Wah..
sudah lama sekali saya bolos nulis blog, padahal di awal niatnya update seminggu sekali. Tapi di tengah
keribetan dateline proyek sebelum dan
sesudah Lebaran, keasyikan mudik, kerepotan urus rumah selagi nunggu art balik,
jadi lupa deh nulis @__@ Sekarang art sudah datang, proyek lagi kosong, dan jadwal
sudah kembali normal, mau coba untuk konsisten nulis lagi ya..
Post kali ini mau cerita soal psikotes. Waktu mudik
kemarin, saya ga sepenuhnya liburan. Adik sepupu ada yang minta di tes untuk
penentuan jurusan kuliah. Pas kumpul, beberapa saudara ada yang tanya-tanya
seputar psikotes, yang sebenarnya pertanyaan-pertanyaan ini lumayan sering
ditanya orang ke saya. Jadi kepikiran sekalian aja lah ya buat tulisan di blog.
Apa
sih psikotes itu?
Gampangnya sih psikotes itu serangkaian tes buat dapat
gambaran tentang aspek-aspek psikologis seseorang. Dari hasil psikotes, bisa
tampak profil dan dinamika dari orang yang di tes. Psikotes itu macam-macam
bentuk dan tujuannya. Ada yang administrasinya dilakuin secara individual dan
ada yang klasikal (massal); ada yang metodenya tertulis, tanya jawab lisan, pakai
gambar atau alat peraga; ada yang untuk anak-anak, remaja, atau dewasa; ada
yang tujuannya untuk lihat kematangan sekolah, seleksi akselerasi, seleksi
penerimaan murid baru, penjurusan pendidikan, seleksi karyawan, atau diagnosis
gangguan psikologis.
Apa
yang diukur di psikotes?
Hal yang diukur biasanya mencakup tiga dimensi ini:
inteligensi, sikap kerja, dan kepribadian.
1) Inteligensi
Kalau dengar istilah
psikotes, kebanyakan orang pasti terbayangnya tes inteligensi atau IQ. IQ itu
singkatan dari Inteligent Quotient, perbandingan
antara usia kronologis seseorang (chronological
age/ CA – usia berdasarkan tanggal lahir) dengan usia mentalnya (mental age / MA – usia berdasarkan
tingkat kemampuan). Rumusnya: [(MA:CA)x100]
Pernah dengar
orang bilang ’tua di umur doang,
mentalnya mah masih kayak anak-anak’? Nah sebenarnya lagi ngerujuk ke IQ
tuh. CA dan MA ini diukur pakai satuan bulan.
Misalnya nih ya:
Ada anak (sebut
saja XX) usia kronologisnya 7 tahun 1 bulan (CA = 85 bulan). Terus setelah
dites, ternyata kemampuan dia setara dengan anak usia 7 tahun 11 bulan (MA = 95
bulan). Berarti, IQ XX itu [(95:85) x 100] =
112 (dengan pembulatan).
Ada anak lain
(sebut saja YY) usia kronologisnya 13 tahun 9 bulan (CA = 165 bulan) dengan
kemampuan setara anak 12 tahun 7 bulan (MA = 151 bulan). Dengan cara hitung
yang sama, berarti IQ YY itu = 91.
Pertanyaan
lanjutannya, angka-angka 112 atau 91 ini apa artinya sih? Nah supaya ada
maknanya, skor itu kita plot dalam kategori. Semakin tinggi, semakin cerdas. Umumnya
pembagiannya seperti ini:
<90 Di Bawah Rata-rata
90-110 Rata-rata
111-119 Di Atas Rata-rata
120-128 Superior
>128 Sangat Superior
Kategori ini
tergantung juga sama alat tes yang dipakai. Alat tes IQ itu kan ga cuma ada satu
macam, sama lah kalau mau ukur suhu kan bisa dalam Celcius atau Fahrenheit,
ngukur panjang bisa dalam meter atau inchi. IQ juga bisa beda-beda alat
ukurnya, ada yang pakai skala Wechsler, TIKI, IST, dll. Jadi yang perlu dilihat
bukan hanya skor IQ, tapi juga kategori skor dan berdasarkan skala apanya.
Kebanyakan orang, begitu dapat hasil tes IQ, komennya seputar
’yah IQ gue cuma 97’ atau ’wow,
anak gue IQ nya 120 loh’. Padahal, pemeriksaan inteligensi yang benar itu
lebih dari sekedar untuk tau skor IQ. Inteligensi itu artinya keterampilan
berpikir, kemampuan adaptasi, kemampuan belajar dari pengalaman hidup
sehari-hari, dan kemampuan memecahkan masalah. Well, masalah atau persoalan itu kan macam-macam juga ya bentuknya,
makanya pemeriksaan inteligensi pun mengukur aspek-aspek yang lebih spesifik
lagi. Apa aja tuh? Biasanya sih yang pasti akan diukur itu kemampuan analisis-sintesis/
daya nalar, yang terkait sama bahasa, data non verbal (simbol, gambar, pola
bangun), dan angka. Daya ingat, pengetahuan umum, dan kreativitas juga sering
diukur. Untuk beberapa tujuan khusus, bisa ada penambahan aspek seperti koordinasi
visual motorik (biasanya untuk anak usia dini), orientasi ruang bidang (terkait
pemahaman arah, letak, dan bidang tiga dimensi), kemampuan keteknikan, atau
kemampuan administrasi. Jadi dalam suatu pemeriksaan inteligensi, bisa
beda-beda aspek yang diukur tergantung tujuan. Misal untuk seleksi pilot,
tentunya orientasi ruang bidang perlu di tes, sementara untuk rekrutmen jadi
teller bank, kemampuan administrasi lebih penting.
Karena pemeriksaan inteligensi itu mencakup kumpulan skor
dari aspek-aspek spesifik, bisa aja dua orang yang punya skor IQ total sama
(misalnya sama-sama 106/Rata-rata), tapi kemampuan di dalamnya beda-beda. Orang
pertama bisa jadi semua aspeknya di kategori cukup, tidak ada yang menonjol.
Sedangkan orang kedua bisa jadi menonjol di daya nalar non verbal, numerik, dan
orientasi ruang bidang, tapi jeblok di daya ingat dan kreativitas. Kombinasi
dari berbagai skor ini bisa banyaaakkkkk banget, dan ini yang buat
masing-masing orang jadi unik. Makanya ga bisa tuh psikolog buat prediksi atau
rekomendasi hanya dari skor IQ tunggal, tapi harus liat dinamika skor-skor
spesifiknya.
2)
Sikap
kerja
Kalau dimensi
inteligensi tadi lebih ke fungsi kognitif, dimensi sikap kerja ini lebih
terkait sama kerja seseorang. Biasanya aspek yang diukur meliputi kecepatan,
ketelitian, konsentrasi, daya tahan terhadap stress, dan ketekunan. Kenapa
sikap kerja penting juga diukur? Bayangin aja kalau ada orang yang pinteeerrr
banget, tapi sebentar-sebentar sakit dan kalau di bawah tekanan langsung ga
stabil performanya. Akan susah kan ya buat diandalkan. Contoh lain, misalnya
untuk seleksi siswa akselerasi, kira-kira mana yang akan dipilih di antara siswa
ini? Siswa RR, yang kecerdasan umumnya ’hanya’ Di Atas Rata-rata tapi ketelitian
dan konsentrasi oke, sangat tekun dan ga gampang nyerah kalau nemu kesulitan;
atau siswa TT, yang kecerdasannya Superior tapi cenderung remehin tugas, ceroboh,
mudah kedistraksi, dan daya tahan stressnya rendah?
3)
Kepribadian
Aspek-aspek yang diukur di dimensi
kepribadian ini seperti hasrat berprestasi, kepemimpinan, penyesuaian diri,
kebutuhan akan hubungan sosial, kebutuhan akan keteraturan, kematangan emosi,
dll. Lagi-lagi, aspek yang diukur bisa beda-beda tergantung tujuan tesnya. Kalau untuk tujuan penjurusan atau seleksi di sekolah
umum, mungkin mengukur hasrat berprestasi dan kematangan emosi aja sudah cukup.
Sementara kalau pemeriksaan psikologis karena rujukan terkait masalah perilaku/
emosi, asesmennya pasti lebih mendalam dan lebih banyak aspek kepribadian yang
diliat. Alasan kenapa dimensi kepribadian ini penting untuk diukur bisa
terbayang lah ya. Pasti ga mau kan kalau kita jadi bos di suatu institusi,
terus ternyata staff kita sama sekali ga bisa kerja tim karena orangnya keras
kepala dan ga mau terima kritik? Atau kalau ternyata dia cenderung agresif dan
manipulatif, jadi bisa aja manfaatin kecerdasannya untuk nge-gol-in kepentingan
dia?
4)
Minat
Bakat
Dimensi inteligensi, sikap kerja, dan
kepribadian biasanya selalu ada di tiap psikotes, walau aspek-aspek spesifik
yang diukur bisa banyak/ sedikit dan isinya bisa beda-beda. Sedangkan kalau tes minat bakat, biasanya dilakuin di
psikotes dengan tujuan penjurusan atau penempatan siswa. Minat bakat itu lebih
untuk mengetahui bidang apa sih yang sebenarnya kita sukai atau cocok dengan
bakat kita. Apa ke bidang yang teoretis dan berkutat sama kegiatan meneliti,
atau ke bidang yang memungkinkan kita kerja outdoor
dan menuntut koordinasi motorik, atau ke bidang yang berhubungan sama
komunikasi personal dan interaksi dengan orang lain, atau ke bidang seni yang
bergelut dengan ekspresi diri dan kerja tanpa aturan ketat, atau bidang
lainnya?
Antara minat,
kemampuan, kepribadian, dan sikap kerja bisa sejalan bisa tidak loh. Bisa jadi seseorang
punya kemampuan dan sikap kerja yang mendukung untuk jadi dokter, tapi minat
dan kepribadiannya justru cocok jadi jurnalis. Sebaliknya, ada siswa punya
cita-cita jadi arsitek dan bidang minatnya sudah sesuai (tergantung tes
minatnya pakai teori apa), eh tapi dia ga punya kemampuan prasyarat yang
mendukung: daya nalar non verbal, numerik, dan kreativitas kurang. Nah, jadi
tugas psikolog deh tuh, untuk menimbang seberapa besar keselerasan (atau
kesenjangan) antara faktor-faktor itu. Baru deh kasih rekomendasi jurusan yang
dianggap paling sesuai.
5)
Gaya
Belajar
Dimensi ini biasanya hanya jadi data tambahan
untuk psikotes di sekolah, bahkan seringkali tidak ikut di-assess. Gaya belajar itu lebih ke metode apa sih yang sebenarnya
paling efektif buat kita belajar (lebih cepat dan mudah paham). Ada orang tipe
visual (lebih gampang belajar kalau melihat, biasanya suka garis-garisin buku
dan buat mind map), tipe auditori
(bisa paham hanya dengan penjelasan lisan, biasanya kalau belajar suka ngomong
sendiri), atau tipe kinestetik (ngertinya kalau sambil praktek atau bergerak). Contoh sehari-hari kalau kita lagi mau belajar tentang
proses terjadinya hujan. Orang auditori cukup dengar cerita, orang visual perlu
liat gambar atau video, sementara orang kinestetik harus lewat gerak, misal dia
buat sendiri gambar tentang proses hujan atau dengan eksperimen buat hujan.
Kapan sih
kita harus psikotes?
Seperlunya aja. Kapan tuh? Ya kalau kita mau masuk
sekolah/ perusahaan/ lembaga tertentu yang proses seleksinya pakai psikotes.
Selama ini proyek yang paling sering saya kerjakan itu psikotes untuk keperluan
penerimaan siswa baru, penjurusan di SMA, rekomendasi jurusan kuliah, dan
seleksi akselerasi (maklum ga tertarik ikutan proyek perusahaan, beda minat
^^). Saat lain psikotes perlu itu kalau kita curiga adanya gangguan psikologis
atau keterlambatan tumbuh kembang, supaya bisa tau secara pasti ada masalah apa
dan bisa dibuat perencanaan intervensi yang tepat. Bisa juga psikotes untuk
lebih mengenal kelebihan dan kekurangan diri sendiri, karena bimbang buat
pilihan hidup . Tapi kalau hanya ingin sekedar tau aja padahal ga ada masalah
apa-apa, atau hanya ikut-ikutan tren, ga perlu lah psikotes. Apalagi untuk anak
usia dini. Usia yang memungkinkan
anak mengikuti psikotes secara optimal itu sekitar 4-5 tahun, ketika kemampuan
komunikasi anak sudah berkembang, bisa ngerti instruksi dan bisa diajak bicara
dua arah. Sebisa mungkin, psikotes anak usia ≤8tahun dilakuin secara
individual.
Hasil
psikotes bisa berubah?
Yup, hasil psikotes bisa berubah dari waktu ke waktu.
Loh, kok bisa? Terus apa hasilnya jadinya bisa dipercaya? Yuk kita bahas.
Jadi ya nih, hasil psikotes itu kan potret gambaran diri
kita saat tes. Artinya, hasil itu bisa optimal bisa tidak.
Faktor yang bisa buat psikotes ga optimal, antara lain:
þ Kondisi individu:
lagi sakit atau tidak, lagi mood/ termotivasi
atau tidak, lagi banyak pikiran yang menganggu konsentrasi atau tidak.
þ Faktor
situasional: tempat tes berisik
atau tidak (pengaruh ke seberapa jelas/ tepat peserta tes memahami instruksi);
tes individual/ klasikal (ada orang yang ga nyaman kalau tes sendirian-karena
berasa diliat banget sama tester, sementara orang yang lain justru cemas kalau
tes massal-misalnya gara-gara liat orang di sebelahnya selesai lebih cepat dari
dia)
þ Kesalahan
administrasi: tester yang salah
kasih instruksi, atau salah kasih batas waktu (which is ngaruh ke seberapa banyak soal yang bisa dikerjain, jadi
pasti ngaruh juga ke skor). Kalau faktor ini harusnya sih tidak terjadi, dan
murni tanggung jawab psikolog/ penyelenggara tes misal sampai kejadian. Akan
ketauan juga kok mana nilai yang jeblok karena memang faktor personal peserta,
dan mana yang karena kesalahan prosedural (biasanya yang kedua ini nilai semua
peserta jelek).
Kalau pun saat tes asumsinya kita sudah optimal, hasil
tes bisa juga berbeda karena hal-hal berikut:
þ
Alat tes beda: untuk ngukur satu aspek aja (contoh: nalar verbal), ada beberapa pilihan
alat tes. Jadi buat keseluruhan psikotes, variasi tesnya bisa banyak banget,
dan belum tentu sama dari psikolog ke psikolog lain. Makanya bisa jadi hasilnya
beda. Tapi... balik lagi ke yang tadi saya bilang: walaupun bisa beda,
seharusnya kategorinya sama. Kalau memang optimal pengerjaan tesnya, sulit rasanya nilai naik turun dengan sangat
fluktuatif. Misal pertama di tes IQ Rata-rata, terus berikutnya jadi Superior.
Perbedaan skor sih bisa aja, tapi umumnya tetap kategorinya (naik dari 98 ke
107, tapi masih sama-sama Rata-rata).
þ
Norma beda: sempet
dijelasin di awal, kalau IQ itu hasil bagi antara usia mental dan usia
kronologis, dan usia mental itu kaitannya sama perbandingan kemampuan seseorang
dengan anak sebayanya. Nah, pemilihan
kelompok pembanding ini, kalau ga tepat, bisa ngaruh ke hasil. Bayangin kita
dapat skor daya ingat 7. Kalau dibandingin sama kelompok yang terdiri dari
berbagai rentang kemampuan, 7 itu termasuk rata-rata). Tapi misal dibandingin
sama kelompok anak berbakat yang semuanya punya kemampuan tinggi, skor 7 itu
akan jadi ’di bawah rata-rata’. Urusan pemilihan norma ini tanggung jawab
psikolog / penyelenggara tes, jadi ga usah dipusingin ya ^^
þ
Efek belajar: manusia itu kan makhluk pembelajar, jadi kalau kita pernah ikut psikotes
beberapa kali, sadar ga sadar pasti ada efek belajar. Kita jadi lebih cepat
paham instruksi, tau apa yang mesti dikerjakan, nemu cara/ metode ngerjain yang
lebih efektif, dll. Efek belajar sih biasanya buat hasil jadi naik, bukan
turun.
þ Perubahan
individual: again, manusia
itu ga lepas dari pengalaman hidup. Mungkin aja, hasil tes
berubah karena memang orangnya yang sudah berubah. Tadinya riang dan supel,
tapi karena suatu musibah jadi labil secara emosi; tadinya sangat ga teratur
cara kerjanya, tapi terus jadi disiplin karena sekolah di asrama; tadinya jelek
banget kemampuan numerik tapi meningkat karena usaha ikut les; dll.
Walau
ada berbagai faktor yang bisa pengaruh ke hasil psikotes, secara umum hasil psikotes
ini masih bisa dipercaya, dengan catatan psikolognya kompeten dan biro psikologinya ga abal-abal. Laporan
psikotes yang baik itu juga perlu ada keterangan skala IQ yang dipakai, ada
uraian (bukan hanya skor-skor), dan tertera tanggal tesnya kapan. Jadi kalau
ada yang janggal, bisa diricek.
Apa yang harus disiapkan kalau mau
psikotes? Perlu latihan?
”Ri..
kasih bocoran dong.. gw harus belajar apaan nih besok buat psikotes?”
”Ri..
itu yang disuruh gambar orang, sama yang kotak-kotak, harusnya gambar yang
bagus yang kayak apa sih? Gw ga
jago gambar nih!”
“Ri..itu yang pertanyaan banyak banget
disuruh pilih a atau b, buat ngukur apaan sih? Ada yang pilihannya bukan gw
banget dua-duanya. Gimana dong itu?”
Hahaha... bukan sekali dua kali nih saya ditanyain
begini, dimintain ’tips orang dalam’ supaya lebih smooth psikotesnya. Saya yakin teman-teman psikolog saya juga pasti
sering ditanya gini.
Jawabannya?
Ga perlu latihan apa-apa kok. Kalau terlalu pusing tanya
sana sini atau sibuk cari buku latihan psikotes, malah buat jadi cemas lho.
Lagian belum tentu kan ala tes yang dipakai sama. Nanti mikir ’loh kok beda sama yang latian? Hmm..ini
harus ikutin yang mana ya?’ malah
jadi bingung sendiri deh.
Intinya, kalau mau psikotes, yang harus disiapin itu cuma
stamina. Biasanya psikotes itu makan waktu sekitar 2.5-4 jam, tergantung seberapa
lengkap pemeriksaan psikologisnya. Pastiin sudah cukup makan dan cukup tidur
sebelum psikotes, supaya fresh dan
ada energi. Kalau memang badan lagi kurang sehat, sebisa mungkin ditunda aja
daripada hasilnya ga optimal.
Be
yourself! Tujuan psikotes kan motret gambaran/ citra diri, jadi ya
paling bener kalau dikerjain secara apa adanya, ga dibuat-buat agar terlihat
baik atau menjadi orang yang kita pikir diharapkan orang lain dari kita. Sama
lah kalau ujian kita nyontek.. hasilnya sih baik, tapi sampai berapa lama kita
bisa ’bohongi’ orang lain dengan ’kepintaran’ kita, kalau memang sebenarnya
kita ga mampu? Dengan kita jujur pas psikotes, justru kita jadi tau apa yang
jadi kelebihan dan kekurangan kita, kebutuhan-kebutuhan apa yang ada di dalam
diri kita yang mungkin ga kita sadari sebelumnya..and then we can do something about it. To
develop ourselves, to be the better version of ourselves, to open our minds in
looking for other paths that may be more suitable with our inner potentials.
Kalau kita ga jujur (faking), bisa jadi hasilnya justru ga konsisten dan ga bisa diinterpretasi. Bocoran nih, ada tes yang memasang ‘pertanyaan jebakan’ untuk cek konsistensi. Ada juga tes yang memang sudah didesain sedemikian rupa, sehingga akan keliatan tuh yang coba-coba manipulasi. Kalau ketauan, malah jadi keliatan negatif deh kepribadian kita. Ga mau kan kalau sampai gitu?
”Tapi ri... kok gue udah dua kali psikotes ga lolos
mulu? Apa karena gw ga bisa gambar ya?”
Haduuu.. psikotes ga ada hubungannya kok sama kemampuan
gambar. Belum
tentu yang gambarnya bagus artinya bagus, yang diliat bukan itu kok.
“Jadi yang diliat apa ri? Kenapa
ada yang sampai ga lolos psikotes?”
Nah,
saya ga bisa jawab detail apa yang sebenarnya diliat dari tes gambar, tapi
kepribadian lah intinya. Bisa keliatan kepercayaan dirinya, kecenderungan
agresivitasnya, vitalitas energinya, dan aspek kepribadian lainnya… Kalau ada yang penasaran banget, yuk kuliah psikologi aja
hahaha…
Kalau soal yang ga lolos itu, bisa jadi karena alasan-alasan ini:
1)
profil ga sesuai: mungkin, profil kita memang ga cocok dengan yang diminta
oleh klien (yang nyewa jasa psikolog). Contoh nih, yang diminta itu orang yang daya
nalar non verbal baik, kreatif, fleksibel, suka kerja tim, ekstrovert, dan bisa kerja cepat. Sementara hasil tes nunjukin
kalau kemampuan yang oke justru di daya nalar verbal, dan orangnya justru tipe
yang ga kreatif, susah kerja kalau ga ada prosedur jelas, lebih suka kerja
sendiri, introvert, dan ga suka kerja
diburu-buru waktu. Kalau beda profil gini, wajar aja kan kalau ga ’lolos’
psikotes. Bukan berarti profilnya jelek loh, cuma bukan the right man in the right place yang dicari. Hal ini juga yang jadi alasan kenapa para psikolog nyaranin ga usah latian dan ga bisa kasih bocoran gimana cara kerjain tes kepribadian yang 'benar'. Kita kan ga tau karakter seperti apa yang sedang dicari. Lagipula, psikotes itu tidak pernah tentang benar atau salah, tapi upaya menangkap citra diri seseorang secara utuh.
2) belum sesuai standar minimal. Kalau untuk keperluan seleksi, biasanya ada standar
minimal yang didiskusikan dengan klien. Psikolog nantinya cuma memetakan apakah
orang yang di tes itu masuk kategori ’disarankan’ (85-100% sesuai standar), ’dipertimbangkan’
(70-85%), ’kurang disarankan’ (60-70%) atau ’belum disarankan’ (<60%). Misalnya yang dicari itu yang daya nalar
verbal, daya ingat, dan kemampuan administrasi minimal baik, daya nalar non
verbal dan numerik minimal cukup. Ternyata dari hasil psikotes, sebagian besar
kemampuan di kategori cukup, tidak ada yang kategori baik, dan bahkan ada aspek
yang tergolong kurang. Ya jadinya ga lolos deh.
3) kalah saing.
Kemungkinan lain, bisa jadi profil
kita sudah sesuai dan kita pun capai standar minimal...eh tapi masih ga lolos
juga! Nah kalau ini namanya kurang beruntung.. bisa jadi nih, peserta lain yang
ikut psikotes (untuk tujuan seleksi yang sama), ternyata kemampuannya di atas
kita. Ambil contoh di pointers sebelumnya ya. Profil kita sudah sesuai semua
dengan standar minimal yang ditentuin, tapi ternyata ada peserta lain justru melampaui
standar minimal itu. Aspek-aspek kemampuan, sikap kerja, dan kepribadiannya
semua di kategori baik dan tinggi. Wajar dong ya kalau peserta lain itu yang
akhirnya terpilih.
Untuk saat ini, sekian dulu ya yang saya bisa sharing
soal psikotes. Semoga makin terbayang dan jelas. Kalau ada yang masih mau
tanya-tanya lagi monggo.... yang mau buat janji untuk psikotes juga boleh
(hehe, sekalian cari proyekan boleh lah yaaa! #usaha)
ini terjadi dengan saya... IQ masuk diatas rata-rata.. tetapi hasil belum disarankan (kuadran III) krn kurang sifat customer oriented.. hiks berarti belum rejeki... T_T
ReplyDeleteIQ gue cuma 128 tapi kenapa iq gue gk naik baik asu padahal gue udah latihan ahhhhhhh
ReplyDeletePengen tes iq tapi mahal
ReplyDeletesigit prayogo