Tuesday, September 2, 2014

Ya ampun, susah amat sih disuruh nurut?!

 “Ra..cobain deh ini enak,susu kedelai..”
“ GA MAU!” (–sambil malingin mukanya–)

“Ra..ini sapinya masukinnya kemana ya? Coba cari yang bentuknya sama.”
”GA MAU! Mama aja..” (–sambil kasih mainannya ke saya–)

”Wah berhasil masukin satu kaki ke celana. Sekarang kaki yang kiri masukin juga.”
”GA MAU!” (–malah lepas celananya–)
 
“Hmmm…bau-bau apa nih ya. Ara pup ya? Cebok yuk..”
”GA MAU!” (–malah ngeloyor pergi–)

”Ra..dah malam nih. Ngantuk mamanya. Ayo sikat gigi terus bobo.”
”GA MAU! Ara mau main!” (–tetap asyik main boneka binatang–)
------------------------------------------------------------------------------------------

Familiar?

Sehari mungkin bisa ada puluhan versi percapakan kayak di atas, yang direspon sama Ara dengan satu jawaban ” GA MAU” itu. Siapapun yang punya anak/ponakan/adik usia toddler/preschooler, atau kerja di PAUD/ daycare, pasti deh alami hal yang sama, iya kan? *cari temen*. ’Ga mau!’ atau ’No no no’ itu memang lagi jadi kata favorit ya kayaknya…

Di post kali ini saya mau sharing  soal gimana supaya anak jadi lebih nurut, dari dua referensi ini: kultwit ’Suruh vs Nurut’  oleh @AnnaSurtiNina dan buku ‘From No to Yes without Bribing or Threatening’  oleh Jerry Wyckoff & Barbara Unell.

Kenapa sih toddler/preschooler  suka banget bilang ‘Tidak’?
Well..mereka itu masih self-centered, mau lakuin apa yang mereka mau saja dan kapanpun mereka maunya. Itu fase perkembangan yang memang jadi salah satu ciri utama toddler/preschooler (selanjutnya pakai kata istilah batita/balita aja yah, lebih gampang :D). Jadi nih, kalau ada balita/batita yang malah nurut-nurut aja, justru  harus agak curiga. Kita juga jangan terlalu senang kalau anak nurut banget, nanti kalau sudah besar malah jadi bingung lho, karena mereka cenderung ga punya pendapat sendiri, mudah dipengaruhi dan diintimidasi, gampang terbawa arus, bergantung sama orang lain, dan kurang asertif.  

Batita/ balita butuh konsistensi dan hal-hal yang bisa mereka prediksi. Makanya mereka suka bilang tidak: untuk menghindar.  Menghindari dari apa? Dari hal-hal yang mereka ga tau, dari perubahan, dari kegagalan, dan dari hilangnya kontrol. Bener banget nih. Si Ara juga gitu tuh. Kalau lagi ditanya sesuatu atau diminta coba mainan yang dia belum tau, pasti langsung nolak.

Batita/ balita belum bisa mikir jangka panjang dan belum punya sense waktu. Jadi seringnya mereka ga ngerti alasan dibalik request/ suruhan orang tua. Kenapa sih harus pakai baju, kan panas? Kenapa sih ke daycare, kan aku maunya main sama mama? Kenapa sih harus salim, kan aku ga kenal sama orang itu? De el el.  Balita juga belum punya sense waktu. Walau kita lagi buru-buru karena sudah telat mau ada rapat dan minta tolong mereka siap-siap, mereka masih dengan santainya menggambar dan mewarnai.

Orang tua juga bisa loh jadi penyebab anak suka bilang tidak? Hah.. kok bisa? Yup. Kalau kita sering cuekin anak pas mereka lagi jadi ‘anak manis’, tapi cerewet banget pas mereka lagi ga bisa behave, anak dengan cepat belajar bahwa cara mudah dapat perhatian orang itu adalah dengan ’ga nurut’. For some kids, negative attention is better than no attention at all.

Baru aja kejadian nih. Ara lagi main-main sendiri, sementara saya sibuk ngetik dan diskusi sama suami tanpa libatin Ara. Beberapa kali Ara manggil ”ma, ayuk main..” atau ”papa ngapain? Sini pa.. ” tapi tanggapan kita cuma komen singkat ”ntar dulu” atau bahkan ga ngerespon ocehan Ara. Ga berapa lama Ara bilang ”ma, pipis..”  Saya langsung samperin dia (lagi ga pakai popok soalnya dan dia di atas kasur). Pas dicek ternyata ga pipis. Balik kerja lagi, Ara bilang lagi ”pup..pup..”. Saya langsung gendong dia mau ke kamar mandi, eh pas dicek lagi ternyata ga pup. Hmmmm... jadi mikir, apa iya si Ara sengaja ya? Biasanya memang kalau dia bilang pup atau pipis, saya akan secepat mungkin nyamperin dia. Exactly what she wants. Ada lagi ulah lain si Ara di waktu-waktu lalu – yang kejadiannya mirip-mirip cerita barusan itu – misalnya pencet-pencet dispenser atau coba-coba masukin tangan ke colokan listrik. Entah sengaja untuk narik perhatian atau memang cuma sekedar ingin tahu, who knows?

Kenapa sih ada anak yang gampang nurut ada yang ga?
Hmmm.. coba cek dulu poin-poin ini kalau ngerasa anak kita susaaah banget nurut padahal sudah disuruh berkali-kali dan stok kesabaran mulai terancam habis :D
þ  Anaknya umur berapa?  Sesuaiin ekspektasi sama umur anak. Anak <1 tahun seringkali belum paham instruksi kita karena keterbatasan bahasa, usia 1-3 tahun memang lagi fase ’pembangkangan’ jadi ya mesti sabar-sabar, 3-6 tahun lebih nurut tapi punya cara sendiri untuk nyelesaiin masalah, 6-12 tahun cenderung lebih nurut sama idola dan guru, sementara remaja lebih nurut sama apa kata teman teman.

þ  Seberapa jauh jarak antara ortu-anak? Kalau nyuruh dari jarak jauh, kemungkinannya lebih besar si anak ga dengar instruksi kita, dan kita jadi cenderung ninggiin suara yang trus malah buat anak jadi bete. Kalau jauh, bisa jadi ortu ga sadar kalau perhatian anak lagi ke hal lain. Kalau jauh, kesempatan kita untuk sentuh/gandeng/ tatap mata setinggi anak jadi berkurang, padahal itu sebenarnya cara yang kongkrit dan efektif. Bener lho, sering banget Ara bilang ga mau kalau disuruh salim sama orang, tapi kalau saya pegang tangannya dan ulurin ke arah orangnya dia mau-mau aja.

þ  Timing-nya pas ga? Kalau kita nyuruh sesuatu, liat-liat juga kondisi anaknya lagi gimana / anaknya lagi apa. Kalau lagi cape atau baru bangun tidur, kasih waktu buat istirahat atau kumpulin nyawa dulu. Kasih waktu juga buat anak cerna apa yang kita suruh, jangan buru-buru marah. Kalau anak lagi asyik main, jangan juga langsung disuruh lakuin kegiatan lain. What important for us is not always important for them, try to see from their point of view.  Misal anak lagi fokus main lego / boneka terus kita suruh stop untuk mandi tanpa kasih waktu transisi, ya wajar dong kalau anak nolak? Lagipula itu malah bisa buat konsentrasi anak buyar, padahal kita maunya anak belajar konsen kan?

þ  Minat anaknya gimana? Sama kayak orang dewasa, pastinya kita males ya kalau disuruh lakuin sesuatu yang ga kita suka? Yang ada kita lama-lamain, tunda-tunda, atau kalau bisa ngeles dan kabur. Anak yang ga suka air mungkin males banget mandi, tapi ya bukan berarti kita cuma boleh nyuruh hal yang diminati anak doang. Mereka juga perlu belajar kok untuk adaptasi dengan beragam tuntutan lingkungan.

þ  Yakin anaknya mampu? Kalau nyuruh sesuatu, harus pastiin anaknya memang sudah bisa lakuin. Misal kita suruh gosok gigi atau pakai baju sendiri tapi belum pernah ajarin mereka caranya, ya ga bakal berhasil. Perhatiin juga seberapa besar kemampuan anak ikuti instruksi, apa anaknya mudah kedistraksi atau ga. Mulai dari satu instruksi dulu (’ayo gosok gigi’), baru gabung dua-tiga instruksi (gosok gigi, ganti piyama, terus matiin lampu ya).

þ  Ekspresi & bahasa tubuh ortu seperti apa? Kalau ortu nyuruhnya sambil marah-marah, anak sebetulnya ga suka (ya iyalah..). Kalaupun nurut, mungkin lebih karena takut, tidak berdaya, atau terpaksa karena ga punya pilihan. Dampaknya? Anak cuma nurut kalau ortu marah, padahal kan maunya karena mereka sadar ya.

þ  Ortu pakai kata positif atau negatif? Pengunaan kata / instruksi positif lebih disaranin karena lebih tepat sasaran. Misal kita bilang ”jangan lompat-lompat di kasur!”  , ini lebih multi-interpretasi. Anak mungkin mikir ”oh bolehnya lompat-lompat di sofa/tangga” atau ”kalau gitu aku coret-coret kasur aja deh”.  Bingung kan kalau gitu hehehe.. Jadi lebih baik langsung aja bilang maunya gimana ”kalau lompat-lompat di trampolin atau di lantai, hati-hati ya”.  Boleh sih pakai kata jangan, tapi jangan harap anak langsung paham.  Ini masalah kebiasaan aja kok. Mungkin kita memang lebih refleks bilang ”jangan lari” daripada ”jalan pelan-pelan” , ”jangan rebutan!” daripada ”mainin mainannya tunggu giliran ya” .

þ  Apa ortu sudah jadi model yang baik? Saya belum bisa nih jadi model yang oke dan konsisten.  Minta Ara makan sambil duduk, tapi saya pernah juga beli es krim di mall trus dimakan sambil jalan. Sehari-hari sering banget saya makan sambil baca buku / nonton televisi, padahal saya mau dia makan tanpa main atau nonton. Saya nyuruh dia beresin mainan, tapi kadang  saya juga lupa rapih-rapih pas selesai kerja. Dududududu.... *toyor kepala sendiri*

þ  Apa ada reward yang memotivasi anak? Reward  terutama dibutuhkan anak batita/balita, untuk penghargaan terhadap perilaku nurut mereka. Apresiasi akan buat senang, dan kalau senang mereka cenderung mau ulangi lagi. Sebisa mungkin, reward-nya lebih ke tepuk tangan, pujian, aktivitas, atau kebersamaan dengan ortu aja, supaya anak ga ’banci kado’. Kalau pun mau reward yang sifatnya lebih tangible, bisa pakai sistem token –misalnya kasih stiker untuk tiap perilaku baik dan nanti setelah jumlah tertentu stikernya bisa ditukar barang–. Ini bisa melatih anak untuk perlahan nunda kepuasan (delay gratification).

þ  Gimana kedekatan ortu dengan anak? Nah poin ini penting banget nih. Kita pasti lebih mau nurut sama orang yang punya hubungan positif dan dekat dengan kita kan? Anak juga gitu. Kalau kita mesra sama anak, pasti dia juga mau kok buat kita senang.

Jadi harus gimana dong biar anak mau nurut?
Hmmm…Kalau anak ga mau nurut itu memang jadi uji kesabaran banget ya buat ortu. Sayangnya, seringkali kita terjebak untuk lakuin hal-hal yang justru counter-productive, misalnya:
v  Nagging  (Berapa kali sih harus dikasih tau? Haduh kamu ini kok susah banget sih dibilangin? Kenapa sih ga pernah mau lakuin yang mama suruh
v  Labeling  (Kamu ini memang pemalas, nakal, cengeng…)
v  Begging  (Ayo dong..bantuin mama. Do it for mommy okay?)
v  Blaming  (Gara-gara kamu kan tuh mama jadi telat. Kamu tuh bisanya buat malu mama aja!)
v  Shaming  (Mama kecewa banget sama kamu. Kamu tuh kalau ga ada mama ga bisa apa-apa tau, makanya nurut aja kenapa sih!)
v  Bribing  (Kalau kamu mau nurut, nanti mama beliin permen deh)
v  Threatening (Kalau ga nurut nanti mama jewer nih ya..atau ga mama panggilin pak satpam lho ntar)

Dengan kita seperti itu anak memang bisa jadi nurut sih, tapi lebih karena takut, malu, rasa bersalah, atau dijanjikan sesuatu yang spesial. Mereka ga belajar keterampilan yang sebenarnya dibutuhkan untuk beradaptasi dengan tuntutan lingkungan, ga belajar gimana jadi orang yang bertanggung jawab dan tidak egois sama keinginannya sendiri. Kalau ortu selalu respon dengan cara-cara di atas setiap kali anak ga nurut, anak malah belajar cara intimidasi dan manipulasi orang lain untuk dapat yang dia mau.  

Setiap kali anak ga nurut, itu kesempatan bagus untuk ajari mereka tentang aturan dan konsekuensi. Easier said and done, I know. Saya pun masih terus belajar dan membiasakan diri untuk merespon setiap ‘penolakan’ dan ‘pembangkangan’ secara lebih positif. Kalau kita mau anak belajar untuk menunda kepuasan, berempati sama kepentingan orang lain, punya toleransi terhadap frustrasi, dan buat keputusan yang bertanggung jawab, kita pun harus mau susah payah kasih pelajaran itu ke mereka…sedari mereka kecil J

Some helpful ways to motivate your children to do what you told them to do:
þ  Empati
Kasih liat ke anak kalau kita coba pahami sudut pandang, keinginan, dan perasaan mereka. Kalau mereka tau bahwa kita hargai mereka, percaya deh mereka lebih punya motivasi untuk nurut.

þ  Buat perjanjian dengan teknik Grandma’s Rule  (jangan tanya kenapa namanya begini ya hehe..)
Grandma’s rule: “When you’ve done what I’ve asked you to do, then you’re free to do what you want to do.”  Intinya sih kerjakan kewajiban sebelum nuntut hak. Boleh main kalau sudah beresin kamar, boleh nonton kalau sudah selesai makan, boleh jalan-jalan kalau sudah mandi. Win-win solution deh! Cara ini bisa bantu ngembangin motivasi internal untuk nuntasin apa yang memang harus anak kerjakan sebelum bisa senang-senang. Bayangin kita aja deh, pasti liburan terasa lebih asyik dan relaks kalau kerjaan semua udah kelar kan? Nah.. mungkin pada mikir ini ya ”Apa bedanya sama bribing?” Hmm…Kalau suap itu lebih ke “If you do what I ask, I’ll give you special prize..”  Dengan cara ini motivasi ini selalu eksternal dan bergantung sama besarnya hadiah.

þ  Beri pilihan ke anak
Latih kemampuan anak untuk buat keputusan dan pahami konsekuensi. Kalau kita pakai ancaman, kita seolah ga kasih pilihan ke anak. ”Do what I say or else!”  Ancaman ngarah ke rasa takut, yang malah buat anak maunya ngehindar atau berontak daripada nurut. Oh ya, kasih pilihannya yang kita siap jalanin ya. Kalau kita bilang ”Kamu mau ikut mama pulang atau main di sini sendirian?”  Misal dia pilih main sendirian? Nah loh! Beneran siap ga kita untuk ninggalin anak?  Atau kita bilang ”Kamu pilih tutup pintu kamar pelan-pelan, atau mama cabut pintunya supaya ga bisa dibanting?”  Misal dia pilih cabut aja pintunya, beneran kita mau cabut?


Di buku From No to Yes , sukanya adalah dia kasih contoh-contoh konkrit tentang perkataan-perkataan yang tidak tepat dan tepat untuk hadapin “GA MAU” dari anak di berbagai setting dan situasi (nyangkut soal berpergian, pakai baju, makan, sopan santun, bermain, kebersihan, belajar, tidur, tumbuh besar, dan kesehatan). Kalau ditulis semua banyaakk... jadi saya foto aja yah beberapa contohnya J












Sudah lebih terbayang pastinya ya.. Yuk kita sama-sama coba, awalnya mungkin susah tapi lama-lama jadi biasa. Semoga anak-anak juga jadi lebih kooperatif dan kita pun makin jarang frekuensi marahnya hihihi.. semangat parents! 

2 comments:

  1. Yup setujuh sekali dgn tulisan si mbak ini...memang kita jgn gunakan kata negative kepada anak,,,tetapi buat si anak lebih kreatif dalam mengambil keputusan. Dan biarkan mereka lakukan apa yg mereka mau dgn batasan keamanan, keselamatan,kesehatan sesuai standar orang tua nya..

    Syukurnya anak kami,lebih berinteraksi dgn siapapun tanpa takut dr boneka,yg seumuran,bahkan yg lebih dewasa.. Namun saat sang anak tdk lakukan yg kita perintahkan,kami berikan sedikit penjelasan kenapa harus lakukan yg kita minta tanpa ada negative point atau paksaan

    ReplyDelete
    Replies
    1. memang jadi orang tua harus sabar-sabar yaa.. di satu sisi anak-anak mungkin ga nurut sama apa yang kita bilang dan sukanya jawab 'ga mau'.. di sisi lain orang tua sebisa mungkin merespon secara positif, memberi instruksi tanpa banyak kata negatif seperti 'tidak' atau 'jangan'. orang tuanya harus kreatif dan menahan diri untuk tidak terlalu mengekang anak.. supaya mereka pun bisa eksplor tentang dunianya.saya setuju sekali kalau kita perlu memberi penjelasan mengapa kita menyuruh atau melarang sesuatu, sehingga mereka paham maksudnya dan nantinya melakukan karena kesadaran. tidak perlu selalu diawasi. butuh berpuluh-puluh kali pengingatan mungkin, tapi oh well..namanya juga belajar ya. ^^

      Delete