Sekarang ini, kalau search
#montessoriathome akan banyaaakkk sekali ide-ide aktivitas untuk anak usia
dini. Mulai dari yang sederhana seperti menyendok, yang mungkin buat kita mikir
“apaan sih kayak gini doang?” sampai
yang rumit seperti mengenalkan hewan vertebrata/ invertebrata atau
bangunan-bangunan bersejarah ke anak usia 3 tahunan, yang buat mikir juga “hah? Ga keberatan tuh buat usia 3 tahun?”
Kalau dengar kata Montessori, kebanyakan juga orang tahu quote-nya yang terkenal “follow the child”. Tapi mungkin tidak
semuanya benar-benar memahami esensi dari prinsip ini, yang sejatinya akan
mempengaruhi bentuk interaksi orangtua-anak untuk membantu proses tumbuh
kembang dan belajarnya.
Selama lima hari mengikuti pelatihan Montessori, pemahaman saya tentang
Montessori menjadi lebih dalam. Saya mendapat informasi-informasi baru yang
memberi insight dan membuat saya
refleksi, bahwa selama ini ternyata……sebagai orangtua maupun guru, masih ada
perilaku-perilaku saya yang bila dilihat dari kacamata Montessori itu belum sepenuhnya
tepat.
Melalui tulisan ini, saya mau share
prinsip-prinsip umum dari metode pembelajaran Montessori. Menurut saya
Montessori memang sebuah metode, sebuah pendekatan…..yang bisa kita lakukan
di rumah dan sekolah, pun yang kurikulumnya bukan Montessori.
“ANAK MAMPU MENGAJARI DIRINYA SENDIRI"
Menurut Montessori, anak itu punya kemampuan untuk mendidik diri mereka
sendiri. Bahkan dari lahir, kemampuan penting yang fungsinya bertahan hidup seperti
menyusu atau menangis saat dirinya lapar, ga ada yang kasih tau, “kalau menyusu begini ya caranya, waktu puting
masuk mulutmu, dikenyot” atau “kalau
nanti kamu merasa lapar, nangis ya”. Ia membentuk konsep dan pemahaman dari
pengalaman dan bagaimana respon lingkungan terhadapnya. Ia jadi bisa belajar “oooh…kalau aku lapar tapi nangisnya ke
papa, eyang, mba..aku ga bisa menyusu. Yang bisa itu ke mama.”
Anak perlu diberi kesempatan buat trial-error
dan mendapatkan penemuan alias ‘aha
moment’-nya sendiri. Contoh saat bermain knobless cylinders. Pasak-pasaknya ada beragam ukuran. Kita
tunjukkan caranya di awal, lalu biarkan anak mencoba. Waktu dia memasukkan
pasak ke lubang yang salah (kalau pasak kecil ke lubang besar kan akan tetap
bisa masuk ya..anak mungkin awalnya ga ngeh kalau itu longgar), ya biarkan
saja. Nanti anak akan berpikir “loh..kok
ga bisa semuanya masuk lubang? Tadi waktu contohnya bisa masuk kok..” Justru
saat ada kesalahan ini adalah waktu dimana anak belajar. Tapi seringkali, kita
nih sebagai orang dewasa tidak membiarkan anak-anak ini belajar. Begitu salah
langsung dibilang “salah tuh…ga bisa
disitu. Di sini nih yang bener…”
Foto: colourboxmontessori.co.uk
Contoh lain, anak mewarnai matahari dengan warna biru. Reflek kita
biasanya apa hayo? “Loh..kok biru? Emang
matahari biru? Matahari warnanya kuning…” Mestinya gimana? Biarin aja dulu.
Nanti kita ajak anak lihat matahari beneran atau baca buku yang ada
mataharinya. Tidak perlu juga bilang “nih
liat..mataharinya kuning..” Penemuan itu biar anak yang buat sendiri.
Begitu pula kalau anak main tuang-tuang masih suka tumpah.
Begitu pula kalau anak pegang alat tulisnya belum benar.
Begitu pula kalau anak masih belum bisa sorting shapes.
And so on… you get the point.
Tapi terus gimana dong kalau anak ga bisa-bisa atau ga gerti-ngerti?
Nah..di sini inti perbedaannya antara true
montessorian dengan yang bukan. True
montessorian sangat yakin bahwa anak mampu mengajari dirinya sendiri. Kalau
sekarang masih ga ngerti, ya besok kita kasih contoh lagi. Belum juga, ya
besoknya lagi… lama-lama pasti bisa. Ini berlaku untuk semua anak, termasuk
anak-anak kebutuhan khusus (fyi,
murid-murid pertama Montessori itu anak-anak keterbelakangan mental).
Pertanyaannya: punyakah kita
keyakinan dan kesabaran itu?
“PREPARED ENVIRONMENT”
Kalau anak bisa mendidik dirinya sendiri…lalu apa peran orang tua dan
guru? Ya sebagai fasilitator (di Montessori disebutnya directress) untuk bantu menyiapkan lingkungan (prepared environment) agar anak bisa melakukan proses belajarnya
dan berkembang. Ibarat bunga dan anak itu bibitnya, orang dewasa perlu
menyiapkan air dan pupuk, sinar matahari sudah terberi dari Pencipta, dan anak
akan tumbuh dengan sendirinya. Kita ga perlu tuh menarik-narik si bibit sampai
keluar dari tanah, ga akan bisa pula kita memaksa dia untuk mekar. Sama seperti
anak belajar jalan. Saat dia belum siap, mau diajari sampai jungkir balik juga ga
akan bisa.
Montessori menekankan bahwa asal usul perkembangan itu tetap terletak
dari dalam. Anak tidak tumbuh karena ia ditempatkan di lingkungan yang nourishing, ia tumbuh karena kehidupan
potensi dalam dirinya berkembang sehingga potensi itu terlihat. Tapi untuk
memastikan fenomena pertumbuhan dan perkembangan itu terjadi, kita harus
menyiapkan lingkungan dengan cara tertentu, menawarkan anak sarana yang
diperlukan olehnya.
Contohnya gimana? Simpelnya aja. Anak itu kan dari bayi punya rasa
ingin yang tinggi. Makanya mereka senang memasukkan segala macam benda ke
mulut, termasuk benda dan tangan-kakinya sendiri. Nah, sebenarnya ini adalah
proses belajar. Mereka lagi eksplorasi bentuk, rasa, dan tekstur, itu cara
belajar bayi secara konkrit. Jadi kalau lihat anak begini bagaimana? Biarin
aja. Tugas kita sebagai orang dewasa adalah memastikan apa yang diemut itu
bersih. Kalau memang bendanya berbahaya karena tajam atau terlalu kecil
sehingga bisa tersedak, ya jangan sampai ada di dalam jangkauan bayi.
Untuk bayi yang sudah mobile, dia
akan senang menjelajah ruang. Kalau sampai dia mengarah ke colokan listrik lalu
ingin memasukkan tangannya ke lubang, itu sebenarnya dia lagi mau belajar. Kalau
sampai dia tersetrum (semoga sih ga ada kejadian gini yaa…), yang salah bukan
bayinya. Yang salah orang dewasa di sekitarnya. Harusnya di baby proofed. Either colokannya dikasih pengaman,
diletakkan lebih tinggi, atau bayi diberi tempat khusus untuk menjelajah secara
bebas sehingga tidak ke area colokan. Untuk anak yang lebih besar dan sudah
penasaran pasang-lepas kabel, daripada dilarang terus, ya ajari aja. “Cara pegangnya di bagian atas (kepalanya),
kalau mau pegang kabel tangannya kering, dan coba-cobanya pas ada mama papa
aja. Nanti kalau mama papa udah bilang boleh coba sendiri, gpp.” Bottom line, gimana
anak mau bisa kalau ga dikasih kesempatan belajar?
Konsep prepared environment Montessori
itu berarti bahwa lingkungan dirancang untuk memfasilitasi kemandirian belajar
dan eksplorasi, jadi anak bisa berkembang tanpa bantuan konstan orang dewasa. Makanya
kalau di sekolah-sekolah Montessori, barang-barang itu ukurannya disesuaikan
sama anak. Rak buku/ rak alat-alatnya pendek serta terbuka, jadi anak bisa
ambil sendiri. Dudukan toilet dan tempat cuci tangannya pendek, jadi anak bisa
sendiri. Kalau di rumah, kita bisa
sediakan undakan untuk tempat cuci tangan. Sesuaikan perabot rumah dengan anak, ukuran
lebih kecil atau bahan yang ga mudah pecah. Siapkan meja kecil yang ada piring
dan gelas, sehingga mereka tahu dan bisa bantu diri mereka sendiri kalau mau
makan minum. Baju, buku-buku dan mainan simpan di rak yang bisa mereka raih,
sehingga kapan pun mereka mau pakai bisa ambil. Kasih satu laci bawah di lemari
dapur atau kulkas untuk barang-barang anak. Hal-hal ini melatih mereka untuk
mandiri. Dan satu catatan penting: “Never
help a child with a task at which he feels he can succeed.” Jadi kalau anak
mau pilih dan pakai baju sendiri, walau ga matching
dan jadinya lama, ya udah gpp….
Pertanyaannya: sudahkah rumah
kita jadi lingkungan yang menyiapkan anak belajar?
“ABSORBENT MIND”
Absorbent mind adalah kapasitas
pikir untuk menyerap informasi dan sensasi dari lingkungannya. Bayi terlahir
tanpa bahasa dan cuma punya sedikit keterampilan, lainnya adalah insting dan
refleks. Ia kemudian berkembang. Selama tiga tahun pertama, anak menggunakan
indera-inderanya untuk memahami diri dan dunianya. Ini terjadi secara natural,
tanpa pikiran ataupun kekuatan pilihan. Montessori menyebut periode ini sebagai
unconscious mind. Di periode ini
mereka mengembangkan keterampilan berbahasa dan keterampilan fisik (berjalan,
kontrol tubuh) yang diperlukan untuk kemandiriannya.
Nah, meskipun batita menyerap kesan tanpa ia sadari dan pemikirannya
belum terlalu terbentuk secara sadar, pengajaran disiplin dan hal-hal yang
sifatnya value sudah harus dimulai
sejak di tahap ini. Kenapa? Karena akan lebih mudah menanamkannya, belum ada
banyak penolakan. Makanya kalau di sekolah Montessori, pelajaran paling awal
adalah ground rules seperti bagaimana
berjalan, bagaimana menutup pintu, bagaimana mengambil alat, bagaimana membuka
dan menggulung alas kerja. Saya belum lulus 100% juga nih poin ini. Ara
sekarang susah kalau diajak sholat, lebih hapal pula lagu-lagu da cerita Inggris daripada doa sehari-hari. Mungkin karena kurang ditanamkan
kebiasaan ini waktu di tahap unconscious mind *nunduk*...
Selama periode unconscious mind, kita mulai bisa
mengenalkan macam-macam hal pada anak. Misalnya, nama-nama hewan/ bangunan
bersejarah melalui kegiatan mencocokkan miniatur dengan gambar, sambil menyebut
nama dan asal negaranya. Nanti, saat anak belajar geografi (salah satu subtema
di area budaya Montessori), mereka seperti menggali memori. Kesan itu sudah
ada…nama itu sudah familiar….
Sekitar usia tiga tahun, anak beralih ke periode conscious mind. Anak secara sengaja mengarahkan dan
memfokuskan perhatiannya pada pengalaman-pengalaman yang bisa membuatnya
berkembang secara intelektual. Pikirannnya akan menyeleksi, menyusun, dan
memaknai informasi-informasi yang sudah ia serap secara tidak sadar di periode
sebelumnya. It is through this order of his intelligence that the child gains the
freedom to move purposely, to concentrate, and to choose his own direction.
Pertanyaannya: apa
yang sudah kita tanamkan ke anak sejak masa unconsicus
mind anak? Hal positif atau negatif?
“SENSITIVE PERIOD”
Buat pasangan suami istri, familiar dong ya dengan masa-masa subur?
Bukan berarti di hari-hari lain tidak bisa terjadi pembuahan, tapi selama masa
ini akan jauh lebih besar peluangnya. Perkembangan anak juga ada masa-masa
pekanya, semacam keharusan khusus yang memotivasi anak untuk fokus pada
beberapa aspek tertentu dari lingkungan dan mengabaikan yang lain. Selama masa
peka, anak bisa belajar hal baru, menguasai keterampilan baru, atau
mengembangkan kemampuan otak hampir tanpa sadar dan cepat sekali biasanya. Masa
peka itu sifatnya sementara. Jadi begitu
periodenya terlewat dan tidak dapat stimulasi yang tepat, akan butuh usaha
lebih keras dan latihan bertahun-tahun untuk belajarnya. Contohnya, relatif
mudah buat anak usia 2-3 tahun untuk belajar bahasa asing, daripada orang
dewasa.
Montessori mengidentifikasi adanya beberapa masa peka sejak anak lahir
sampai usia 6 tahun:
Gerakan (lahir – 1 tahun)
|
Gerakan acak bayi jadi terkoordinasi. Beri kesempatan eksplor, jangan
terlalu banyak digendong.
|
Bahasa (lahir – 6 tahun)
|
Dari celotehan hingga bicara lancar, mengikuti logat yang sering ia
dengar.
|
Benda kecil (1 – 4 tahun)
|
Mengamati manik, suka perhatikan gerak semut di lantai, tertarik pada
detail di foto / gambar.
|
Aturan ( 2- 4 tahun)
|
Segala sesuatu harus di tempatnya, suka rutinitas dan pengulangan
aktivitas, cepat moody jika ada hal
yang tidak familiar.
|
Musik (2 – 6 tahun)
|
Anak secara spontan tertarik pada nada, ritme, melodi. Sediakan alat
musik di rumah.
|
Masalah toilet (1.5 – 3 tahun)
|
Saat sistem saraf berkembang lebih baik, anak belajar mengontrol
aktivitas buang airnya.
|
Sopan santun ( 2 – 6 tahun)
|
Anak suka niru perilaku, yang bisa ikut membentuk karakter
kepribadiannya.
|
Impresi sensori / inderawi
(2 – 6 tahun)
|
Lihat, dengar, sentuh, rasa, bau. Pertama pendidikan indera, lalu
pendidikan intelek. Menyentuh jadi menulis, melihat jadi membaca. Meski pendidikan
indera sudah terjadi sejak lahir, sejak usia 2 tahun anak-anak lebih peka dan
takjub akan pengalaman inderawi mereka.
|
Menulis (3 – 4 tahun)
|
Diawali dengan usaha meniru huruf dan angka.
|
Membaca (3 – 5 tahun)
|
Ketertarikan spontan pada simbol dan suara.
|
Hubungan ruang (4 – 6 tahun)
|
Semakin pintar menyusun puzzle yang rumit sekalipun.
|
Matematika (4 – 6 tahun)
|
Beri anak pengalaman matematika yang nyata saat anak di masa peka
terhadap angka dan jumlah.
|
Hubungan sosial (2.5 – 6 tahun)
|
Dari awalnya egosentris mulai belajar jadi bagian dari sebuah
kelompok.
|
Pertanyaannya: sudahkah kita
memanfaatkan windows of opportunity ini
dengan sebaik-baiknya?
“FOLLOW THE CHILD”
Bebaskan anak memilih apa yang ingin ia lakukan, tidak perlu dipaksa.
Orang dewasa kadang terlalu kaku, ingin anak menjalankan exactly what we want them to do. “Ya masa udah susah-susah disiapin
alat permainannya, eh coba aja ga mau. Hiihhhh….” Hayo ngaku siapa suka
gitu? *ngacung *kadang-kadang aja kok.. hehe.. Walau ga sampai maksa, tapi
kadang saya suka gerutu sendiri dalam hati atau berusaha nego sama Ara.
True Montessorian akan
menghargai apa pilihan anak. Saat anak menolak, berarti mungkin memang ia belum
siap atau memang sedang tidak mood. Kita
harus mutar otak apa yang bisa buat dia termotivasi, tetapi bukan dengan reward
eksternal. Ms. Sarah, trainer waktu
saya pelatihan ini, bercerita bahwa ada muridnya dulu yang sama sekali tidak
mau masuk ke dalam kelas selama 1 minggu lebih. Ia lebih suka di luar dekat
kolam, karena senang ikan. Akhirnya Ms. Sarah dan partner gurunya membawa aquarium kecil ke dalam kelas, dan
menyediakan alat pembelajaran tambahan yang berkaitan dengan ikan.
Perlahan-lahan murid tersebut mau masuk, dari hanya sebentar-sebentar sampai
akhirnya mau di dalam kelas selama jam sekolah.
Di sekolah Montessori, bila anak sama sekali tidak mau bekerja dengan
alat-alat peraga yang ada, atau hanya mau memainkan alat-alat tertentu saja, ya
sudah. Artinya ya anak belum merasa siap. Ia tetap bisa belajar juga kok dengan
mengobservasi anak-anak lain. Anak tidak akan dipaksa, apalagi diberi ancaman/
hukuman. Reward seperti stiker atau
pujian berlebihan pun tidak disarankan.
Lebih lanjut, setiap alat peraga Montessori punya tujuan dan cara
bermain spesifiknya. Guru mengajarkan bagaimana cara menggunakannya. Namun bila
anak punya pemikiran sendiri, yang kadang sangat berbeda, dan mau berkreasi
melakukan variasi atau ekstensi, so be
it. Let them.
Jujur, pas lagi bahas ini saya juga merasa disentil. Sepertinya saya masih
kurang sabar menghadapi Ara, kayak misalnya sekarang ini dia lagi malassss
banget genjot sepeda. Jadi selalu maunya didorong. Begitu berhenti didorong ya
mandek juga dia. Minggu lalu malah baru aja kejadian, tantrum di tengah jalan
sampai guling-guling, karena saya ga mau dorong sepedanya. Saya bilang kalau ga mau genjot, ya udah
jalan aja sampai rumah. Ara nolak, malah minta gendong. Saya kekeuh ga mau gendong.
Alhasil deh jadi tontonan tetangga hehe…
Kalau pakai prinsip Montessori “follow
the child” ini, harusnya saya ga boleh kesal saat Ara menolak genjot.
Berarti ya saat ini dia belum siap belajar naik sepeda sendiri. Saat tiba
saatnya, pasti mau kok. Biarkan keinginan itu datang dari dirinya sendiri.
Pertanyaannya: cukup sabar
dan yakinkah kita untuk mengikuti anak dan tidak melakukan intervensi? Cukup
bisakah kita menahan diri untuk mengamati daripada memberi instruksi?
“BEBAS BERBATAS”
Montessori meyakini bahwa hanya melalui kebebasan dan pengalaman
praktis maka pembangunan manusia terjadi. Bebas disini bukan berarti
bebas-sebebasnya lho... Tetap ada aturan dan batasan yang perlu diikuti. Misalnya
nih, anak-anak lagi memakai alat peraga. Kalau cara pakainya beda dari contoh
kita (kita contohin tumpuk ke atas sama anak dijejer ke samping), biarkan.
Tetapi kalau mereka sudah mulai lempar-lempar atau pukul-pukul, sudah harus di
stop karena itu penyalahgunaan. Atau mereka merebut alat yang dipakai anak
lain, ya harus dihentikan. Setiap alat peraga di kelas Montessori itu memang
hanya satu untuk setiap jenis, agar secara tidak langsung mengajarkan
bergantian.
Bebas berbatas itu artinya bebas yang tetap menunjukkan respect ke diri sendiri, orang lain,
alat, dan lingkungan. Kebebasan yang bisa kita kasih ke anak seperti kebebasan
bergerak, memilih, bebas dari bahaya, bebas dari kompetisi (atau perbandingan
dengan anak lain), serta bebas dari tekanan.
Kenapa sih kita harus kasih anak-anak kebebasan? Menurut Montessori,
justru anak-anak butuh kebebasan untuk mengembangkan disiplin diri. Dengan
kebebasan, ia bisa memahami tindakannya dan konsekuensinya. Dengan kebebasan,
anak bisa capai pemenuhan diri dan menemukan kemampuannya sendiri.
Pertanyaannya: kebebasan
seperti apa yang sudah kita berikan ke anak?
“URUTAN ADALAH JANTUNG
PEMBELAJARAN MONTESSORI”
Selama workshop, terasa sekali hawa keteraturan dan urutan di kelas
Montessori. Meski anak boleh memilih alat peraga mana saja selama di kelas,
namun saat guru melakukan presentasi (pengenalan alat/ konsep secara individual)
itu harus berurutan sesuai dengan usia. Anak udah bisa menguasai satu alat dulu
baru lanjut ke alat berikutnya.
Montessori punya 5 area (practical
life, sensorial, language, math, culture), di setiap area itu sudah ada
tingkatannya. Misal di practical life, anak
mulai dari menyendok, baru lanjut ke menuang, memindahkan dengan pipet/sumpit, menjepit,
melipat, menyapu, membuka dan menutup, meronce, kemudian lanjut ke menggunting.
Menyendok pun ada urutan-urutannya lagi: dari mangkuk ke mangkuk, dari 1
mangkuk ke 2 mangkuk lain berukuran sama, dari 1 mangkuk ke 2 mangkuk berbeda
ukuran, sampai menyendok dari mangkuk ke mangkuk dengan garis indikator.
Alat-alat ini pun diletakkan secara berurutan, yang lebih dulu diajarkan di rak teratas.
Foto: hedleyparkmontessorischool.com
Area yang dipresentasikan mulai dari pratical life dulu. Kenapa? Karena barang-barang disini yang paling
familiar buat anak, bisa mereka lihat sehari-hari di rumah. Dan dari sini itu
dibangun konsentrasi, yang sangat sangat sangat penting dalam proses belajar.
Dari segi bahasa, menulis lebih dulu diajarkan daripada membaca.
Kenapa? Karena menulis bukan hanya membentuk simbol dengan tangan, tetapi juga
ekspresi kreatif anak dari dalam. Anak harus pikir dulu mau ngomong apa,
menganalisis suara, dan menuliskannya di kertas. Belajar menulis di Montessori fokus pada
pembelajaran bunyi (phonic), bukan
nama-nama huruf.
Kebanyakan alat pada area sensorial itu merupakan basis pembelajaran di area matematika dan bahasa. Contoh, anak harus bisa alat long rod di area sensorial dulu baru bisa masuk ke alat number rod di area Matematika. Tapi disini saya ga akan bahas apa aja alat-alat Montessori dan apa fungsinya yaa…buanyaakkkk hehe.. workshop ini aja baru part 1. Nanti setengahnya lagi di part 2 bulan Juni.
Foto: goodneighbormontessori
Sederhana ke rumit
Kebanyakan alat pada area sensorial itu merupakan basis pembelajaran di area matematika dan bahasa. Contoh, anak harus bisa alat long rod di area sensorial dulu baru bisa masuk ke alat number rod di area Matematika. Tapi disini saya ga akan bahas apa aja alat-alat Montessori dan apa fungsinya yaa…buanyaakkkk hehe.. workshop ini aja baru part 1. Nanti setengahnya lagi di part 2 bulan Juni.
Untuk ajarkan ke anak nama benda/ suatu konsep baru, metodenya adalah
3PL (Three Period Lesson). Misal
belajar panjang pendek, pakai penggaris.
Periode 1: Penamaan (Ini
adalah….) – Kita tunjuk penggaris
panjang sambil bilang ‘panjang’, lalu tunjuk penggaris pendek sambil bilang
‘pendek’
Periode 2: Pengakuan
(Tunjukkan) – Beri instruksi pada anak “Tunjukkan mana yang panjang / pendek”
Periode 3: Pengingat (Apa
ini?) – Beri pertanyaan ke anak sambil tunjuk salah satu penggaris “Apa ini?”
Pertanyaannya: sudahkan kita
perhatikan urutan dalam proses belajar anak?
"CIRI-CIRI ALAT PERAGA MONTESSORI"
Kalau alat peraga Montessori yang dipakai di sekolah berbasis
Montessori, biasanya memang sudah standar dan harganya cukup mahal. Tapi kita
bisa kok buat sendiri, selama tau prinsip-prinsipnya.
Setiap alat terbatas pada satu
kualitas
Maksudnya itu ga multidimensi. Tau mainan ring donat? Yang bulet-bulet warna-warni
disusun ke atas itu? Nah itu sebenernya kurang tepat. Mau ajari apa? Warna apa
ukuran? Kalau mau ajari warna, ya ukurannya sama semua harusnya. Kalau mau
belajar ukuran, warnanya sama semua. Jadi menurut Ms. Sarah, bukan berarti ga
boleh dipakai..tapi itu dibilangnya hanya alat bantu, bukan alat utama, untuk
mengajari suatu konsep.
Foto: goodneighbormontessori
Sederhana ke rumit
Berjenjang..misal di area Matematika, dari awal harus
belajar dulu konsep hitungnya (one-on-one
correspondent), baru terus belajar simbol angka (1 itu untuk jumlah satu,
dst). Kalau sudah paham sekali baru masuk ke ganjil genap, operasi matematis
(+, -, x, :) dan pecahan.
Umum ke khusus
Umum ke khusus
Dari kategori besarnya baru masuk ke kategori yang lebih spesifik.
Misalnya awalnya belajar tentang makhluk hidup vs benda mati, lalu hewan vs tumbuhan,
baru ke vertebrata vs invertebrata, kemudian ke penggolongan vertebrata
(mamalia, fish, amphibian, reptil, birds), lanjut ke yang lebih spesifik lagi seperti fly vs flightless birds.
Menyiapkan pembelajaran
selanjutnya
Alat-alat itu sebaiknya sudah terpikirkan dengan baik untuk menyiapkan
pembelajaran selanjutnya. Misalnya di area culture,
saat belajar nama-nama binatang, kartu gambarnya itu diberi kode warna sesuai
warna di globe Montessori. Ini akan memudahkan ketika nanti mereka belajar
geografi nama-nama benua. Ada pula yang tampaknya tidak nyambung padahal merupakan
batu pijakan. Kegiatan menyendok dan
menjepit itu adalah persiapan membaca dan menulis. Kok bisa? Menyendok
diajarkan dari kiri ke kanan, karena ketika kita baca tulis arahnya seperti itu
(kecuali ngaji ya hehe). Lalu ketika menjepit, otomatis posisi jari kita itu
seperti tripod grip, pegangan yang
benar saat memegang alat tulis.
Idealnya, belajar apapun memang selalu dimulai dari konkrit ke abstrak. Jadi misal mau ajari anak tentang buah-buahan. Awalnya pakai benda-benda nyata dulu (buah asli/ miniatur buah-buahan), baru kemudian mencocokkan antara benda konkrit dengan gambar (buah jeruk dengan gambar jeruk), lanjut ke mencari gambar-gambar buah jeruk (tanpa benda asli). Begitu pula dengan belajar baca da hitung. Kemarin saya terbengong-bengong waktu belajar area math karena benar-benar konkrit sekali. Jadi anak benar-benar bisa membandingkan bahwa 1 ribuan = 10 ratusan = 100 puluhan = 1000 satuan. Ga pernah kebayang untuk buat sekonkrit ini karena seribu kan banyak banget, dan emang banyak! Cuma Montessori menemukan caranya gimana supaya anak bisa dapat pemahaman secara konkrit.
Dari nyata/konkrit ke abstrak
Idealnya, belajar apapun memang selalu dimulai dari konkrit ke abstrak. Jadi misal mau ajari anak tentang buah-buahan. Awalnya pakai benda-benda nyata dulu (buah asli/ miniatur buah-buahan), baru kemudian mencocokkan antara benda konkrit dengan gambar (buah jeruk dengan gambar jeruk), lanjut ke mencari gambar-gambar buah jeruk (tanpa benda asli). Begitu pula dengan belajar baca da hitung. Kemarin saya terbengong-bengong waktu belajar area math karena benar-benar konkrit sekali. Jadi anak benar-benar bisa membandingkan bahwa 1 ribuan = 10 ratusan = 100 puluhan = 1000 satuan. Ga pernah kebayang untuk buat sekonkrit ini karena seribu kan banyak banget, dan emang banyak! Cuma Montessori menemukan caranya gimana supaya anak bisa dapat pemahaman secara konkrit.
Self-corrected
Alat-alat peraga Montessori didesain sehingga anak bisa menemukan
kesalahannya sendiri. Saat ia menggunakan tidak secara tepat sesuai contoh,
maka saat melakukan ricek pasti akan terlacak. Misalnya saat anak diminta untuk
mencocokan kartu gambar kotak dan kartu gambar rubah dengan kartu tulisan box dan kartu tulisan fox. Akan ada kartu ricek yang isinya kartu
gambar kotak bertuliskan box, dan
kartu gambar rubah bertuliskan fox. Anak
diminta untuk membandingkan hasil kerjanya dengan kartu ricek itu. Kalau anak ga
ngeh salahnya dimana, maka berarti ia belum paham konsepnya dan perlu dilakukan
presentasi ulang. Thoughtful sekali ya..
Waahhh…udah panjang sekali yaaa. Walau belum bisa share semuanya, tapi mudah-mudahan tulisan ini membuat lebih terbayang Montessori itu seperti apa. Yuk sama-sama belajar menerapkan prinsip-prinsip ini saat mengajak anak bermain dan belajar, terutama bagian kesabaran dan keyakinan! Hehehe.. semangat!! ^^
Waahhh…udah panjang sekali yaaa. Walau belum bisa share semuanya, tapi mudah-mudahan tulisan ini membuat lebih terbayang Montessori itu seperti apa. Yuk sama-sama belajar menerapkan prinsip-prinsip ini saat mengajak anak bermain dan belajar, terutama bagian kesabaran dan keyakinan! Hehehe.. semangat!! ^^