“Oriiiii….itu anaknya dipegangin dong kalau
naik tangga..”
“Ehhhh…. Gpp tuh ri si Ara makan sate
langsung dari tusuknya? Ga dipotong-potongin dulu?”
“Ara jangan naik-naik kursi! Sini-sini
turun. Mau ambil apa? Sini diambilin. Duh ini mama papanya kok ya cuma liatin
aja? Orang tua jaman sekarang apa gitu ya..”
“Itu kok Ara dikasih sih pegang gunting?”
Itu beberapa
diantara banyak komen yang cukup sering dilontarkan ke saya dan suami, kebanyakan
dari kakek neneknya Ara. Katanya, kami tuh kesantaian sebagai orang tua. Lihat
Ara panjat-panjat kursi, kalau eyang atau oma opanya yang lihat, pasti sudah
langsung kegopoh-gopoh nyamperin dan gendong atau nurunin dia. Sedangkan saya
dan suami biasanya cuma ingetin “ra, itu
kalau jatuh sakit lho ya..awas, hati-hati naiknya. Kalau mau ambil sesuatu
belum sampai, Ara minta tolong aja.” Kalau beneran jatuh (beberapa hari
lalu baru aja kejadian, sampai bibirnya agak jontor), kami biasanya ajak dia
ngobrol “kenapa tadi Ra, kok bisa jatuh?
Jadi lain kali harus gimana dong?” Kami berusaha banget hindari menyalahkan
orang atau lebih parah lagi menyalahkan benda mati “Sakit ya nak? Lantainya nakal ya?” Ga make sense rasanya. Buat kami, selama ga life threatening, itu kesempatan buat Ara untuk belajar sebab
akibat dari tindakannya. Panjat-panjat, resikonya ya jatuh dan merasa sakit.
Anak itu pintar kok, dia juga pasti ga akan sengaja lakukan hal yang buat dirinya
sakit. Bukan berarti semua semua dibiarkan, ya kalau lihat Ara lari ke jalan
raya pasti kami stop juga...
Kami percaya
anak punya kemampuan belajar yang besar. Pertanyaannya lebih ke: apa kita
sebagai orang tua sudah kasih anak kesempatan untuk belajar? Kalau ada yang
nanya apa ga takut Ara ketusuk pas makan sate, kami jawab “Dikasih tau aja cara makannya yang bener gimana supaya ga ketusuk.
Kasih tau aja ‘dari samping ya Ra. Kalau dari depan, ini ujungnya tajam, sakit
nanti kalau kena mulut…’” Awalnya mungkin perlu beberapa kali kami contohkan
dan bantu ubah posisi tangan Ara, sambil awasi proses makannya. Pas yakin dia sudah
bisa, dia makan sendiri sambil kami tinggal-tinggal juga ga khawatir.
Hari Jumat
lalu, saya baru ketemu dengan salah satu orang tua murid. Saya dan kepala
sekolah merasa bahwa perlu ada perubahan pola pengasuhan dari orang tua, nenek,
dan mba dari murid ini. Kenapa? Karena dari aspek personal kemandiriannya, anak
ini (usia 2 tahun 2 bulan) tertinggal cukup jauh dari anak sebayanya. Contohnya
dalam hal makan, ia belum bisa makan dan minum sendiri. Karena selalu disuapi,
ia ga belajar gimana pegang sendok dan gimana kontrol tangan supaya bisa masukkan
makanan ke mulut atau pindahkan makanan dari satu wadah ke wadah lainnya tanpa
tumpah. Makan pakai tangan pun hampir ga pernah, karena biasanya dilarang kalau
mau pegang-pegang makanan. Biskuit bisa sih, walau kecenderungannya minta orang
lain yang pegangi dan ia tinggal mangap. Makanannya pun seringkali masih
diblender, sehingga tidak belajar mengunyah dan menelan dengan benar. Begitu
juga dengan minum. Karena selalu disendokin, belum bisa minum sendiri dari
gelas. Minum pakai sedotan bisa, tapi botolnya biasanya dipegangi orang lain.
Untuk
berkembang, anak harus dikasih kesempatan untuk belajar dan melakukan kesalahan.
Dalam prosesnya ini, pasti bakal buat berantakan, buat kotor, buat kacau, buat
elus dada, buat geleng-geleng kepala, dan buat ga sabar. Tapi percaya aja, itu bukan
asal berantakan dan kotor, itu berantakan dan kotor yang perlu ^.^ Rumah selalu
rapih tapi anak ga belajar-belajar mandiri, sayang juga kan. Buat beberapa
orang yang perfeksionis dan organized
seperti saya, sebenernya susaaahh banget buat let it go. Strong urge to jump in, but I really try hard to hold myself
and just trust the process. Let them learn. Bahkan sekarang saya kayaknya
lebih santai dari suami (tapi inshaallah bukannya neglect kok). Suami masih melarang Ara untuk colok listrik, kalau saya
sih merasa Ara sudah bisa dikasih tau gimana cara nyolok yang bener, mana yang
boleh dipegang dan mana yang ga boleh. Yang saya tekankan “kalau lagi sendiri, ga boleh mainan kabel listrik ya ra..” Alhamdulillah
sampai saat ini ga ada kejadian aneh-aneh. Sudah pernah juga dibacakan buku
soal bahaya listrik, biasanya Ara memang lebih nempel belajar sesuatu kalau
lewat cerita dan lagu.
Setelah ulang
tahun pertamanya, anak sudah mulai lebih aware
sama lingkungan dan tertarik dengan hal-hal yang dikerjakan orang dewasa,
seperti menyapu, mengepel, mencuci. Anak juga mulai tumbuh rasa ke’aku’annya,
ingin coba-coba lakukan ini itu sendiri walau belum bisa. Begitu dia nunjukin
rasa ingin tahunya dan ikut-ikutan, saat yang tepat nih untuk mulai fokus ajari
keterampilan bina diri (self help skills):
keterampilan yang harus anak lakukan supaya bisa penuhi kebutuhannya dan
menjalani kegiatan sehari-hari dengan baik. Pada anak-anak, yang masuk ke keterampilan
bina diri itu seperti
-
Gunakan alat makan, makan secara mandiri, siapkan
makanan
-
Mandi, sikat gigi, dan sisir rambut sendiri
-
Berpakaian: pasang/ lepas baju, celanan, pakaian
dalam, sabuk, kaos kaki, sepatu, plus pilih pakaian (mana yang cocok buat di
rumah, pergi santai atau pesta; pas hari cerah atau hujan)
-
Letakkan pakaian kotor di keranjang pakaian dan
baju bersih di lemari/gantungan pakaian
-
Cuci tangan sebelum makan, setelah buang air,
dan setelah main
-
Buang air di toilet dan bersih-bersih setelah buang
air
-
Tutup mulut kalau batuk atau bersin
-
Beres-beres setelah numpahin sesuatu
-
Kembalikan mainan ke tempatnya
-
Rapihkan tempat tidur
Anak yang
dilatih untuk mandiri, akan tumbuh jadi pribadi yang lebih percaya diri, dapat
diandalkan, dan bertanggung jawab saat dewasanya. Buat orang tua juga lebih
enak, bisa lebih banyak waktu ‘me time’ atau
lakukan hal lain yang lebih produktif, ga terlalu dipusingin sama hal-hal yang
tampaknya remeh tapi kalau diitung-itung bisa makan banyak waktu. Contohnya
anak mau makan sereal campur susu. Untuk anak yang belum dibiasakan mandiri dan
belum punya keterampilan bina diri, dia akan butuh bantuan untuk: ambil mangkok
dan sendok, ambil botol susu di kulkas, buka botol susu, tuang susu ke mangkok,
tutup botol susu, ambil sereal di tempat penyimpanan makanan, buka sereal,
tuang sereal, tutup sereal, makan sereal dan susu sampai habis, bersihkan kalau
ada yang tumpah di meja, letakkan mangkok kosong di rak cuci piring, dan cuci
tangan. Sementara anak yang mandiri,
orang tua mungkin cukup bilang “kamu mau
makan sereal? Oke serealnya ada di lemari dan susu di kulkas ya.” Sisanya
bisa anak lakukan sendiri, ortu pun bisa kerjakan hal lain.
Tapi sebelum
anak bisa mandiri, PR buat orang tua buat ajarkan itu. Rumah tempat yang paling
cocok buat kembangkan keterampilan bina diri. Kenapa? Karena rutinitas
sehari-hari yang ada merupakan seting natural yang bisa buat anak nyaman untuk belajar. Ini beberapa hal yang dapat
dilakukan orang tua agar anak dapat lebih mandiri.
Bangun kebiasaan
Semakin anak
besar dan motoriknya berkembang, keterampilan bina dirinya juga akan meningkat.
Mandirinya anak 1 tahun pasti beda sama mandirinya anak 2, 3, 4, 5 tahun dan
seterusnya. Adjust your expectation. Ini
ada list yang bantu buat kita untuk tahu gimana cara libatkan anak dalam
tugas-tugas rumah tangga (chores) sedari
kecil, sesuai usianya.
List di atas
bisa jadi patokan apa yang bisa dituntut dari anak umur tertentu. Tapi ajarkan
anak mandiri sudah bisa dimulai sebelum dua tahun kok. Awalnya mulai dari aspek
personal kemandiriannya, misalnya belajar pakai sendok/ garpu, bantu lepas atau
pakai baju dan celana, atau latih anak kasih tahu kalau celananya basah. Teman
saya yang terapkan metode baby led
weaning ke anaknya sejak mulai mpasi, anaknya sudah pintaarr sekali makan
sendiri walau belum umur setahun, karena selalu dikasih finger food. Teman saya itu
jarang nyuapin anaknya. Hebat ya...
Di sekolah tempat saya kerja, anak-anak dibawah dua tahun pun sudah bisa ambil
alas makan dan piring makannya sendiri, serta kembalikan ke tempatnya waktu
sudah selesai. Ya karena memang dibiasakannya begitu.
Belajar
keterampilan bina diri lebih efektif kalau dilakukan di waktu dan tempat
keterampilan itu dibutuhin. Misalnya, latihan beres-beres tempat tidur pas pagi
hari di kamar, latihan pakai kaos kaki dan sepatu pas mau pergi keluar rumah, latihan
cuci tangan pas setelah main dan mau makan. Jadi ga perlu ajarkan di waktu
khusus, bagian dari rutinitas harian saja.
Tapiii….orang tua tetap mesti spare waktu
untuk ajarkan. Mungkin ada yang berpikir “ah
ntar juga bisa kok dengan sendirinya..” Hmm.. nyatanya tidak selalu begitu…
Pernah ada
yang bilang “duh anak saya apa-apa masih butuh
bantuan.. Capek deh saya..” Tapi
terus pas saya ditanya-tanya lebih dalam, memang ternyata no opportunity untuk anak mandiri. Kalau mainan berantakan, ibunya
ya langsung bereskan. Kalau mau naik ke atas, anak selalu digendong karena
takut jatuh. Kapan anak belajarnya?
Step
by step
Namanya
belajar sesuatu, pasti ga langsung bisa dan butuh bantuan dulu. Bantunya bisa dengan
breakdown ke dalam langkah-langkah
yang lebih kecil, terus minta anak lakukan sendiri dari langkah yang paling
belakang. Misalnya pas ajarkan Ara pakai sepatu sendiri yang ada perekatnya.
Awalnya kami cuma minta Ara untuk ambil dan taroh sepatu di rak. Itu sudah
ngerti, baru mulai latih dia untuk bantu pakai sepatu. Taruh sepatu di depan
Ara (sudah dalam posisi benar kanan dan kirinya), dan kami masih bantu juga
untuk selobokkan kakinya. Tugas Ara cuma pasang perekatnya aja. Itu sudah jago,
baru minta dia selobokkan sendiri. Sampai sekarang sudah bisa pakai sepatu
sendiri dan bedakan kiri kanan tanpa dibantu. Selesai? Nope. Kami
masih butuh untuk biasakan Ara pakai dan lepas sepatu sendiri SETIAP
KALI dia butuh pakai dan lepas sepatu. Karena kami tahu sebenarnya dia sudah
bisa, cuma ya ada aja masanya dia ga mau aja gitu, mintanya dipakaikan. Belum bisa konsisten juga sih kami (ini paling susah memang ya buat ortu), kadang diturutin kalau dia minta dipakaikan, kadang kekeuh dia harus pakai sendiri. Pernah waktu itu pas lagi mau belanja, sampai nunggu di parkiran mobil setengah jam karena Ara ga mau pakai sepatu, tapi saya ga bolehin dia turun sebelum pakai sepatu.
Beri petunjuk
Supaya anak
lebih paham harus apa, ortu perlu kasih petunjuk. Petunjuk ini bisa macam-macam
bentuknya. Misal mau ajari anak cuci tangan. Ada yang petunjuk fisik (anak
digiring ke wastafel tiap kali harus cuci tangan), petunjuk model (anak dikasih
contoh apa yang harus dilakukan), petunjuk verbal (diberi tahu apa yang harus
dilakukan), petunjuk bahasa tubuh (missal menunjuk ke arah kran untuk
mengingatkan anak agar menutupnya), dan petunjuk gambar (gambar langkah-langkah
cuci tangan). Seiring proses belajar, petunjuk yang diberikan akan lebih
minimum. Awalnya mungkin ortu perlu gandeng anak ke tempat cuci tangan tiap
kali selesai makan. Lama-lama cukup diingatkan saja “Habis makan harus apa ya dek?”, atau cukup tunjuk wastafel, sampai
akhirnya ga perlu beri petunjuk sama sekali.
Jangan buru-buru
Jangan
memburu-buru anak, biasanya mereka cenderung nolak. Sama lah kita juga kan ya,
pasti lebih malas kalau sudah disuruh-suruh, eh diburu-buru. Jadi triknya,
kasih anak waktu coba-coba. Pas anak masih proses belajar, contoh tadi belajar
pakai sepatu, pasti butuh waktu lebih lama. Kalau kita yang pakaikan mungkin
satu menit selesai dan bisa langsung berangkat. Cuma kalau mau anak belajar, harus
kasih spare waktu lebih 3-5 menit.
Berangkatnya jangan mepet-mepet. Kalau kemepetan, kitanya sendiri juga biasanya
jadi geregetan dan maunya langsung bantu. Tapi ini memang susaaahh banget. Saya
pun masih terus belajar supaya lebih sabar dan ga selalu buru-buru bantu. Kadang
berhasil, kadang ga huhuhu….
Ciptakan lingkungan yang mendukung
Anak akan
bisa lebih mandiri kalau ia bisa menjangkau sendiri barang-barang yang dia
butuhkan. Orang tua bisa bantu dengan ciptakan lingkungan yang mendukung.
Letakkan peralatan makan, mainan, buku, sepatu, atau baju di lemari/ rak yang
bisa dia buka sendiri. Letakkan air minum di botol-botol kecil yang akan lebih mudah dia tuang sendiri ke gelas, daripada harus dari jug yang besar (yang hampir pasti tumpah karena kontrol belum terlalu oke dan mungkin berat juga sih). Di rumah, saya belikan Ara undakan agar lebih mudah buat
dia untuk cuci tangan. Idealnya sih ada wastafel versi anak ya, cuma ya belum
ada dana buat renovasi rumah, dibantunya dengan ini dulu. Pas awal-awal
belajar, pastinya mesti sambil diawasi. Benar ga dia tarik undankannya? Sudah
stabil belum? Posisinya pas ga di tengah? Sampai ga tangan dia untuk buka kran
dan ambil sabun cuci tangan? Setelah berkali-kali latihan, baru bisa ditinggal.
Fokus ke proses
Kalau fokus
ke hasil, bisa jadi tambah stress saya karena pastinya banyak yg belum bisa
dilakuin secara benar-benar benar. Bawa air di gelas atau piring makanan
berkuah masih suka tumpah, mau bantu lap kadang malah buat tambah kotor, mau
bantu masukin baju yang udah disetrika rapih ke lemari malah buat berantakan
dan harus saya lipat ulang, ya begitulah… mantra yang saya ucapin
berulang-ulang “just trust the process..just
trust the process..just trust the process” . Karena fokusnya ke proses,
kemajuan sekecil apapun bisa dirayain, ga perlu tunggu hasil sempurna.
Kasih pilihan
Anak akan jadi lebih mandiri dan tanggung jawab kalau dilatih untuk membuat keputusan buat dirinya sendiri, dan jalani konsekuensinya. Inisiatifnya akan jadi lebih berkembang, jadi ga perlu selalu nunggu bantuan orang lain untuk lakukan sesuatu untuknya. Biasanya anak juga lebih mau lakukan sesuatu kalau dia merasa punya kontrol/ pilihan. Kasih pilihan yang memang kita setujui dua-duanya "mau pakai baju yang gambar singa atau gajah? Bisa pakai sendiri?" "mau makan macaroni atau nasi? Ga disuapi ya tapi..." Pada prakteknya, ini ga akan mudah. Saat ini lagi struggling juga karena Ara sudah mulai jago protes dan ngeles "ga mau itu pilihannya.."
Kesimpulannya..ajari anak untuk jadi mandiri ga mudah...but it's so worth the effort.
Just trust the process, and someday (hopefully soon) they will become independent little person.