“Ra..cobain deh ini enak,susu kedelai..”
“ GA MAU!” (–sambil
malingin mukanya–)
“Ra..ini sapinya masukinnya kemana ya? Coba
cari yang bentuknya sama.”
”GA MAU!
Mama aja..” (–sambil kasih mainannya
ke saya–)
”Wah
berhasil masukin satu kaki ke celana. Sekarang kaki yang kiri masukin juga.”
”GA MAU!”
(–malah lepas celananya–)
“Hmmm…bau-bau
apa nih ya. Ara
pup ya? Cebok yuk..”
”GA MAU!” (–malah ngeloyor pergi–)
”Ra..dah
malam nih. Ngantuk mamanya. Ayo sikat gigi terus bobo.”
”GA MAU! Ara mau main!” (–tetap
asyik main boneka binatang–)
------------------------------------------------------------------------------------------
Familiar?
Sehari
mungkin bisa ada puluhan versi percapakan kayak di atas, yang direspon sama Ara
dengan satu jawaban ” GA MAU” itu. Siapapun yang punya anak/ponakan/adik usia toddler/preschooler, atau kerja di PAUD/ daycare, pasti deh alami hal yang sama,
iya kan? *cari temen*. ’Ga mau!’ atau
’No no no’ itu memang lagi jadi kata
favorit ya kayaknya…
Di
post kali ini saya mau sharing soal
gimana supaya anak jadi lebih nurut, dari
dua
referensi ini: kultwit ’Suruh vs Nurut’
oleh @AnnaSurtiNina dan buku ‘From
No to Yes without Bribing or Threatening’
oleh Jerry Wyckoff & Barbara Unell.
Kenapa sih toddler/preschooler suka
banget bilang ‘Tidak’?
Well..mereka itu masih self-centered,
mau lakuin apa yang mereka mau saja dan kapanpun mereka maunya. Itu fase
perkembangan yang memang jadi salah satu ciri utama toddler/preschooler (selanjutnya pakai kata istilah batita/balita
aja yah, lebih gampang :D). Jadi nih, kalau ada balita/batita yang
malah nurut-nurut aja, justru harus agak
curiga. Kita juga jangan terlalu senang kalau anak nurut banget, nanti kalau
sudah besar malah jadi bingung lho, karena mereka cenderung ga punya pendapat
sendiri, mudah dipengaruhi dan diintimidasi, gampang terbawa arus, bergantung sama orang lain, dan kurang asertif.
Batita/ balita butuh konsistensi dan hal-hal yang bisa
mereka prediksi. Makanya mereka suka bilang tidak: untuk menghindar. Menghindari dari apa? Dari hal-hal yang
mereka ga tau, dari perubahan, dari kegagalan, dan dari hilangnya kontrol. Bener
banget nih. Si Ara juga gitu tuh. Kalau lagi ditanya sesuatu atau diminta coba
mainan yang dia belum tau, pasti langsung nolak.
Batita/ balita belum bisa mikir jangka panjang dan belum
punya sense waktu. Jadi seringnya
mereka ga ngerti alasan dibalik request/
suruhan orang tua. Kenapa sih harus pakai
baju, kan panas? Kenapa sih ke daycare, kan aku maunya main sama mama? Kenapa
sih harus salim, kan aku ga kenal sama orang itu? De el el. Balita juga belum punya sense waktu. Walau kita lagi buru-buru karena sudah telat mau ada
rapat dan minta tolong mereka siap-siap, mereka masih dengan santainya
menggambar dan mewarnai.
Orang tua juga bisa loh jadi penyebab anak suka bilang
tidak? Hah.. kok bisa? Yup. Kalau kita sering cuekin anak pas mereka lagi jadi
‘anak manis’, tapi cerewet banget pas mereka lagi ga bisa behave, anak dengan cepat belajar bahwa cara mudah dapat perhatian
orang itu adalah dengan ’ga nurut’. For
some kids, negative attention is better than no attention at all.
Baru aja kejadian nih. Ara lagi main-main sendiri,
sementara saya sibuk ngetik dan diskusi sama suami tanpa libatin Ara. Beberapa
kali Ara manggil ”ma, ayuk main..”
atau ”papa ngapain? Sini pa.. ” tapi
tanggapan kita cuma komen singkat ”ntar
dulu” atau bahkan ga ngerespon ocehan Ara. Ga berapa lama Ara bilang ”ma, pipis..” Saya langsung samperin dia (lagi ga pakai
popok soalnya dan dia di atas kasur). Pas dicek ternyata ga pipis. Balik kerja
lagi, Ara bilang lagi ”pup..pup..”. Saya
langsung gendong dia mau ke kamar mandi, eh pas dicek lagi ternyata ga pup. Hmmmm...
jadi mikir, apa iya si Ara sengaja ya? Biasanya memang kalau dia bilang pup
atau pipis, saya akan secepat mungkin nyamperin dia. Exactly what she wants. Ada lagi ulah lain si Ara di waktu-waktu
lalu – yang kejadiannya mirip-mirip cerita barusan itu – misalnya pencet-pencet
dispenser atau coba-coba masukin tangan ke colokan listrik. Entah sengaja untuk
narik perhatian atau memang cuma sekedar ingin tahu, who knows?
Kenapa sih ada anak yang gampang nurut
ada yang ga?
Hmmm..
coba cek dulu poin-poin ini kalau ngerasa anak kita susaaah banget nurut
padahal sudah disuruh berkali-kali dan stok kesabaran mulai terancam habis :D
þ Anaknya
umur berapa? Sesuaiin ekspektasi sama umur anak. Anak <1 tahun
seringkali belum paham instruksi kita karena keterbatasan bahasa, usia 1-3
tahun memang lagi fase ’pembangkangan’ jadi ya mesti sabar-sabar, 3-6 tahun
lebih nurut tapi punya cara sendiri untuk nyelesaiin masalah, 6-12 tahun
cenderung lebih nurut sama idola dan guru, sementara remaja lebih nurut sama
apa kata teman teman.
þ Seberapa
jauh jarak antara ortu-anak? Kalau nyuruh
dari jarak jauh, kemungkinannya lebih besar si anak ga dengar instruksi kita,
dan kita jadi cenderung ninggiin suara yang trus malah buat anak jadi bete.
Kalau jauh, bisa jadi ortu ga sadar kalau perhatian anak lagi ke hal lain.
Kalau jauh, kesempatan kita untuk sentuh/gandeng/ tatap mata setinggi anak jadi
berkurang, padahal itu sebenarnya cara yang kongkrit dan efektif. Bener lho,
sering banget Ara bilang ga mau kalau disuruh salim sama orang, tapi kalau saya
pegang tangannya dan ulurin ke arah orangnya dia mau-mau aja.
þ Timing-nya pas ga? Kalau kita nyuruh sesuatu, liat-liat juga kondisi anaknya
lagi gimana / anaknya lagi apa. Kalau lagi cape atau baru bangun tidur, kasih
waktu buat istirahat atau kumpulin nyawa dulu. Kasih waktu juga buat anak cerna
apa yang kita suruh, jangan buru-buru marah. Kalau anak lagi asyik main, jangan
juga langsung disuruh lakuin kegiatan lain. What important for us is not always important for them, try to see
from their point of view. Misal
anak lagi fokus main lego / boneka terus kita suruh stop untuk mandi tanpa
kasih waktu transisi, ya wajar dong kalau anak nolak? Lagipula itu malah bisa buat konsentrasi anak buyar,
padahal kita maunya anak belajar konsen kan?
þ Minat
anaknya gimana? Sama kayak orang
dewasa, pastinya kita males ya kalau disuruh lakuin sesuatu yang ga kita suka?
Yang ada kita lama-lamain, tunda-tunda, atau kalau bisa ngeles dan kabur. Anak
yang ga suka air mungkin males banget mandi, tapi ya bukan berarti kita cuma
boleh nyuruh hal yang diminati anak doang. Mereka juga perlu belajar kok untuk
adaptasi dengan beragam tuntutan lingkungan.
þ Yakin
anaknya mampu? Kalau nyuruh sesuatu,
harus pastiin anaknya memang sudah bisa lakuin. Misal kita suruh gosok gigi
atau pakai baju sendiri tapi belum pernah ajarin mereka caranya, ya ga bakal
berhasil. Perhatiin juga seberapa besar kemampuan anak ikuti instruksi, apa
anaknya mudah kedistraksi atau ga. Mulai dari satu instruksi dulu (’ayo gosok gigi’), baru gabung dua-tiga
instruksi (gosok gigi, ganti piyama,
terus matiin lampu ya).
þ Ekspresi &
bahasa tubuh ortu seperti apa? Kalau ortu
nyuruhnya sambil marah-marah, anak sebetulnya ga suka (ya iyalah..). Kalaupun
nurut, mungkin lebih karena takut, tidak berdaya, atau terpaksa karena ga punya
pilihan. Dampaknya? Anak cuma nurut kalau ortu marah, padahal kan maunya karena
mereka sadar ya.
þ Ortu pakai
kata positif atau negatif? Pengunaan
kata / instruksi positif lebih disaranin karena lebih tepat sasaran. Misal kita
bilang ”jangan lompat-lompat di kasur!”
, ini lebih multi-interpretasi. Anak
mungkin mikir ”oh bolehnya lompat-lompat
di sofa/tangga” atau ”kalau gitu aku
coret-coret kasur aja deh”. Bingung
kan kalau gitu hehehe.. Jadi lebih baik langsung aja bilang maunya gimana ”kalau lompat-lompat di trampolin atau di
lantai, hati-hati ya”. Boleh sih pakai
kata jangan, tapi jangan harap anak langsung paham. Ini masalah kebiasaan aja kok. Mungkin kita
memang lebih refleks bilang ”jangan lari”
daripada ”jalan pelan-pelan” , ”jangan rebutan!” daripada ”mainin mainannya tunggu giliran ya” .
þ Apa ortu sudah jadi model yang baik? Saya belum
bisa nih jadi model yang oke dan konsisten.
Minta Ara makan sambil duduk, tapi saya
pernah juga beli es krim di mall trus dimakan sambil jalan. Sehari-hari sering
banget saya makan sambil baca buku / nonton televisi, padahal saya mau dia
makan tanpa main atau nonton. Saya nyuruh dia beresin mainan, tapi kadang saya juga lupa rapih-rapih pas selesai kerja.
Dududududu.... *toyor kepala sendiri*
þ Apa ada reward
yang memotivasi anak? Reward terutama dibutuhkan anak batita/balita, untuk penghargaan
terhadap perilaku nurut mereka. Apresiasi akan buat senang, dan kalau senang
mereka cenderung mau ulangi lagi. Sebisa mungkin, reward-nya lebih ke tepuk tangan, pujian, aktivitas, atau
kebersamaan dengan ortu aja, supaya anak ga ’banci kado’. Kalau pun mau reward yang sifatnya lebih tangible, bisa pakai sistem token
–misalnya kasih stiker untuk tiap perilaku baik dan nanti setelah jumlah
tertentu stikernya bisa ditukar barang–. Ini bisa melatih anak untuk
perlahan nunda kepuasan (delay
gratification).
þ Gimana kedekatan
ortu dengan anak? Nah poin ini penting banget nih. Kita pasti lebih mau nurut sama orang yang punya hubungan
positif dan dekat dengan kita kan? Anak juga gitu. Kalau kita mesra sama anak,
pasti dia juga mau kok buat kita senang.
Jadi harus gimana dong biar anak mau nurut?
Hmmm…Kalau anak ga mau nurut itu
memang jadi uji kesabaran banget ya buat ortu. Sayangnya, seringkali kita
terjebak untuk lakuin hal-hal yang justru counter-productive,
misalnya:
v
Nagging (Berapa kali sih harus dikasih tau? Haduh
kamu ini kok susah banget sih dibilangin? Kenapa sih ga pernah mau lakuin yang
mama suruh)
v Labeling (Kamu
ini memang pemalas, nakal, cengeng…)
v Begging (Ayo
dong..bantuin mama. Do it for mommy okay?)
v
Blaming (Gara-gara kamu kan tuh mama jadi telat. Kamu
tuh bisanya buat malu mama aja!)
v
Shaming (Mama kecewa banget sama kamu. Kamu tuh kalau
ga ada mama ga bisa apa-apa tau, makanya nurut aja kenapa sih!)
v
Bribing
(Kalau
kamu mau nurut, nanti mama beliin permen deh)
v
Threatening (Kalau ga nurut
nanti mama jewer nih ya..atau ga mama panggilin pak satpam lho ntar)
Dengan
kita seperti itu anak memang bisa jadi nurut sih, tapi lebih karena takut, malu,
rasa bersalah, atau dijanjikan sesuatu yang spesial. Mereka ga belajar
keterampilan yang sebenarnya dibutuhkan untuk beradaptasi dengan tuntutan
lingkungan, ga belajar gimana jadi orang yang bertanggung jawab dan tidak egois
sama keinginannya sendiri. Kalau ortu selalu respon dengan cara-cara di atas
setiap kali anak ga nurut, anak malah belajar cara intimidasi dan manipulasi
orang lain untuk dapat yang dia mau.
Setiap
kali anak ga nurut, itu kesempatan bagus untuk ajari mereka tentang aturan dan
konsekuensi. Easier
said and done, I know. Saya pun masih terus belajar dan membiasakan
diri untuk merespon setiap ‘penolakan’ dan ‘pembangkangan’ secara lebih
positif. Kalau kita mau anak belajar untuk menunda kepuasan, berempati sama kepentingan
orang lain, punya toleransi terhadap frustrasi, dan buat keputusan yang
bertanggung jawab, kita pun harus mau susah payah kasih pelajaran itu ke mereka…sedari
mereka kecil J
Some helpful ways to motivate your
children to do what you told them to do:
þ Empati
Kasih liat ke anak
kalau kita coba pahami sudut pandang, keinginan, dan perasaan mereka. Kalau mereka
tau bahwa kita hargai mereka, percaya deh mereka lebih punya motivasi untuk
nurut.
þ
Buat perjanjian dengan teknik Grandma’s Rule (jangan tanya kenapa namanya begini ya hehe..)
Grandma’s
rule: “When you’ve done what I’ve asked you to do, then you’re free to do what
you want to do.” Intinya sih kerjakan kewajiban sebelum nuntut hak. Boleh
main kalau sudah beresin kamar, boleh nonton kalau sudah selesai makan, boleh
jalan-jalan kalau sudah mandi. Win-win
solution deh! Cara ini bisa bantu ngembangin motivasi internal untuk
nuntasin apa yang memang harus anak kerjakan sebelum bisa senang-senang. Bayangin
kita aja deh, pasti liburan terasa lebih asyik dan relaks kalau kerjaan semua
udah kelar kan? Nah.. mungkin pada mikir ini ya ”Apa bedanya sama bribing?” Hmm…Kalau suap itu lebih ke
“If you do what I ask, I’ll give you
special prize..” Dengan cara ini
motivasi ini selalu eksternal dan bergantung sama besarnya hadiah.
þ Beri pilihan ke anak
Latih kemampuan anak
untuk buat keputusan dan pahami konsekuensi. Kalau kita pakai ancaman, kita
seolah ga kasih pilihan ke anak. ”Do what
I say or else!” Ancaman ngarah ke
rasa takut, yang malah buat anak maunya ngehindar atau berontak daripada nurut.
Oh ya, kasih pilihannya yang kita siap jalanin ya. Kalau kita bilang ”Kamu mau ikut mama pulang atau main di sini
sendirian?” Misal
dia pilih main sendirian? Nah loh! Beneran
siap ga kita untuk ninggalin anak? Atau
kita bilang ”Kamu pilih tutup pintu kamar
pelan-pelan, atau mama cabut pintunya supaya ga bisa dibanting?” Misal dia pilih cabut aja pintunya, beneran
kita mau cabut?
Di buku From No to
Yes , sukanya adalah dia kasih contoh-contoh konkrit tentang
perkataan-perkataan yang tidak tepat dan tepat untuk hadapin “GA MAU” dari anak
di berbagai setting dan situasi (nyangkut soal berpergian, pakai baju, makan,
sopan santun, bermain, kebersihan, belajar, tidur, tumbuh besar, dan kesehatan).
Kalau ditulis semua banyaakk... jadi saya foto aja yah beberapa contohnya J
Sudah lebih terbayang pastinya ya.. Yuk kita sama-sama coba, awalnya mungkin susah tapi lama-lama jadi biasa. Semoga anak-anak juga jadi lebih kooperatif dan kita pun makin jarang frekuensi marahnya hihihi.. semangat parents!
Yup setujuh sekali dgn tulisan si mbak ini...memang kita jgn gunakan kata negative kepada anak,,,tetapi buat si anak lebih kreatif dalam mengambil keputusan. Dan biarkan mereka lakukan apa yg mereka mau dgn batasan keamanan, keselamatan,kesehatan sesuai standar orang tua nya..
ReplyDeleteSyukurnya anak kami,lebih berinteraksi dgn siapapun tanpa takut dr boneka,yg seumuran,bahkan yg lebih dewasa.. Namun saat sang anak tdk lakukan yg kita perintahkan,kami berikan sedikit penjelasan kenapa harus lakukan yg kita minta tanpa ada negative point atau paksaan
memang jadi orang tua harus sabar-sabar yaa.. di satu sisi anak-anak mungkin ga nurut sama apa yang kita bilang dan sukanya jawab 'ga mau'.. di sisi lain orang tua sebisa mungkin merespon secara positif, memberi instruksi tanpa banyak kata negatif seperti 'tidak' atau 'jangan'. orang tuanya harus kreatif dan menahan diri untuk tidak terlalu mengekang anak.. supaya mereka pun bisa eksplor tentang dunianya.saya setuju sekali kalau kita perlu memberi penjelasan mengapa kita menyuruh atau melarang sesuatu, sehingga mereka paham maksudnya dan nantinya melakukan karena kesadaran. tidak perlu selalu diawasi. butuh berpuluh-puluh kali pengingatan mungkin, tapi oh well..namanya juga belajar ya. ^^
Delete