Friday, June 13, 2014

Perlukah anak masuk prasekolah?

Dua teman saya baru saja buka preschool dan nerima anak dari usia 18bulan, jaraknya dekat lagi dari rumah.. Hm...masukin Ara ga ya? 

Saya rasa dilema ini ga cuma dihadepin sama saya aja. Setiap orang tua pastinya mau yang terbaik ya untuk anak. Kita juga pasti dah nyadar kalau tahun-tahun awal hidup anak itu krusial banget buat perkembangan ke depannya, dampaknya long lasting. Makin banyak pengalaman dan stimulasi, makin berkembang lah otak, kecerdasan, dan keterampilan anak. Nah terus muncul deh kebingungan, mulai kapan ya si kecil perlu sekolah?  Harus ga sih anak masuk prasekolah?

Pertanyaan ini makin sulit dijawab karena sekarang banyak alternatif metode pendidikan, bahkan anak yang notabenenya udah usia sekolah pun (>6th) bisa jadi ga sekolah di lembaga formal karena ikut homeschooling. Kalau dulu kebanyakan anak masuk prasekolah (preschool) atau taman bermain (playgroup) dari usia 3 tahun (kayak saya ini), sekarang dah banyak kelas buat bayi-bayi semuda 6 bulan. Wiiii....  Daycare yang kian menjamur pun ga lagi cuma berpusat sama perawatan fisik (makan, tidur, buang air, jaga biar ga sakit) tapi juga mulai integrasi unsur pendidikan. Intinya si anak ga hanya sekedar dititipin sementara ortunya kerja, tapi juga distimulasi. Jadi dimana batasannya dong kapan anak harus mulai disekolahin? Perlu atau ga sih sebenarnya?

Memang masih jadi kontroversi sih. Yang kontra bilangnya anak usia dini seharusnya lebih banyak interaksi sama orang tua, bukannya udah sibuk sekolah apalagi udah dibebankan belajar calistung (baca, tulis, hitung). Yang pro bilang anak usia dini yang ikut prasekolah bakal lebih kreatif, lebih maju di SD, lebih percaya diri, dan lebih pintar sosialisasi. 

Kalau buat saya pribadi, pendidikan usia dini itu (terutama pas anak balita) penting banget, tapi ga harus formal. Kenapa? Karena tujuannya bukan untuk nyiapin anak masuk TK atau SD, tapi lebih ke mastiin kalau anak dapat stimulasi buat pengembangan dirinya di berbagai aspek. Pilihan ortu  aja, mau di rumah boleeeeh..di lembaga prasekolah ya monggooo. Coba deh jawab beberapa pertanyaan ini dulu, biar ketauan sebenarnya butuh ga sih masukin anak kita ke prasekolah?

Siapa yang jaga anak di rumah?
Apakah mamanya, papanya, kakaknya, eyangnya, baby sitternya, atau tetangga? Kita bisa jamin ga keamanan anak di tangan mereka? Kalau  di rumah cuma ada pengasuh yang belum sepenuhnya kita percaya, sementara kedua orang tua bekerja dan ga ada kerabat lain yang bisa dimintain tolong, kayaknya lebih baik titip anak di daycare yang bisa diminta pertanggungjawabannya.

Apa anak dapat stimulasi?
Mungkin aja kita ninggalin anak dengan orang-orang terdekat kita yang sudah dipercaya, tapi apakah mereka ngerti cara stimulasi anak yang sesuai dengan usianya? Atau anak hanya dibiarkan saja nonton televisi seharian karena ga tau apa yang harus dilakukan, malas, atau terlalu sibuk dengan urusan-urusan rumah tangga lainnya? Ingat perkembangan anak itu ga hanya sekedar fisik, tapi juga sosial, emosi, kognitif, bahasa, dan moral. Trus, apa mereka paham tentang cara pengasuhan yang positif untuk anak? Apa anak diberi kesempatan eksplorasi, atau semua-semua dilarang dan sedikit-sedikit dimarahi? Atau malah anak terlalu dimanja dan dibiarkan bebas melakukan segala keinginannya? Imo, kalau di rumah pemenuhan kebutuhan dan stimulasi ga bisa didapat, ada baiknya ikut prasekolah supaya  perkembangannya lebih terarah dan terpantau.

Apa anak udah nunjukin minat dan kesiapan masuk prasekolah (preschool readiness)? Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan terkait kesiapan prasekolah (oleh Patricia Henderson Shimm, penulis Parenting Your Toddler dan associate director di Barnard College Center for Toddler Development, New York):
  • Apa anak cukup mandiri? Beberapa prasekolah mensyaratkan anak yang udah lulus toilet training, atau paling ga bisa bilang kalau dia udah buang air. Kemandirian juga bisa diliat dari bisa ga anak pakai sepatu, buka tutup resleting, makan, cuci tangan, atau tidur sendiri. 
  • Apa anak bisa ikuti arahan? Di prasekolah sih biasanya belum ketat banget aturannya, tapi anak diharapkan udah ngerti instruksi, misalnya pas diminta beres-beres mainan, ambil snack, baris masuk kelas, ganti baju, dll.
  • Apa orang lain bisa ngerti ucapan anak? Anak ga harus sempurna ngomongnya, tapi paling ga dia bisa ekspresiin apa yang dia mau, atau kasih tau orang lain kalau dia ngerasa sakit/ ga nyaman. Umumnya anak 3 tahun udah bisa ngomong kalimat sederhana yang terdiri dari 3-5 kata, dan bisa jelasin kejadian yang dia alamin.
  • Apa anak pernah berpisah dengan orang tua? Kalau yang dari kecil udah terbiasa ditinggal kerja atau dititip di daycare, aman lah. Di sisi lain, kalau anak sehari-harinya ditemani sama salah satu orang tua, bisa jadi ada masalah pas awal2 masuk prasekolah karena tau2 harus pisah. Tapi ga perlu terlalu khawatir sih, biasanya dalam beberapa hari mereka udah bisa adaptasi kok.
  • Apa anak udah siap ikutan kegiatan kelompok? Maksudnya duduk tenang beberapa saat untuk dengerin cerita sampai selesai, sharing mainan, nyanyi dan nari bareng2, dll. Biasanya anak di bawah 3 tahun secara tahap perkembangan bermain memang masih agak susah untuk diharapin bisa main bareng sama anak lain (yang bentuknya interaksional). Tapi paling ga mereka bisa main berdampingan tanpa harus selalu terlibat dalam rebut2an mainan hehe. Soal manfaat dan tahapan perkembangan bermain bakal dibahas di post lainnya yah ^^
  • Apa anak bisa handle transisi? Kegiatan di prasekolah kan terjadwal tuh.. dari circle time, waktu kegiatan kelompok, waktu outdoor, waktu makan, waktu baca, dst. Kalau anak ga terbiasa ngadepin peralihan aktivitas, bisa jadi masalah. Bisa kok dilatih dari kecil. Biasain aja untuk kasih waktu persiapan, misalnya ngomong ’kalau udah iklan, berarti waktu nontonnya udah selesai ya’ atau ’setelah selesai warnain gambar ini, Ara mandi ya’ dll. Intinya sih mereka dikasih waktu transisi, ga ujug2 lagi asyik2 main disuruh beresin dan ganti kegiatan lain. 
  • Apa anak punya stamina untuk ikut prasekolah? Mau setengah hari atau full day, prasekolah bakal buat anak sibuk dengan macam2 kegiatannya, jadi perlu diperhatiin juga staminanya supaya ga gampang sakit. Waktu tidur juga mesti disesuaiin. Kalau anak masih butuh waktu tidur pagi, kayaknya tunda aja dulu prasekolahnya, kecuali dia masuknya ke daycare yang lebih fleksibel.


Kalau menurut kita,  anak udah punya rasa ingin tahu yang besar tentang berbagai hal dan siap eksplorasi lingkungan baru, tapi ga dapat stimulasi yang cukup di rumah, tampaknya pilihan yang tepat itu memasukkannya ke prasekolah. Tapi pastiin bukan orang tuanya yang secara sepihak ingin anak ikut prasekolah...gara-gara ikutan tren, gengsi, atau mau punya ’me time’ yang lama tanpa rasa bersalah :D

Kalau ternyata menurut orang tua, pengasuh di rumah (siapapun itu) sudah bisa memberikan stimulasi yang sesuai, ya ga perlu juga mengeluarkan uang  untuk biaya prasekolah. Mungkin ada kekhawatiran”Jangan-jangan kalau ga ikut preschool ntar anak gue jadi kuper dan ga siap-siap masuk TK lagi nih...” Tenangggg.....para ahli psikologi dan pendidikan berpendapat kalau banyak cara supaya anak batita bisa mengembangkan keterampilan2 yang dibutuhkan untuk berhasil di TK walaupun ga ikut prasekolah formal. Penekanannya itu apa si anak punya quality time sama orang tua atau pengasuh lainnya yang penyayang dan peduli sama perkembangan dan kesejahteraan anak, jadi mau usaha mikirin variasi aktivitas/ stimulasi apa yang tepat sesuai usia anak.

Dari hal-hal yang udah dijelasin di atas, untuk saat ini, saya masih merasa belum perlu untuk masukin Ara ke prasekolah. Toh saya ga kerja tetap, kadang aja nerima proyek dan itu pun bisa dikerjain di rumah. Buat ngelatih keterampilan sosialisasi dia, saya banyakin aja playdate dan main ke rumah eyang atau om tantenya.. 

Mutusin mau atau ga mau masukin anak ke praskeolah formal aja sulit, apalagi hunting prasekolah yang ’terbaik’ ya...Saya kasih tanda kutip, karena sebenarnya ga ada tuh sekolah terbaik untuk semua anak. Yang ada itu, sekolah yang paling tepat buat kita dan anak kita. Gimana nentuinnya? Yuk kita bahas lebih detail lagi.

Apa yang penting buat kita?
Kita mau prasekolah yang lebih perhatiin program akademik, atau lebih ke pengembangan kreativitas, atau melatih kemandirian, atau ngenalin nilai-nilai agama, atau agar anak lebih percaya diri pas sosialisasi, atau ngajarin bahasa Inggris? Apa? Kita harus kenalin dulu apa yang kita anggap penting, karena sejatinya kan prasekolah itu perpanjangan tangan dari pendidikan di rumah. Sesuaiin sistem nilai (values) kita dengan filosofi sekolah. Misalnya nih ya, kalau Ara nanti udah mau saya masukin prasekolah, saya ga bakal masukin dia ke tempat yang masang spanduk ’semester pertama sudah bisa baca’  karena saya lebih mau dia kembangin kemandirian, rasa ingin tahu, dan life-skills.  Oia, mesti inget juga karakter anaknya. Anak yang aktif dan energetik lebih cocok di lingkungan yang banyak kegiatan motorik dan outdoor; anak yang pemalu lebih butuh lingkungan kelas kecil dan menekankan interaksi individual antara guru dan anak; dsb.

Program.
Pelajari lebih dalam tentang program prasekolahnya, mulai dari topik-topik & metode belajarnya (pendekatan tematik atau fokus ke drilling calistung, child-centered /teacher-centered, banyak praktek / condong paper-pencil), sistem penilaian dan evaluasinya (penilaian angka-angka / model portfolio dan deskriptif), sama gimana prosedur komunikasi antara orang tua-sekolah (apa ada buku penghubung, pertemuan reguler di samping waktu terima report, atau lainnya). Sekarang ini booming prasekolah yang menggandeng kurikulum/metode dari luar negeri, macam Montessori, High/Scope, Reggio Emilia, dll, tapi prasekolah yang dikelola secara lokal atau mengacu sama Diknas pun ga masalah kok. Jangan terlalu terpatok pada ‘label’ tapi lihat isinya.   

Lokasi.
Berhubung sekarang ini dimana-mana macet ya, jadi lokasi itu penting banget. Kasian kan anak kalau terlalu lama ngabisin waktunya di perjalanan. Lihat waktu tempuh dibanding jarak doang. Kalau bisa, pilih sekolah yang waktu tempuhnya maksimal 30 menit. Lokasi yang deket rumah juga bisa buat ortu lebih gampang dan sering2 atur playdate di luar waktu sekolah. Eh tapi, kalau prasekolahnya jadi satu dengan daycare dan anak bakal seharian disana, perjalanan yang panjang bisa jadi quality time antara orang tua dan anak. Balik lagi deh, sesuai keluarga masing-masing.

Pengajar.
Tanya latar belakang pendidikan pengajar, lebih baik kalau yang punya background pendidikan / perkembangan anak, dan ada ga program sekolah buat pelatihan kompetensi guru. Trus tanya rata-rata udah berapa lama mereka ngajar disana. Makin lama tentu makin baik, karena bisa lebih fokus ke anak dan lebih gampang bangun ikatan sama anak. Pernah ada salah satu dosen saya bilang, ”kalau turnover gurunya tinggi (sering gonta ganti guru) artinya ada yang salah sama sekolahnya.”  Trus lagi, biasanya kan ada kesempatan trial yah di prasekolah2 itu, jangan lupa perhatiin gimana interaksi guru sama anak-anaknya. Apakah si guru ceria, bersemangat, ramah, dan tampak peduli sama anak, atau terkesan cuek, terlalu fokus pada disiplin perilaku dibanding bangun kelekatan sama anak? Menurut saya, karakter guru ini malah lebih penting daripada sekedar tingkat pendidikan atau latar belakang jurusan guru.

Ratio anak dan pengajar.
Idealnya sih, pendidikan anak usia dini itu sifatnya lebih individual, jadi makin kecil ratio anak dan pengajar, makin baik (panduannya: 1 guru per 7 anak usia 2.5-3 tahun dan maksimal 14 anak per kelas; 1 guru per 10 anak usia 3-5 tahun dan maksimal 20 anak per kelas).

Hal-hal lain.
Perhatiin juga durasi waktu sekolah, kelengkapan dan kebersihan fasilitas, dan besarnya biaya, sesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan anak, serta kesanggupan orang tua.   Kunjungan langsung ke prasekolah yang menjadi pilihan itu wajib. Kalau sekolah ga ngebolehin kunjungan, langsung coret aja dari daftar pilihan. Malah kalau memungkinkan, minta supaya kita bisa observasi di dalam kelas atau anak trial untuk ikut kelasnya.

Menurut National Association for the Education of Young Children, ada 10 tanda kalau anak ada di kelas yang oke: 
  • Anak lebih banyak bermain dengan anak lain atau mengutak-atik material konkret, bukannya berkeliaran tanpa tujuan atau duduk diam dalam waktu lama.
  • Anak dapat kesempatan untuk lakuin macam-macam aktivitas dalam sehari (bangun balok, role play, baca buku, finger painting, tempel2, puzzle, nyanyi, nari, main alat musik) dan mereka boleh pilih sendiri kegiatan sesuai minat.
  • Selama waktu sekolah, guru berinteraksi dengan anak secara individual, kelompok kecil, maupun dalam kelompok besar (satu kelas).
  • Kelas didekorasi oleh karya-karya original anak, dan yang dipajang bukan hanya yang ‘sempurna’.
  • Anak belajar calistung bukan dengan cara paper-pencil dan drilling, tapi dalam konteks pengalaman sehari-hari, kayak pas absen kehadiran anak, main masak-masakan, beres-beres mainan, dll.. oh, dan ada banyak juga kegiatan yang ngenalin anak ke alam binatang dan tumbuhan.
  • Anak dikasih waktu yang lama buat main dan ekplorasi lewat proyek-proyek konkret, worksheet cuma dapat porsi yang kecil.
  • Anak dapat kesempatan untuk bergerak dan main di luar ruangan setiap hari. Kegiatan outdoor / senam ga dikorbanin demi banyakin waktu belajar di kelas.
  • Guru bacain cerita ke anak secara individual atau kelopmok kecil di berbagai kesempatan sepanjang waktu sekolah, ga Cuma saat story time kelompok besar.
  • Kurikulum disesuaiin sama level anaknya. Misalnya kalau anak udah jago kenalin warna, dia boleh aja ga ikut aktivitas matching warna, tapi dikenalin tentang warna primer-sekunder lewat main campur2 warna. Jadi…. ga semua anak harus belajar hal yang sama dengan cara yang sama di waktu bersamaan. 
  • Anak keliatan senang, ga gampang nangis atau nolak / pura2 sakit pas waktunya pergi ke sekolah. Poin terakhir ini penting banget nih, dan harus jadi prioritas. Akademis itu penting, tapi anak kita masih punya waktu belajar formal yang panjaanggggg banget ke depannya. Masa prasekolah harus jadi masa anak ngembangin kesukaan pada proses belajar (learn to love learning). Jangan sampai, masih kecil mereka udah jenuh apalagi sampai stress karena dipaksa belajar.

Okeee..segitu dulu ya soal topik prasekolahnya. Semoga bermanfaat dan makin mantab dengan pilihan untuk masukin atau ga masukin anak ke prasekolah  ^^


Referensi:
Introduction to Early Childhood Education oleh Eva L. Essa. 2010. Penerbit Wadsworth Cengage Learning, Inc.

Chosing the right preschool for your child: how to weigh all the options oleh Amanda Rock. http://www.education.com/reference/article/Ref_Choosing_Preschool/






Kultwit @AnnaSurtiNina http://chirpstory.com/li/7701

No comments:

Post a Comment