Thursday, July 17, 2014

Greatest letter ever sent home from school


Ada teman post surat ini di FB, dan saya langsung jatuh cinta sama Barrowford Primary School :D Berharap nanti bisa nemu sekolah macam ini buat Ara (khayalnya sih punya sekolah sendiri haha). Dari surat ini kelihatan banget kalau sekolahnya menghargai keunikan tiap siswanya, dan benar-benar memupuk kesadaran siswa dan orang tua bahwa nilai itu bukan segalanya, bahwa hasil tes itu hanya mencerminkan sekelumit diri anak. Baru kali ini saya lihat sekolah memikirkan sampai sejauh ini efek laporan hasil tes (semacam ujian nasional ya tampaknya) dan akhirnya terdorong untuk membuat surat ini. 




Biasanya, apalagi lagi masa-masa kenaikan tingkat dan ujian sekolah, pertanyaan paling sering ditanya ke anak/ orang tua mungkin "dapat rangking berapa di sekolah? gimana nilainya bagus ga?" Kadang saya pun nanya ini ke anak teman, ponakan, atau sepupu saya yang lebih muda. Tampaknya pertanyaan biasa saja ya, hanya basa-basi, tapi kemudian diingatkan oleh tulisan Pati Frozeto Sesapian, kakak dari  seorang teman saya, bahwa pertanyaan ini bisa masuk kategori 'caution' alias hati-hati dampak negatif. Iya kalau yang ditanya dapat rangking yang bagus, mereka bisa jawab dengan semangat dan ceria, kita yang nanya pun dapat berespon dengan mudah "wah hebat! pintar ya.. terus rajin belajar ya".  Tapi misal mereka jawab "aku ga dapat rangking tante, aku kan ga pintar" nah loh! Salah tingkah deh yang ada. Mau basa basi malah salah-salah kita buat anak orang jadi rendah diri, padahal kita nemenin belajar atau bantu buat tugasnya juga ga tuh hehe... Bayangin deh kalau tiap hari mereka ketemu banyak orang yang nanya ini, konsep diri mereka jadi bagaimana ya? Akan wajar pula jadinya jika mereka mikir bahwa nilai itu yang terpenting, bahwa nilai itu yang buat kita diperhatikan dan dapat pujian, karena budaya di sekitarnya menekankan itu.  

Ada satu konsep menarik yang dibilang sama Pati, tentang pedang yang tajam dan gagang yang kokoh. Katanya "Ibarat sebuah pedang, umumnya orang-orang Indonesia dalam mendidik anaknya cenderung pada mengasah mata pedangnya agar menjadi lebih tajam…dan tajam. Pokoknya, yang penting tajam! Tapi mereka lupa..bahwa sebuah pedang yang tajam, membutuhkan gagang  yang kokoh. Percuma bila memiliki pedang  yang tajam tapi akhirnya pedang itu melukai orang lain bahkan melukai dirinya sendiri."  


Yang saya tangkap dari tulisan Pati, pedang tajam tanpa gagang kokoh itu ibarat orang yang punya kecerdasan tinggi tapi karakter dan sikapnya tidak dibangun secara positif. Jadi terus yang ada, orang itu bisa (1) manfaatin kelebihan yang dia punya untuk manipulasi situasi dan orang lain supaya meng-gol-kan apa yang ia mau a.k.a tujuan menghalalkan segala cara (lihat aja tuh kasus korupsi merajalela, pemalsuan sertifikat pendidikan, mahasiswa plagiat, dll), bisa juga (2) menyimpan semua kepintaran untuk dirinya sendiri, sangat takut buat bagi-bagi ilmu karena takut tersaingi..padahal memang bisa kita ngelakuin semua sendiri? 

Tulisan ini buat saya berpikir juga, selama ini saya kira saya sudah tidak lagi terjebak dalam pemikiran nilai itu segalanya. Nyatanya, dengan pertanyaan "rangking berapa?" yang saya tanyakan itu, saya masih ikutan mereka-mereka yang 'mengasah mata pedang tanpa mengokohkan gagangnya'. Well, I should've known better right, with my educational and psychology background?  

Apalagiii.. saya pun mengalami sendiri bahwa nilai tinggi, rangking, dan gelar cum laude itu nantinya bukan hal luar biasa di dunia nyata. Memang sih membuka peluang, tapi bukan segalanya. Bisa dibilang, saya ini termasuk orang yang dapat cap 'pintar' dari teman-teman, karena dari SD sampai kuliah memang hampir selalu dapat rangking. Tapi kalau lihat sekarang, banyak teman-teman yang sukses dan punya prestasi nyata adalah mereka yang dulu terbilang 'biasa-biasa' saja di sekolah. Kenapa biasa-biasa saja? Ya karena ukuran 'pintar' dan 'prestasi' di (kebanyakan) sekolah adalah nilai dan rangking. Bukan kreativitas yang menginsiprasi desain atau ide bisnis atau tulisan, bukan kepedulian yang mendorong jadi relawan ke daerah bencana, bukan keterampilan main alat musik atau olahraga, bukan ketelatenan merawat binatang atau tanaman, bukan keingintahuan yang buat siswa ingin travelling atau mempertanyakan statusquo. Teman saya yang 'biasa-biasa' ini, ternyata sekarang banyak yang lebih bersinar, tentu di bidangnya masing-masing.  

Pertanyaan 'rangking berapa?' atau 'dapat nilai berapa?' juga menyiratkan kalau kita tuh cuma peduli sama hasil akhir, tanpa lihat prosesnya. Secara terus-terusan, motivasi anak belajar nantinya 'cuma' untuk dapat nilai yang tinggi dan terlihat pintar (performace goal oriented), bukan untuk mengasah keterampilan dan mengembangkan diri (mastery goal oriented). Outputnya nanti cuma anak yang pintar hapal, tapi bingung cara aplikasi ilmunya dan bingung kalau harus cari solusi masalah dunia nyata. Ah saya jadi teringat film Three Idiots <buat yang belum nonton, wajib nonton! Salah satu film pendidikan favorit saya sepanjang masa selain Ron Clarks' Story>. Di film itu, keliatan banget bedanya kesuksesan orang yang orientasinya 'penguasaan' vs 'penampilan'.

Nah terus kalau ga boleh nanya rangking, bolehnya nanya apa? Ya tanya aja soal pelajaran favoritnya, cita-citanya, teman-temannya, ekskulnya, gurunya, hobinya, aktivitas liburannya, permainan yang disukai, dll. 

Masih seputar apa arti 'pintar'. Pernah dengar Erica Goldson? Ia adalah lulusan terbaik (valedictorian) di Coxsackie-Athens High School tahun 2010, yang pidatonya 'mengguncang' semua yang hadir dan lalu menjadi viral di media lantaran dia bilang bahwa menjadi lulusan terbaik itu sama dengan menjadi 'budak' terbaik. Ini kutipannya:
       
"I am graduating. I should look at this as a positive experience, especially being at the top of my class. However, in retrospect, I cannot say that I am any more intelligent than my peers. I can attest that I am only the best at doing what I am told and working the system. Yet, here I stand, and I am supposed to be proud that I have completed this period of indoctrination. I will leave in the fall to go on to the next phase expected of me, in order to receive a paper document that certifies that I am capable of work. But I contest that I am a human being, a thinker, an adventurer – not a worker. A worker is someone who is trapped within repetition – a slave of the system set up before him. But now, I have successfully shown that I was the best slave. I did what I was told to the extreme. While others sat in class and doodled to later become great artists, I sat in class to take notes and become a great test-taker. While others would come to class without their homework done because they were reading about an interest of theirs, I never missed an assignment. While others were creating music and writing lyrics, I decided to do extra credit, even though I never needed it. So, I wonder, why did I even want this position? Sure, I earned it, but what will come of it? When I leave educational institutionalism, will I be successful or forever lost? I have no clue about what I want to do with my life; I have no interests because I saw every subject of study as work, and I excelled at every subject just for the purpose of excelling, not learning. And quite frankly, now I'm scared." 

Dahsyat banget ya... pidato lengkapnya bisa dibaca disini. 
http://americaviaerica.blogspot.com/2010/07/coxsackie-athens-valedictorian-speech.html

Pernyataan Erica itu mirip komentar om saya. Dia bilang, "kalau mahasiswa pintar, lulus dengan IP tinggi, biasanya gampang dapat kerja dan cepat dipromosiin, jadi karyawan sukses dan punya jabatan tinggi di perusahaan. Tapi mahasiswa 'goblog', karena ditolak kerja dimana-mana, malah harus kreatif cari solusi dan akhirnya bangun bisnis sendiri, akhirnya justru jadi lebih sukses dan jadi bos nya si mahasiswa-mahasiswa pinter tadi!"  

Apa yang dibilang sama om saya itu akan terdengar miris, kalau kita masih terpatok sama pemikiran gaya lama soal apa arti pintar. Padahal seperti yang tertulis di akhir surat dari Barrowford School itu "remember that there are many ways of being smart"  atau yang dikenal luas dengan istilah multiple intelligence (kecerdasan majemuk).


Howard Gardner yang mencetuskan teori ini berhasil membuka paradigma baru tentang apa arti kecerdasan, yang rasa-rasanya membuat banyak orang tua dan anak lega "oh ternyata (anak) saya juga pintar loh!" Jangan sampai anak-anak kita sepanjang tumbuh kembangnya merasa bahwa ia tidak berharga karena tidak 'pintar', seperti kata gambar di atas itu.

8 tipe kecerdasan menurut Howard Gardner:

Link Kecerdasan musikal
Link Kecerdasan visual spasial
Link Kecerdasan linguistik
Link Kecerdasan logika matematis
Link Kecerdasan kinestetik
Link Kecerdasan interpersonal
Link Kecerdasan intrapersonal
Link Kecerdasan naturalistik

Penjelasan soal kecerdasan majemuk ini terlalu panjang kalau saya tulis di sini, jadi langsung klik dan baca sendiri aja oke? :) Link itu menurut saya bagus banget, karena untuk tiap tipe kecerdasan dijelasin apa arti dan ciri-cirinya, aktivitas dan material/ mainan yang cocok untuk ngasahnya, dan gimana cara manfaatin tiap kecerdasan itu di proses belajar.

Intinya sih, tiap anak punya potensi setiap kecerdasan, namun dalam jumlah dan tingkat yang berbeda-beda. Kombinasi kedelapan kecerdasan inilah yang buat anak unik. PR buat orang tua, kita harus usaha buat cari tahu kecerdasan dominan anak tuh yang mana. Kenapa? Karena anak bisa, dan akan, belajar lebih mudah dan lebih cepat, kalau diajarkan dengan cara yang memang sesuai diri mereka. Kecerdasan majemuk ini bisa kita anggap seperti gaya belajar, media untuk anak belajar berbagai hal (dari konsep dasar di usia dini sampai nanti belajar matematika, biologi, geografi, dll secara formal di sekolah).

Contoh, Ara tipe kinestetik dan musikal, jadi kalau mau ngajarin Ara tentang anggota tubuh, akan lebih efektif pakai gerakan dan lagu "kepala...pundak lutut kaki lutut kaki" atau "dua mata saya..hidung saya satu..."  daripada cuma lihat dan tunjuk-tunjuk gambar yang untuk anak visual spasial sudah cukup. Contoh lain, mau ngajarin konsep jauh-dekat. Buat anak yang dominan linguistik, kalimat penjelasan "dekat itu kalau jaraknya bisa ditempuh cepat, jauh itu kalau kita butuh waktu lama untuk sampai ke sana" bisa jadi sudah cukup untuk buat dia paham. Tapi untuk anak kinestetik, akan lebih mudah kalau dia diajak ikutan gerak. Dekat itu waktu dia diajak jalan dari rumah ke ujung jalan, jauh itu waktu dia diajak jalan dari rumah ke taman.

Berhubung Ara masih kecil, saya belum terlalu mau melabel dia secara saklek bahwa dia itu dominan di kecerdasan tertentu. Walau dari observasi sehari-hari sudah mulai keliatan, tapi fokus saya masih lebih pada stimulasi semua tipe kecerdasan ini melalui kegiatan yang variatif.

So let's keep in mind what Gardner says....
"It's not how smart you are, it's how you are smart."

















No comments:

Post a Comment