Di post sebelumnya saya bahas soal perlu ga nya anak masuk prasekolah. Kali ini mau bahas soal les atau kursus untuk balita ya. Tulisan ini saya buat waktu diminta jadi narasumber untuk majalah "Mother and Baby" edisi Oktober 2013.
Bolehkah anak
balita diikutkan macam-macam les?
Menurut saya, wajar kalau orang tua ingin
memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Mereka mungkin berpikir bahwa dengan
memberikan kesempatan anak ikut berbagai les –mulai dari les berenang, menari,
menggambar, olahraga, mengaji, robotik, bela diri, komputer, sempoa, bahasa Inggris, dan
sebagainya– mereka sedang mengisi waktu anak dengan kegiatan bermanfaat,
daripada hanya menonton televisi, utak atik gadget,
atau sekedar main-main sendiri di rumah.
Kegiatan ekstrakurikuler/les memang
banyak manfaatnya: bisa mengembangkan kemampuan dan keterampilan anak,
menumbuhkan percaya diri anak, anak bisa bertemu banyak orang baru dan menambah
teman. Namun yang perlu diperhatikan, jangan sampai orang tua terlalu membebani
anak dan jadwal menjadi terlalu padat. Saat ini tidak jarang seorang anak balita memiliki
jadwal yang padat, setiap hari ada jadwal les, selalu tampak on the go, in a rush dari satu aktivitas ke aktivitas lainnya, atau yang biasa
disebut over-scheduling child. Bahkan saya pernah dapat klien anak yang ikut 10 les! Bayangkan padatnya waktu anak, kapan istirahatnya? Kapan bermainnya? Di sekolah sampai siang dan pulang sekolah les, sehari bisa 1-2 les, Sabtu dan Minggu pun ada jadwal les.
Untuk anak usia prasekolah dan taman kanak-kanak, sebenarnya lebih cocok
dan butuh kegiatan unstructured dan
free time, seperti gambar corat coret
sendiri (bukan harus ikut les gambar), bermain petak umpet, kejar-kejaran di
taman, masak-masakan, domikado, berperan jadi koboi, atau permainan lain yang
diciptakan sendiri. Permainan yang
simple dan tujuannya hanya untuk bersenang-senang, itu juga penting lho sebenarnya.
Studi menunjukkan
jika waktu anak terlalu penuh terjadwal dengan kegiatan terstruktur, imajinasi dan kreativitas bisa jadi
kurang berkembang. Anak yang sedari kecil terlalu banyak kegiatan pengayaan atau les juga
jadi lebih mudah stress, dan saat remaja menjadi terlalu bosan karena sudah burnout. Anak butuh waktu tenang untuk sekedar main dan
mengobrol bersama orang tua, terutama anak balita. Di waktu-waktu inilah attachment dan hubungan positif
terjalin, yang nantinya bisa mencegah timbulnya masalah perilaku. Orang tua juga dapat
membantu anak eksplorasi tentang diri sendiri dan mengembangkan self-awarenessnya, seperti apa yang ia
suka-tidak suka, perasaan-perasaannya, keinginan-keinginannya.
Jadi penting buat orang
tua untuk jaga keseimbangan.
Sebaiknya sebelum usia sekolah dasar, hanya 1-2 les saja
dengan jadwal seminggu sekali dan waktunya tidak terlalu lama. Ajak anak
memilih les yang ingin ia ikuti. Kasih kesempatan ikut trial dan jika tidak suka, tidak perlu diteruskan. Namun jika ia sudah
memilih, harus diselesaikan minimal 1 tingkat. Dengan begitu anak juga belajar
untuk bertanggung jawab dengan pilihannya. Saya berpendapat lebih baik fokus
pada 1-2 kegiatan namun berkembang secara matang, daripada ikut berbagai les
tapi hanya di permukaan saja. Terakhir, jangan sampai anak diikutkan les ini
itu karena keinginan orang tua ‘dulu saya
mau les ini atau ingin bisa itu tapi tidak kesampaian’ atau untuk ego orang tua ‘anak saya bisa A, B, C, D lho’
Anak tidak perlu bisa di segala bidang kan? Happy child is more important than super-able child. Make sure your child knows that you love
them for who they are, not for what they can do :)
No comments:
Post a Comment