial), buat jadi transisi yang fun. Tau film Parent Trap ga? (jadul banget sih nih referensi filmnya, yang main Lindsay Lohan jaman masih kecil). Nah disana ada tuh ritual gerakan buat tiap kali ketemu sama pengasuhnya. Jadi sebelum pisah sama anak, dan pas waktu ketemuan lagi, lakuin deh ritual ini. Ajak anak role play situasi pas pisah dan ketemu, supaya makin siap.

ü  Jangan sembunyi-sembunyi
Saat beneran udah waktunya, tenangin anak, lakuin ritual perpisahan, terus segera pergi (dont prolong goodbye time). Jangan pergi diam-diam, karena malah bisa buat anak cemas karena ga tau kapan kita pergi. Nex time, yang ada dia malah makin clingy. Kalau anak nangis, sabar-sabar dan kuatin diri biar ga tergoda buat balik lagi.

ü  Perpisahan gradual
Pas hari H, sediaian waktu transisi sekitar 30 menit. Pakai teknik jam dinding untuk gentle reminder, “Nanti kalau sudah jam 8, jarum pendeknya di sini (tunjuk ke angka 8), sudah waktunya mama pergi kerja ya.“ Bisa juga pakai teknik jam weker “Nanti kalau alarmnya bunyi, artinya sudah waktunya adek masuk kelas, mama papa dan mba pulang. Nanti balik lagi jemput adek.”  Ingetin tiap 10 menit, dan makin deket waktunya makin sering ingetinnya, 5 menit atau 3 menit sekali.

Poin-poin di atas bisa buat bantu atasi kecemasan anak di setting rumah pas ortu perlu ninggalin anak kerja, atau di setting sekolah pas anak udah harus masuk kelas dang a boleh ditemenin lagi. Buat setting sekolah, ada beberapa tips tambahan yang bisa dilakuin ortu.
ü  Libatin anak untuk siapin barang-bawang bawaan ke sekolah
Ini bisa kasih antisipasi positif buat anak, dan kasih kesan kalau anak sudah cukup besar untuk dikasih tanggung jawab siap-siap, dan berarti cukup besar juga untuk belajar sendiri di kelas. Sesekali kasih kebebasan buat anak nentuin mau pakai baju yang mana ke sekolah (untuk sekolah yang ga pakai seragam), atau nentuin mau bawa makanan apa.

ü  Foto guru dan teman-teman
Untuk anak yang bener-bener mau masuk sekolah baru, kita bisa bantu dia buat adjust  ke lingkungan baru dengan ajak lihat-lihat sekolah dari beberapa hari sebelumnya. Cara lain,  siapin foto guru dan teman-teman sekelasnya, trus sering-sering kasih liat ke anak deh supaya lebih familiar.

ü  Bawain benda kesayangan
Benda kesayangan bisa jadi penenang buat anak, kayak boneka, mainan, atau selimut favoritnya. Bisa juga anak dibawain foto keluarga yang dapat ia lihat-lihat kalau kangen. Pas udah waktunya masuk kelas, bilang ke anak “Coba kasih lihat foto-foto kita ke bu guru dan teman-teman.“ Bisa jadi anak malah excited dan perhatiannya kealih dari perpisahan.

Last but not least....kitanya sebagai orang tua mesti coba untuk tetap tenang, karena gimana kitanya pastiiii akan ngaruh ke anak. Kalau kita tenang dan ga terlalu besar-besarin saat perpisahan, anak juga biasanya jadi lebih santai. Kerasa deh bedanya anak yang ortunya santai  sama yang ortunnya cemas (jangan-jangan yang ga siap itu ortunya? Hehehe...). Percaya juga anak punya resiliensi kok buat ngatasin ’masalah hidup’nya dia ini, jadi jangan khawatir kalau anak bakal jadi trauma ya. Pertama kali pisah, ortu harus antisipasi adanya rengekan dan jejeritan. Itu normaalll banget. Jangan terus gara-gara anak nangis, jadi balik lagi, atau nurutin anak kalau dia ga mau sekolah besoknya. Kalau kayak gitu terus, malah jadi lama-lamain proses adaptasinya. Dari pertama kali pisah sampai anak bisa bener-bener tenang ngadepin perpisahan, bisa makan waktu harian, mingguan, atau bulanan, tergantung sama temperamen anak dan proses yang dilakuin ortu dan pihak sekolah untuk nyiapin anak. Satu hal yang pasti, fase ini bakal terlewati kok. Percaya sama anak dan percaya sama diri sendiri. Kalau semua cara di atas udah dicoba dan ternyata masih ga berhasil juga, ikutin kata temen saya: 10S! Alias sabar sabar sabar sabar sabar sabar sabar sabar sabar sabar! ^^